"Siapa yang lo bilang anak mami?"
Kacamata milik Binar di lepas dari wajahnya, sekarang manik mata Athala benar-benar terasa menusuk ke dalam bola matanya. Tetapi, Binar tidak terintimidasi sama sekali oleh hal itu.
"Kamu," jawab Binar dengan santai, tangannya bahkan menunjuk wajah Athalarik.
Athala mendekatkan wajahnya ke arah Binar, dia menarik sudut bibirnya.
"Gue bahkan gak punya mami," ucapnya dengan nada rendah kemudian pandanganmu mengarah ke depan lagi, hal itu membuat tangan Binar mengepal kuat entah karena alasan apa.
"Turunin dia disini, gue udah gak ada mood buat musnahin dia."
Mobil itu langsung berhenti dan Binar di paksa turun dari sana, setelahnya mobil melaju meninggalkan dia sendirian di sini.
Binar menghela napas, ponselnya tertinggal di sana dan itu adalah sebuah masalah terlebih lagi ponsel yang tertinggal adalah ponsel untuk dia bertugas. Nasib baik masih menghampiri dirinya, entah menyewa peretas pun tidak akan bisa membuka kelamaan ponsel miliknya.
"Telepon umum, sekarang cari telepon umum dulu." gumamnya dan langsung berjalan mencari telepon umum.
Jam tangannya bahkan masih menunjukkan pukul sebelas siang, itu adalah waktu dimana dia seharusnya berada di sekolah bukannya di luar seperti ini.
"Lagian kalau bolos gak bakalan ada masalah." monolognya,
Saat sudah menemukan telepon umum, Binar memasukkan koin dan menghubungi seseorang untuk menjemputnya hari ini. Langkah selanjutnya akan dia pikirkan di perjalanan nanti, tidak ada yang membuat mood nya kembali hari ini, bahkan setelah melihat ketidakadilan di sekolah tersebut, Binar benar-benar ingin tugasnya segera selesai agar bisa di sebut sekolah layak.
"Jalan Taman Raise, lima belas menit harus sudah sampai."
Setelah mengatakan sepatah kata itu, Binar membalikkan tubuhnya dan menunjukkan raut wajah datar pada pria di hadapannya.
"Ada apa lagi?" tanya Binar kesal,
Biasanya jarang sekali dia memakai pakaian sekolah dan rok di atas paha dan rompi yang lumayan ketat melekat di tubuhnya. Biasanya kaos atau kemeja dengan jeans membalut tubuhnya, ini adalah pakaian yang menyebalkan.
"Kenapa?" tanya Athala balik,
Binar menghela napasnya, dia tertawa sumbang. Sumpah Demi dirinya sendiri, dia tidak akan kuat berhadapan dengan Atalarik Harary, yang benar-benar membuatnya selalu memakai perasaan. Dan tugasnya adalah menanggalkan perasaannya.
"Ponsel lo,"
"Thanks."
Binar berjalan masuk ke mobil yang sudah datang tepat di menit ke lima belas, tidak ada lagi pembicaraan yang diucapkan oleh keduanya. Disaat Binar masuk ke dalam mobil, disitu Athala langsung menatap dengan tidak paham.
"Pembantu gue dia," teriak seorang gadis dari dalam, membuat Binar tersenyum.
"Oh, pembantu ternyata."
Sebelum pergi, Binar membuka kaca mobil dan berkata bahwa dirinya hanya seorang pembantu dan meminta maaf pada Athala atas apa yang dia katakan, setelahnya langsung melajukan mobil untuk segera pulang.
Di perjalanan juga Binar benar-benar tidak bisa mengistirahatkan dirinya, saat sampai di dalam mobil, Binar mengganti pakaiannya dengan jaket yang kebesaran di tubuhnya kemudian memasang kembali earphone miliknya.
"Gila, pantes gak ada yang tahan sama dia! banyak omong!" Binar mengacak rambutnya frustasi,
Biasanya dia melawan sekelas CEO yang korupsi atau menggelapkan dana istrinya dan keluarganya, biasanya itu di atur oleh manager yang terkadang hanya berbicara tentang hal-hal yang memang penting saja. Tetapi saat menangani seorang bocah SMA, dia kelimpungan karena sikap nya kekanakan.
"Gimana,"
Binar menghela napasnya, "Tujuh belas tahun, tujuh belas September tahun yang sama denganku. Tinggi 189 centimeter, pemimpin geng se-Jakarta."
Benar, sasarannya pertama adalah Athalarik Harary. Seseorang bilang padanya untuk membubarkan Outwals geng karena banyak memakan korban, pembullyan, kekerasan, paling parah adalah pembullyan. Terkadang korbannya sampai memilih untuk pindah sekolah atau bahkan putus sekolah saja. Salah satunya adalah seseorang di samping Binar, dia adalah salah satu saksi yang dibawa oleh yang memerintahkan dirinya. Tetapi dia terobsesi dengan Athala, maka dari itu dia tidak bisa melawan atau bahkan sampai membenci pria menyebalkan itu.
Tiba-tiba dia teringat Alvino, pria itu satu-satunya yang menurut dia adalah yang paling dewasa jika menjadi anak SMA dengan pergaulan yang mulai tercemar. Satu fakta yang mungkin tidak akan kalian bayangkan, Alvin dan Alvino itu kembar tiga. Alvino, Alvina, dan Alvin. Mereka bertiga tinggal dirumah terpisah karena orang tua mereka yang memilih untuk mengambil jalan hidupnya masing-masing dengan membawa salah satu anak mereka.
