Hanya tersisa Hinata dan dirinya sekarang. Mereka berdua harus memilih antara Gemaya, Libra juga Altair. Hinata akhirnya memilih Libra. Jadi, tersisa Gemaya dan Altair. Altair sejak tadi hanya menatap intens pada Violet yang sama sekali tidak ingin memandanginya.
Violet membuang napas berat lalu berkata, "Aku akan memilih pangeran Gemaya."
"Maaf, aku tidak ingin. Lebih baik aku tidak dengan siapapun. Aku tidak tertarik denganmu." Gemaya pergi. Violet membelalakkan matanya. Jadi, dia ditolak?
Violet menoleh dan mendapati Altair tertawa kencang. Sialan, dia menertawai Violet?
"Hanya tersisa pangeran Altair. Jadi, putri Violet dengan pangeran Altair."
Violet memajukan bibirnya. Dia kesal. Kenapa juga Gemaya menolaknya. Memalukan sekali! Kurang apa si dia? Ya meskipun tidak cantik, setidaknya dia sudah dipuji oleh Glorya tadi pagi. Huh, menyebalkan!
"Sudah ku bilang. Kau akan denganku. Lagi pula, berani sekali kau tidak mengiyakan mauku tadi eh?"
"Aku tidak ingin denganmu. Lagi pula siapa yang ingin dengan pangeran yang ...." Violet terdiam. Hampir saja dia memaki Altair dengan sebutan pembawa sial.
"Kenapa tidak kau lanjutkan? Akan aku beri tahu satu hal padamu. Jangan percaya mulut orang lain sebelum kau merasakannya sendiri."
Violet bingung. Apa Altair tahu maksud dari ucapannya yang menggantung? Lalu, apa maksudnya dengan tidak perlu mempercayai orang lain?
Violet berkacak pinggang. "Sudahlah. Lebih baik kita langsung ke tempat tujuan. Bicara denganmu menghabiskan tenaga."
"Kau yang cerewet. Sudah kecil, cerewet lagi. Apa ini definisi cabe rawit? Ah, tapi aku tidak takut sama sekali."
Violet geram. Dia dengan cekatan menendang Altair hingga sang empu mengaduh kesakitan. "Sialan beraninya kau?!"
"Apa, wlekk? Kau pikir kenapa aku harus takut denganmu?"
"Angkuh sekali dirimu ya. Awas saja nanti kau minta bantuan denganku."
"Jangan sok paling dibutuhkan. Kau itu seperti bukan pangeran. Pantes saja tidak laku!"
"Hey, jaga bicaramu! Memang kau seperti putri raja heh? Tidak cantik, tidak anggun. Minusnya saja."
"Bilang apa kau?!"
"Berisik. Kau ingin aku tinggal eh?"
"Aku tidak bisa naik kuda!" Violet mengakui kebodohannya dalam berkuda. Sudah dibilang, menaiki anjing tetangga saja dia bodoh apalagi kuda yang besarnya bisa buat badan dia gepeng.
"Ha ah? Seorang putri raja tidak bisa menunggangi kuda? Kau itu seorang putri atau pelayan heh? Bahkan pelayan saja pintar berkuda," komentar Altair.
Kalau dia adalah Violet asli, mungkin sudah mengamuk dikomentar seperti ini. Namun, ini kan Violet dadakan. Bodo amat lah.
Altair menjulurkan tangannya. Violet hanya diam, sehingga Altair berdecak sebal. "Kau mau aku tinggal betulan? Sudah baik aku mau membantumu. Cepatlah, kau itu bukan sebangsa siput!"
"Membantu saja pakai mengoceh segala. Kau sebenarnya ikhlas tidak?"
Altair hanya diam. Saat kaki Violet sudah menapak untuk naik, Altair justru melepaskan pegangan tangannya. Violet terjatuh.
"Auh!" Violet meringis.
"Aku lupa, tanganmu itu kotor," kata Altair tanpa rasa bersalah.
***
Babak kedua dengan pasangan masing-masing harus bisa berburu rusa.
"Aku lelah, Al. Aku haus."
"Lemah sekali. Kita bahkan belum mendapatkan rusanya."
"Sebenarnya apa yang harus aku tebus dari kesalahan yang tidak aku perbuat?" tanya Violet.
"Menabrak ku, mengatai ku, bersikap lancang padaku. Itu termasuk kesalahan besar."
"Kau saja yang berlebihan. Lagi pula orang mana yang tidak mencak-mencak bertemu denganmu?"
Saat Violet berkata itu, Altair mengarahkan panah tepat padanya. Violet melotot. Jantungnya berdebar kencang. Apa Altair akan memanahnya? Tidak! Dia tidak ingin mati di sini. Dia bahkan belum mencari jalan keluar ke dunianya lagi.
"Al, sadar. Jika kau membunuhku, aku akan menghantui dirimu!" Violet panik. Altair menajamkan tatapannya. Hal itu membuat Violet ciut.
Ciat!
Violet memejamkan matanya. Jantungnya terasa ingin copot. Apalagi tubuhnya gemetaran. Namun, anehnya kenapa saat panah itu sudah dilepaskan tidak membuat tubuhnya sakit? Apa Violet langsung meninggal dan dikirimkan ke surga?
