"Membangkitkan 'END'. Itu adalah tujuan kalian yang sebenarnya, kan?"
Saat Sans bicara seperti itu, tangan Enner yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu kemudian berhenti bergerak. Sans tersenyum tipis saat merasa berhasil menyentuh titik vital Enner.
Sementara Enner kemudian berdiri dan membalikkan badannya. Terdiam menatap Sans yang terlihat puas.
Keadaan canggung menyerang mereka berdua. Sans tahu dari dalam topengnya itu, Enner sedang menatapnya terkejut meskipun ia tidak dapat melihatnya secara langsung.
"Hehe ... ada apa? Apa aku mengucapkan hal yang seharusnya menjadi rahasia kalian? Kalau begitu sayang sekali karena aku sudah mengetahuinya."
"...."
"Kau pikir aku hanya seorang dokter biasa yang bisa kalian pakai dan buang saat tidak kalian gunakan lagi, kan? Kau salah besar, sialan! Aku melakukan eksperimen terhadap makhluk hidup, menjual organ-organ tubuh mereka di pasar gelap, dan bahkan menciptakan makhluk-makhluk kuat! Apa kau masih menganggapku dokter biasa yang bisa kau jadikan alat?!"
"...."
"Hah ... sepertinya kau tidak ingin bicara sekarang ya karena terlalu terkejut. Tidak apa kalau begitu, tapi satu hal yang aku ingin kau tahu. Aku bukan bidak kalian, WEST."
Sans yang seakan sudah berhasil memojokkan Enner yang membuatnya tidak bisa berkata apa-apa saat ini berniat untuk keluar dari ruangan ini karena keperluannya di sini sudah selesai.
Sebenarnya ia tidak memiliki keinginan keluar dari WEST ini, Sans hanya ingin memberitahu kepada Enner kalau dirinya tidak suka dan tidak akan mau jika disuruh-suruh oleh Enner kedepannya.
Tapi Enner yang dari tadi diam saja kemudian berbicara pada Sans yang sudah ingin keluar dari ruangan ini.
"Kau terlalu banyak bicara, ya?"
"Ha? Ternyata kau bisa bicara juga, aku kira kau terlalu terkejut sampai tidak bisa bicara."
"Yang aku tangkap dari pembicaraanmu tadi adalah kau tidak ingin kalau aku memerintahmu untuk kedepannya, tapi kau tetap ingin menggunakan fasilitas yang aku berikan?"
"Ternyata kau cepat mengerti juga. Itu memang keinginanku, lalu apa yang akan kau lakukan untuk menghentikanku? Kau ini hanya gadis kecil biasa. Palingan kau hanya mengandalkan bodyguard mu itu."
Sans benar-benar meremehkan Enner saat ini, ia seperti tidak tahu berterima kasih kepadanya walaupun sudah dibebaskan dari penjara olehnya. Meskipun begitu, Enner masih belum melakukan apapun kepada sikap membangkang Sans.
"Ternyata kau lebih merepotkan dari yang aku dengar, ya?"
"Aku dengar kalau kau sudah mencari informasi tentang kami semua, itu berarti kau tahu soal sifatku."
"Iya. Makanya sekarang aku akan mendisiplinkanmu di sini sekarang juga."
Piip...
Enner mematikan pengubah suara yang terkalung di lehernya. Ia juga melepaskan helmnya sehingga wajahnya kali ini terlihat dengan jelas dan bertatapan langsung dengan mata Sans.
"Mendisiplinkan? Apa aku tidak salah dengar?"
"Aku bisa melakukan apapun yang aku mau, apa lagi kepada orang sepertimu," ucap Enner dengan suara aslinya.
"Coba saja maju, bocah!"
Blaam...
Sans membanting pintu dengan keras sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka berdua berkelahi di sini. Sans meskipun hanya orang biasa, ia yakin kalau ia tidak mungkin kalah dari gadis kecil seperti Enner.
"Apa kau tahu tentang cara kerja ilusi?" tanya Enner.
