"Baiklah, kalian tenangkan diri dulu! Kalau sudah tenang, kalian bisa cerita pada abang kalian ini," ucap Siji, lembut.
"Huweee ... papa dan mama mau cerai, Bang Siji!" Reiji berucap di tengah isak tangisnya.
Mata Siji langsung membola, tidak percaya.
"Iya, Ji. Kami menguping pembicaraan mereka tadi. Dan mereka sedang bertengkar saat ini, Ji. Kalau mereka sungguhan bercerai bagaimana nasib kita, Siji? Huwee ... aku nggak mau berpisah dengan salah satu di antara kalian." Ini suara Yuji. Dia yang biasanya paling tegar di antara ketiganya, saat ini terlihat begitu rapuh.
Siji menatap sendu ke arah kedua adiknya. Ia memeluk erat kedua adik kembarnya itu. Jika memang yang dikatakan kedua adiknya itu benar, maka Siji harus menjadi lebih kuat saat ini. Hanya dia sebagai tempat sadar kedua adiknya saat ini.
Siji menarik kedua tangan adiknya itu dan menuntunnya ke arah ranjang yang berada di kamar Siji ini. Siji menyuruh kedua adiknya itu dan menyuruh mereka untuk duduk tenang di pinggir ranjang.
"Kalian tenangkan diri dulu, ya? Aku akan mencoba berbicara dengan mereka. Semoga mereka bisa merubah keputusan mereka itu." Jika Siji dalam mode bijak, ia tidak lagi menggunakan kata-kata kasar seperti lo-gue ataupun lu-gua. Mereka sedang mode berucap dengan kalimat baku saat ini.
Setelah mengungkapkan kalimat untuk menenangkan kedua adiknya, Siji berjalan dengan langkah lebar. Ia tidak akan membiarkan jika kedua orang tuanya itu sungguhan bercerai. Padahal, Siji dan kedua adiknya masih berusia 16 tahun. Mereka tidak akan hidup baik-baik saja jika kedua orang tua mereka sungguh bercerai.
Yuji dan Reiji menatap sendu ke arah punggung Siji yang semakin menjauh, dan menghilang di belokan dekat pintu.
Setelah memastikan Siji sudah berjalan menjauh, tawa mereka pecah. Mereka tertawa terpingkal-pingkal hingga mata mereka berair. Tidak heran jika Siji menjuluki kedua adiknya itu sebagai 'duo maut'. Yuji dan Reiji sangat kompak dalam hal apa pun. Apalagi dalam hal merundung dan mengerjai Siji, kakak kembar mereka.
"Wuahahaha, lucu banget ekspresinya Siji, Astaga! Perutku sampai sakit karena tertawa dari tadi, Rei!" Ini suara Yuji. Ia tertawa terpingkal sambil menggebuk-gebuki bantal.
"Hahaha, Siji itu sebenarnya polos atau bodoh ya, Bang Yu? Langsung percaya aja pas kita bilang seperti itu." Reiji berucap. Ia berguling-guling di kasur sambil memegangi perutnya yang terasa kaku karena terus tertawa.
"Eh, omong-omong. Papa Mama lagi ngapain sekarang, Rei?"
Reiji mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah, Bang Yu. Mungkin lagi indah-indahan saat ini," sahut Reiji, sekenanya.
Detik berikutnya, mereka langsung tertawa kembali. Mereka tidak dapat membayangkan betapa bingungnya Papa Mama mereka karena tiba-tiba Siji masuk kamar orang tua mereka sambil mengomel-ngomel.
***
Siji dengan langkah lebar, menuju ke kamar orang tuanya. Ia akan menasihati kedua orang tuanya itu, agar tidak bertengkar lagi di depan adik-adiknya. Apalagi, sampai mengucapkan kata 'cerai' dan didengar oleh Yuji dan Reiji.
Meski Siji, Yuji dan Reiji lahir hanya berbeda beberapa menit, tapi memang Siji yang lebih dewasa dari ketiganya. Namun, bersikap dewasa saja rasanya tidak cukup. Nyatanya, Siji yang selama ini yang malah dirundung oleh kedua adik laknatnya itu.
Siji sudah berada tepat di depan kamar kedua orang tuanya saat ini. Siji tak perlu mengetuk, ia akan langsung mendobrak pintu itu. Ia kesal karena kedua orang tuanya akan mengambil keputusan yang sangat menyakitkan itu.
Bruak!!
Siji mendobrak pintu kamar orang tuanya. Ia berteriak.
"Kenapa kalian akan bercerai, hah? Apa kalian tidak memikirkan perasaan ka---" Suara Siji tercekat di tenggorokan ketika melihat pemandangan yang berada di hadapannya.
Mata Siji melotot, ketika melihat Papanya yang bertelanjang dada sedang menggagahi Mamanya saat ini. Mereka langsung menoleh ke arah pintu.
Siji mundur beberapa langkah dan menutup pintu kembali. Wajahnya langsung memerah karena seperti melihat anime mesum life action itu. Sumpah, Siji saat ini malu sekali.
Di dalam kamar, Tuan Yudha dan Nyonya Ayana saling melempar pandang.
"Itu tadi Bang Siji, Pa?" tanya Nyonya Ayana yang tengah mengenakan dress transparan warna hitam itu.
"Ah, bukan, Ma. Yang tadi itu kayaknya hanya tuyul," racau Tuan Yudha. Ia melanjutkan aksinya kembali untuk menyalurkan hasratnya.
Di depan pintu kamar, Siji terus memukuli kepalanya sendiri.
"Huwaakh, malu banget tadi itu! Lagian Papa kenapa tidak mengunci pintunya, coba?" gerutu Siji, kesal.
Siji tercenung beberapa saat dan berlari ke arah kamarnya kembali. Dia merasa dibodohi oleh kedua adik laknatnya itu.
"YUJII!! REIJI!! LELUCON KALIAN KETERLALUAN!!" Siji berteriak nyaring.
Bersambung ....