Alvina, gadis itu memiliki sifat arogan dan tidak perduli pada orang-orang sekitar. Dia memilih untuk tinggal sendiri di negara dengan kapasitas orang pintar tertinggi, Singapura. Orang-orang disana Rata-rata memiliki IQ 108, salah satunya adalah Alvina. Dia berbicara jujur saat ditanya oleh kedua orangtuanya tentang Siapakah yang akan dia ikuti ketika mereka berpisah? Alvina menjawab, tidak ada. 'Tidak ada siapapun yang menarik, aku akan tinggal sendiri'
Alvino tidak jauh berbeda, kembar tak seiras Alvina itu memilih ikut dengan sang ibunda. Tetapi, semenjak pertama kali mereka berdua tinggal bersama, tak satupun sapaan lembut yang sang ibunda keluarkan untuknya. Dia hanya berbicara tentang, apakah Alvino mendapatkan nilai bagus disekolah, apakah dia bisa menjadi penerus beberapa cabang perusahaan milik keluarga ibundanya, apakah dia bisa menjadi seorang pemimpin? Dan berbagai pertanyaan tentang materi dan relasi lainnya. Tetapi, Alvino memilih untuk mencari pundi rupiah sendiri, dia memilih untuk membeli salah satu apartemen terdekat dengan sekolahnya menggunakan uang saku miliknya, dan berubah menjadi seseorang yang biasa saja dan sederhana.
Lain lagi dengan Alvin, dia sering berkata seperti ini.
'Tidak ada yang ingin menyia-nyiakan hidup seperti kalian'
Dia sangat tidak menyukai jatuh miskin, dia menyukai hidup bergelimang harta dan hidup yang mudah. Hidup Alvin berjalan dengan mulus, dia memutuskan untuk ikut sang ayah karena katanya beliau sudah memiliki banyak harta yang akan diwariskan pada anaknya nanti, awalnya itu adalah Alvino, meski katanya akan tetap Alvino. Ayahnya bilang akan merubah beberapa aturan yang membuat Alvin menjadi pewaris utama meski tidak tau apa yang terjadi, setidaknya menjanjikan hidup mudah untuk Alvin adalah hal baik untuk sekarang ini.
Alvino adalah seorang kakak lelaki yang mungkin sangat menjadi andalan bagi Alvina, dia selalu menghubungi Alvino jika ada sesuatu mendesak dan sangat membutuhkan bantuan seseorang. Gadis itu selalu mengadu keluh kesahnya pada Alvino, berkata kalau pria itu adalah sosok ayah serta ibu yang ia miliki. Berbeda dengan hubungan Alvina dan Alvin, mereka sama sekali tidak pernah bertemu dan bertatap muka langsung, mungkin hanya ketika mereka masih menjadi embrio.
'Pokoknya aku bilangin sama kamu Bi, tolong minta maaf sama dia.'
Satu hal yang mungkin akan menjadi sesuatu yang menakjubkan, Alvino adalah sosok perhatian dan keibuan. Dia selalu memastikan seseorang yang berada di dekat ruang lingkupnya baik-baik saja, tidak terganggu atau diganggu oleh siapapun yang membuat mereka tidak nyaman jika sedang bersama. Alvino adalah ketua OSIS, mungkin sebentar lagi akan menjadi ketua MPK dan pensiun.
Dan dia teringat saat-saat merasakan perasaan keibuan dari Alvino.
"Nanti aku minta maaf kok, lagian aku udah bilang kalau gak bakal masukin dia ke BK lagi," jawab Binar.
"Aku bakal bikin beberapa daftar anak Outwals yang gak boleh kamu daftarin ke buku hitam OSIS."
Binar hanya mengangguk malas,
Membayangkan wajah sombong anak geng Outwals yang selalu memonopoli jalan menuju kantin, menaruh motor atau mobil dengan mengambil seluruh sisi parkiran, dan sering kali mereka membully beberapa anak yang berada di kelas bawah atau kasta rendahan.
"Kamu tadi dibawa dia ke basecamp mereka?"
"Mungkin,"
"Apa kamu liat Alvin?"
Binar menggeleng, meskipun dia mendengar sayup-sayup suara Alvin tetapi tidak yakin kalau itu dia. Dan ternyata memang bukan, itu adalah Athalarik dengan suara yang sama.
"Dia ada pertandingan basket hari ini, jadi aku takut kalau semisal dia ngelewatin kesempatan itu."
Gumaman itu terdengar sangat lirih, keperdulian Alvino pada adiknya seringkali dianggap hanya menjaga citranya di depan sang ayah agar tidak berpaling darinya.
"Mau liat?" tanya Binar.
"Perlu tiket, lagipula orang kaya kita gak ada waktu buat liat pertandingan kaya gitu." tolak Alvino.
"Lagipula hari ini kan ada jadwal ngisi podcast, inget podcast kamu kemarin ratingnya tinggi loh. Jangan disia-siain!"
Binar tertawa, "Aku udah beli, mau liat bareng?" dia mengeluarkan dua tiket pertandingan basket yang akan diadakan hari ini tepat pukul empat sore saat mata pelajaran usai.
"Lo! tiketnya mahal, Bin! Mending buat makan besok aja!"
Binar menggelengkan kepala pelan sembari tertawa, "Gak semiskin itu kok, ayok kita liat Alvin. Kangen kan kamu sama dia?"
Binar menarik tangan Alvino, uang tidak pernah jadi masalah untuk Binar.
Pertemanan mereka tidak akan pernah menjadi sesuatu yang lebih istimewa daripada seorang teman, friendship adalah hubungan yang paling baik daripada friendzone.