Enner berbalik dan mencari sesuatu di meja kerjanya dan mengambil sebuah bola transparan kosong seukuran genggaman tangannya yang kemudian ia tunjukkan kepada Sans.
"Ilusi? Proses pengacauan kerja otak manusia yang dilakukan secara paksa baik oleh orang lain maupun sebuah benda?"
"Ya, kira-kira itu penjelasan sederhananya. Efek ilusi itu ada bermacam-macam, ada yang membuat orang jadi senang, takut, bahkan sampai gila jika tidak kuat menahan efek ilusi tersebut."
Dan Enner kemudian meremas bola transparan kosong itu sehingga ia jadi kempes dan Enner pun menjatuhkannya. Sans yang melihat jatuhnya bola transparan itu bingung dan bertanya kepadanya.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan?"
"Aku hanya memanfaatkan kebodohanmu saja."
"Kebodo—?!"
Degh...
Saat Sans mengedip untuk pertama kalinya setelah Enner meremas bola transparan tadi, tiba-tiba Enner sudah menghilang dari depannya dan kali ini tepat berada di belakangnya.
"Yap. Sebuah kebodohan yang memudahkanku."
Enner menodongkan pisau bedah kecil ke arah tengkuk Sans. Dinginnya bilah pisau itu sudah bisa dirasakan oleh Sans karena benda itu sudah menempel di tengkuknya.
Sementara Sans sendiri tidak bisa menggerakkan tubuhnya seolah alat gerak tubuhnya tidak mau mematuhi perintah otaknya. Sans kemudian sadar akan satu hal, ia melihat ke arah bola transparan tadi.
"Ja-jangan-jangan ...."
"Sudah aku duga kau akan menyadarinya. Benda itulah yang membuat tubuhmu tidak bisa bergerak."
"...."
"Ya ... luka kecil mungkin adalah pelajaran yang cukup bagimu."
Craasshh...
Enner mendorong pisau bedahnya sampai menembus tengkuk Sans dan keluar dari leher bagian depannya. Darah mengalir deras dari lukanya yang membuat Sans ambruk mencoba mengambil pisau beda yang menembus tenggorokannya saat ini.
Tapi hal itu percuma, karena tubuhnya sedang tidak bisa digerakkan saat ini. Jadi ia hanya bisa merasakan perlahan-lahan terjatuh di atas kubangan darahnya sendiri.
Degh...
"Apa kau mengerti sekarang?"
"Hakh—?!"
Sans yang sudah ambruk dan pasrah tiba-tiba terkejut saat kubangan darah yang ia jatuhi menghilang. Ia juga segera memeriksa lehernya dan ternyata tidak ada bekas luka sama sekali.
Sans melihat ke arah Enner dan ternyata ia berada di tempat sebelumnya, tidak bergerak dari sana sedikitpun dan masih berdiri sambil melihat Sans yang bingung. Permen lolipop kecilnya juga jatuh dan jadi kotor.
"Kau ini masih memiliki hutang padaku. Sampai kau bisa membayarnya, kau akan terus aku pekerjakan demi kepentinganku."
Tep... Tep... Kraak...
Enner kemudian berjalan meninggalkan Sans yang matanya masih melebar dan shock akibat ilusi yang diciptakan olehnya, ia juga menginjak permen milik Sans sampai hancur dan juga memakai serta mengaktifkan lagi topeng dan pengubah suaranya.
**
Mundur beberapa jam sebelum pembicaraan antara Sans dan Enner terjadi, di tempat lain lebih tepatnya di markas utama S.E.I.D.
Setelah rapat darurat untuk menangkap para Villain yang lolos selesai, salah satu Hero yaitu Mei juga ikut keluar dari gedung itu dan menuju ke tempatnya.
"Kalau begitu aku kembali duluan ya, Aiza-san."
"Nn. Sampai juga lagi, Mei."
Setelah melambaikan tangan dan berpisah dengan Aiza, Mei berniat untuk pulang dulu ke rumahnya sebelum kembali berlatih di tempatnya biasa berlatih, namun ia malah tidak sengaja bertemu Hero lain di perjalanan pulangnya.
