Habib pamitan dengan bang Fahri dan mbak Anisa yang menunggu diluar ruangan Farida. Ayah dan bunda pasti ada di ruang rawat ayah, atau mungkin masih di kantin. Habib segera menarik tanganku setelah pamit pulang, nampaknya dia sedikit kesal pada Farida karena sikapnya tadi.
Tangan besar suamiku menggenggam tanganku sambil terus berjalan. Langkah kakiku tentu saja sulit mengejar langkah kaki jenjangnya. Untung saja aku tidak sampai tersandung baju gamis, karena jalan yang buru-buru ini, kalau tidak aku pasti akan ditertawakan banyak orang.
Cinta itu berasal dari hati yang diibaratkan binatang buas yang harus ditundukkan dengan pengertian, pendekatan dan pengenalan. Tapi aku lupa kalau binatang buas akan selalu menyimpan insting liarnya yang bisa saja menyerang majikannya sewaktu-waktu. Dan sepertinya seperti inilah buasnya Habib sekarang.
"Mas, kamu marah?" tanyaku masih dengan langkah terseret untuk menyeimbangi langkahnya.