"Oy, kenapa kau memejamkan matamu? Gara-gara kau rusa sasaranku lari. Kau kenapa tidak minggir eh?"
Violet membuka matanya. Dia menatap Altair yang juga menatapnya begitu dalam tetapi terkesan kaku. "Jadi, kau tidak berniat memanahku?" tanya Violet.
"Gila apa diriku memanah seorang putri. Aku masih punya akal yang sehat."
Violet bernapas lega. Dia menertawai kebodohannya. "Astaga kupikir hidupku berakhir di tanganmu, Al. Aku takut karena belum bertemu Taehyung," ujarnya.
"Ck, kau itu lebay sekali. Oh ya, kau masih haus? Di seberang sana ada sungai. Tapi tidak gratis jika ingin ku antar," kata Altair.
"Tidak ikhlas. Kau ingin imbalan berapa?"
"Aku ini pangeran, kaya raya. Untuk apa minta imbalan berupa uang?"
"Lantas kau mau apa?"
"Temukan jawabannya nanti malam di pesta dansa."
***
"Tidak ada galon di sini?" tanya Violet.
"Galon apa lagi? Kau tidak lihat hanya ada sungai dipenuhi bebatuan?"
"Aku bingung cara minumnya," beo Violet.
"Astaga, bisa gila aku bersama mu terus.
Altair langsung mempraktekkan cara minumnya. Perlahan-lahan dia mencakup air dengan telapak tangan yang disatukan, lalu membungkuk dan menegaknya. Violet tidak pernah minum seperti ini. Bagaimana jika air ini tidak jernih? Apalagi jika ada orang yang buang air sembarang? Astaga! Violet tidak bisa menelan airnya.
"Cepatlah minum dan kembali ke istana."
"Tapi kita belum mendapatkan rusanya?"
"Salahkan sana dirimu. Memanah tidak bisa, menunggangi kuda lelet. Kau itu memang minus jadi putri raja."
"Ejek saja terus. Aku tidak peduli. Lagi pula yang kupilih nanti bukan dirimu, Al."
"Lalu kau memilih siapa? Aries? Winter? Libra? Gemaya? Aku juga tidak ingin memilihmu. Tidak menguntungkan."
"Kita lihat saja. Aku akan mendapatkan hati pangeran Aries. Kau akan bertekuk lutut padaku!"
"Berkhayal terlalu tinggi. Aries itu sudah menjalin hubungan dengan Aurora sejak lama."
Pernyataan Altair membuat Violet bungkam. Lantas jika mereka berhubungan kenapa Aurora tetap ikut dalam pemilihan permaisuri ini?
"Sebentar-sebentar, kenapa kau terlihat sedih saat mengatakan mereka berdua menjalin hubungan? Atau jangan-jangan, kau menyukai Aurora?" tebak Violet.
"Siapa yang tidak menyukai Aurora yang begitu sempurna? Bahkan yang lain, selain Aries juga mengagumi dirinya," balas Altair.
"Aurora biasa aja tuh. Imutan juga aku."
"Oh ho! Percaya diri sekali. Kau bukan imut, tapi jelek."
Astaga. Mulut Altair ingin sekali Violet jejali tahu genjrot rasanya.
"Awas saja kau tergila-gila padaku."
"Percaya diri yang terlalu tinggi. Kau itu pendek, orang pendek jatuh dari langit langsung remuk bisa jadi hancur."
"Altair!"
"Jangan berteriak memanggil namaku. Tidak ada yang seberani dirimu."
"Sudah kubilang kenapa juga aku harus takut denganmu?"
"Karena aku ...."
Altair tidak melanjutkan ucapannya. Hal itu membuat Violet penasaran. Altair pergi. Dia menunggangi kudanya meninggalkan Violet. Violet berteriak meminta Altair untuk berhenti. Sialan, Violet ditinggal sendiri di tempat yang asing ini. Rasanya ingin sekali menebas kepalanya.
"Altair, sialan kau!"
Saat yang bersamaan, kupu-kupu biru itu datang lagi. Violet berputar seiringan kupu-kupu itu terbang.
"Heh, kau itu kenapa muncul tiba-tiba dan pergi tiba-tiba? Seperti jelangkung tau! Datang tak dijemput pulang tak diantar."
Kupu-kupu itu langsung hilang. Bahkan belum juga selesai Violet berkedip. Saat Violet membuka matanya, nenek tua itu sudah di hadapannya.
"Bagaimana hidupmu yang sekarang?" tanya nenek itu.
Violet tanpa sadar mengepalkan tangannya. "Maksud nenek apa? Aku tidak ingin di sini. Aku ingin pulang!" katanya.
"Bukankah kau lelah dengan kehidupanmu sebelumnya? Kau itu gadis baik, tapi kurang bersyukur, Violet."
"Aku ingin pulang, Nek." Nadanya terdengar menyedihkan.
Nenek tua itu tiba-tiba saja hilang bersamaan dengan kabut pink. Dan saat yang sama suara seseorang mengagetkan Violet.
"Ayo kembali."
Violet berbalik. Dan begitu terkejutnya saat melihat seseorang yang datang itu. Gemaya. Dia ada di sini?