Duuk...
Mei dan Saibo tidak sengaja bertabrakan karena pikiran Mei kali ini juga sedang penuh dengan kemungkinan dan musuh yang akan ia hadapi ke depannya.
"Ah! Maaf—? Oh, kau anak kecil yang di markas Hero tadi. Kalau tidak salah namamu ...."
Orang yang tidak sengaja menabrak Mei adalah Saibo. Ia berpikir keras untuk mengingat nama Mei dan setelah beberapa saat Saibo pun menebak namanya.
"Namamu Shinra, kan?"
"Siapa itu?! Namaku Mei!"
"Jadi itu namamu, toh."
"Kalau kau tidak tahu, ngapain sok-sok nebak tadi?"
Saibo tertawa ketika Mei berbicara seperti itu sementara Mei malah menganggap orang yang ada di depannya saat ini adalah orang aneh. Karena berpikir tidak ada hal yang penting lagi di sini, jadi Mei berjalan meninggalkan Saibo.
"Oh! Kau mau kemana?!"
"...."
"Hmm? Apa tidak kedengaran, ya? Kasihan, masih kecil sudah gangguan pendengaran."
"Gkh! Mengesalkan ...."
Meskipun Mei kesal dengannya, ia masih bisa menahannya walau sudah muncul urat kesal di dahinya. Tapi Saibo seakan tidak kapok dan masih terus mengikuti Mei.
"Oi, kau benar-benar tidak bisa mendengarku? Halo, ada orang di sana?"
Saibo mencoba berbagai cara untuk mendapat perhatian dari Mei dan Mei juga mencoba berbagai cara untuk sebisa mungkin menghiraukan Saibo sampai ia lelah sendiri.
Urat kesal sudah memenuhi dahi Mei karena Saibo yang tidak berhenti-henti mengganggunya dan terus mengikutinya kemanapun ia berjalan. Sampai pada akhirnya Mei sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
"Hmm? Aku rasa bocah ini benar-benar perlu ke dokter telinga," gumam Saibo.
Buuaagghh... Braakhh...
"Ohookhh!!"
Mei pun menendang perut Saibo sampai ia terpental dan menghancurkan pagar rumah warga dan masuk ke pekarangan rumahnya.
"Jangan mentang-mentang aku masih kelas 1 SMP kau bisa memanggilku 'bocah'!"
"Aduduh ... tendangannya keras juga. Oh! Ternyata kau bisa mendengarku!"
"Tentu saja aku bisa! Sebenarnya kau ini bodoh atau bagaimana, sih?!"
"Ya aku hanya ingin menjahilimu, sih. Dari yang aku lihat saat di markas pusat kau terlihat sangat serius. Jadi aku berpikir siapa tahu aku bisa menghiburmu begitu."
Piip... Piip... Piip...
"Halo, polisi? Ada laki-laki aneh yang mengikutiku saat ini. Apa anda bisa datang kesini secepatnya?"
"Eh?! Tunggu sebentar! Aku tidak seperti yang kau pikirkan!"
Meskipun sudah menekan nomornya, tapi Mei tidak jadi untuk menelepon polisi dan ia pun memilih untuk berbicara pada Saibo terlebih dahulu.
"Hah ... dengar, ya. Kau ini seorang Hero juga. Daripada menggangguku seperti ini lebih baik kau mencari orang lain untuk diselamatkan."
"Itu ... benar juga, sih."
"Lagipula kau ini cukup kuat, kan? Aku lihat pertarunganmu saat melawan alien yang menyerang bumi waktu itu, kenapa tidak kau gunakan saja kekuatanmu saat ini?"
"Soal itu ...."
Setelah diceramahi oleh anak kecil seperti itu, Saibo langsung terdiam. Padahal ia cuma ingin menghiburnya saja karena Saibo melihat wajahnya sangat serius waktu itu, tapi ia malah dibuat merenung oleh Mei.
Saibo akhirnya terdiam, Mei hanya bisa mengela nafas dan kemudian kembali berjalan meninggalkan Saibo yang masih menempel di pagar rumah orang itu.
"Tu—"
"Jika kau mengajakku bicara lagi, aku serius akan menelepon polisi."
Dan Saibo pun tidak memanggil Mei lagi karena dia takut ditangkap oleh polisi. Sementara Mei akhirnya bisa berjalan pulang dengan tenang. Setidaknya untuk saat itu.
Setelah beristirahat sebentar di rumah, Mei pun berjalan ke Phantom Forest. Meskipun ke Phantom Forest, tapi ia yakin kalau bagian hutan yang ia masuki telah aman karena dirinya sendiri yang membersihkan monster-monsternya saat sedang jalan-jalan di sini.
Ia juga memiliki tempat latihan pribadi yang terbentuk dari alam, yaitu sebuah lapangan terbuka tepat di bawah sebuah tebing. Jadi Mei bisa melatih teknik memanahnya di sini.
Syuut... Syuut...
Mei seperti biasa berlatih memanah target yang berada di berbagai tempat di sekitar sini, mulai dari yang berada di dinding tebing, di tanah, sampai di pohon belakang tubuhnya.
Ia memiliki syarat tersendiri saat berlatih yaitu tidak boleh bergerak dari tempatnya berdiri saat ini dan harus mengenai semua targetnya dengan tepat sasaran. Itu ia lakukan untuk melatih insting serta ketepatan dalam memanahnya.
Syuut... Taakk...
"Eh? Aku meleset?"
Tapi saat ini, ada salah satu anak panahnya yang tidak mengenai targetnya dan malah mengenai dinding tebing di sampingnya. Itu menjadi pertanda kalau Mei sedang tidak fokus saat ini.
Karena ada satu anak panah yang meleset tadi membuat Mei memutuskan untuk beristirahat sebentar. Ia berjalan ke bawah pohon tempat di mana dia menaruh handuk kecil serta botol minumnya.
Saat istirahat, ia memikirkan kembali hal yang membuatnya tidak fokus selama latihan. Yaitu tentang musuh yang saat itu ia kalahkan dan kemudian kabur.
"Wanita yang punya kekuatan teleportasi itu ... aku yakin sekali kalau saat ia membantu manusia harimau waktu itu, ia menyadari keberadaanku dan bertatapan langsung dengan mataku."
Mei sendiri juga masih heran kenapa dua orang itu tidak berada di dalam list target. Atau setidaknya jika mereka bukan orang yang lolos dari penjara, setidaknya Mei bisa melihatnya di list Villain S.E.I.D., tapi ia tidak mengenalinya sama sekali.
"Serangan robot besar, penyerangan di beberapa tempat berbeda, lalu jebolnya penjara. Aku yakin mereka ada hubungannya," gumam Mei.
Setidaknya itulah yang Mei yakini saat ini, bukan berarti ini adalah sebuah kepastian. Tapi yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah waspada dan menjadi kuat secepat mungkin.
"Wajahmu murung lagi, lho."
"Hikh!"
Syuut... Craakh...
Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya dari belakang yang membuatnya terkejut dan tanpa sengaja melepaskan tembakan tepat ke kepalanya.
Ternyata orang yang terkena panahnya adalah Saibo dan saat ini sebuah anak panah menempel di dahinya yang membuatnya jatuh.
"Ga-gawat!"
Mei yang panik pun langsung menghampiri Saibo dan menunduk mengecek keadaannya. Matanya tidak terbuka dan ia juga tidak bergerak, membuat Mei semakin panik.
"Ti-tidak mungkin. Hakh—?!"
"Aduduh .... Refleks milikmu bagus sekali, ya?"
Saibo kemudian duduk dan mengusap-usap kepalanya yang kotor akibat jatuh barusan. Ia kemudian melihat ke arah Mei yang wajahnya sangat panik.
"Ka-kau tidak apa-apa? A-ada panah di dahimu."
"Oh, ini ...."
Dengan mudahnya Saibo menarik anak panah yang menempel di dahinya seakan itu bukan apa-apa. Ia kemudian mengembalikan panah tadi kepada Mei karena takut jadi penyebabnya membuang-buang anak panah.
"... Aku tidak apa-apa, kok." Meskipun darah mengucur dari dahinya seperti air mancur.
"Se-serius?"
Saibo kemudian berdiri dan menunjukkan kalau luka kecil tersebut bukan masalah baginya. Setelah tahu kalau itu bukan apa-apa baginya, Mei langsung menghilangkan wajah khawatirnya dan bertanya kepada Saibo.
"Benar sudah tidak apa-apa?"
"Ya, tenang saja!"
"Kalau begitu sekarang giliranku bertanya padamu."
"Apa itu?"
"Apa yang kau lakukan di sini, dasar penguntit mesum anak di bawah umur?"
Pertanyaan Mei lebih tajam dari yang Saibo perkirakan yang membuatnya terasa seperti di tusuk-tusuk oleh ratusan panah.
"Tu-tunggu sebentar! Aku tidak sengaja kesini karena mendengar sesuatu! Aku benar-benar tidak mengikutimu!"
"Benarkah?"
Saibo mengangguk dengan kencang agar Mei tahu kalau ia serius saat ini. Meskipun Mei masih sedikit curiga, tapi pada akhirnya ia berusaha mempercayai Saibo.
"Ya terserahlah. Pokoknya jangan ganggu aku di sini, aku sedang latihan."
"Aku mengerti!"
Syuut... Syuut...
Mei pun kembali melanjutkan latihannya dan menargetkan beberapa target dengan anak panahnya. Tapi ia tidak bisa terlalu fokus saat ini, bukan karena soal Villain yang ia pikirkan dari tadi, melainkan karena hal lain.
"Ano ... bisa kau pergi dari sini?"
"Ada apa? Aku tidak mengganggu latihanmu, kan?"
"Memang tidak, tapi aku jadi tidak fokus kalau ada seseorang yang melihatku saat latihan."
"Apa karena orang yang melihatmu adalah aku? Jadi kau salah tingkah begitu?"
"Gkh! Orang ini benar-benar mengesalkan!"
Mei sudah mengarahkan panahnya ke arah kepala Saibo saat ini karena perkataannya yang membuat Mei kesal.
"Tu-tunggu! Beda cerita kalau kau mengarahkannya langsung kepadaku! Itu namanya percobaan pembunuhan! Lagipula kau sudah melukaiku, kan? Jadi kau bisa membalasnya dengan membiarkanku melihatmu latihan."
"...."
Di satu sisi Mei memang tidak ingin ada orang yang mengganggunya saat latihan, tapi ia juga tidak bisa menyangkal kalau ia menyerang Saibo barusan meskipun tidak sengaja. Jadi pengecualian untuk saat ini, dia akan membiarkan Saibo melihatnya berlatih.
"Hah ... baiklah, hanya untuk kali ini saja. Asal jangan berisik saja."
"Aku mengerti, aku mengerti. Lagipula telingamu itu ada masalah."
"Gkh!"
Akhirnya Mei melanjutkan latihannya meskipun Saibo masih memperhatikannya. Ia melakukan latihan seperti biasa dan memanah targetnya juga seperti biasa. Dan saat Saibo memperhatikannya, tiba-tiba ia mengomentari gaya memanah Mei.
"Apa kau belajar secara otodidak?"
"Memangnya kenapa?"
"Pantas saja proporsimu masih ada yang salah."
"Apa?"
"Dari yang aku lihat sejauh ini, teknik yang kau lakukan memang sudah baik tapi kuda-kuda yang kau pasang terlalu lemah sehingga kekuatan yang kau lepaskan saat memanah jadi kurang maksimal."
Saibo kemudian berjalan mendekati Mei dan berdiri di sampingnya. Ia kemudian mencontohkan cara kuda-kuda yang benar yang ia maksudkan tadi, agar kemampuan Mei jadi lebih maksimal.
"Kau bisa melakukannya seperti ini."
"Apa memang begitu?"
"Coba saja kalau tidak percaya."
Saibo menantang Mei untuk mempraktikkan apa yang baru saja ia katakan. Meskipun awalnya Mei tidak percaya, tapi menurutnya tidak ada salahnya mencoba hal baru.
Swuushh...
Dan setelah mencobanya, lesatan anak panahnya menjadi lebih cepat dan tajam serta bilah panahnya pun menancap lebih dalam pada target.
"Ternyata benar."
"Hehehe ... tentu saja aku benar. Tapi sayangnya kekuatan seperti itu belum bisa untuk mmebunuhku."
"Bagaimana kalau begini. Power Shoot."
Mei mengalirkan energinya ke tangan serta anak panahnya dan setelah membidik dengan tepat, ia pun melepaskannya.
Zwuushh... Braaakkhh...
Target yang diincar oleh Mei seketika hancur bersama dengan dinding tebing di belakangnya. Anak panah itu benar-benar merusak serta menembus semua yang ia lewati sampai pada akhirnya berhenti ketika energi yang dialirkan Mei menghilang.
"He-hebat ...."
Mei melihat ke arah Saibo yang terkejut karena kekuatan yang dihasilkannya dan tersenyum karena itu.
"Bagaimana?" ucap Mei dengan senyum bangganya.
"Itu karena kau mengalirkan energimu, kan?"
"Ya, itu benar sih."
"Tapi tetap saja hal yang kau latih saat ini akan membuat tubuhmu tidak fleksibel. Refleksmu memang luar biasa, tapi bagaimana jika kau melawan musuh yang gesit nantinya? Apa kau akan menunggunya untuk diam dan membiarkanmu menembaknya?"
"Itu ... tidak mungkin, sih."
"Itu yang aku maksud. Sesekali kau juga harus berlatih memanah objek bergerak atau kau yang sambil bergerak, itu bisa sangat membantu dalam pertarungan sungguhan nanti."
"Aku rasa kau ada benarnya."
Mei pun mulai mempelajari hal-hal yang dijelaskan oleh Saibo secara panjang lebar barusan. Dan terbukti kalau itu membuat akurasi serta fleksibilitas Mei sedikit meningkat daripada sebelumnya.
Beberapa jam berlalu dan langit sudah mulai menunjukkan warna jingganya. Mei pun ingin menyudahi latihannya serta pulang ke rumah, begitu juga Saibo yang daritadi memperhatikan latihan Mei.
Berkat sedikit arahan dari Saibo tadi, kemampuan Mei menjadi lebih baik dan kini ia sudah bersiap untuk pertarungan ke depannya, yaitu saat misi menangkap kembali para Villain.
"Uwaagh! Ternyata memperhatikanmu latihan lelah juga, ya," ucap Saibo.
"Padahal aku yang latihan, tapi kenapa kau yang lelah?"
"Tapi dengan begini kemampuanmu jadi meningkat sedikit."
"Ya, aku juga bisa merasakannya."
"Ehehehe ... kalau begitu aku pergi dulu, masih ada sesuatu yang aku urus."
Saibo pun berjalan pergi dari tempat itu meninggalkan Mei yang sedang beres-beres dan juga bersiap untuk pulang. Tapi saat ia ingin pergi, Mei kembali memanggil Saibo.
"Saibo ...! Itu namamu, kan?"
"Hnm? Iya, memangnya kenapa?"
"Terima kasih telah mengajariku hari ini ya, Saibo-aniki!"
Senyuman lebar serta tulus yang diperlihatkan oleh Mei membuat wajah Saibo memerah karena ini pertama kalinya melihatnya tersenyum begitu manis.
"I-itu bukan apa-apa."
Saibo pun dengan cepat berjalan pergi dengan wajah yang masih memerah. Mei yang melihat tingkah aneh Saibo pun tidak menyadari kalau Saibo bergumam sesuatu saat ia berjalan.
"Tahan Saibo, dia itu masih SMP. Kau bisa masuk penjara kalau kau tidak menahannya."
Bersambung