Terjadi keributan di teras rumah Pradhika, sore ini. Siji berlari keluar untuk melihat keributan tadi. Yang benar saja? Yuji dan Reiji saling jambak, kebetulan rambut mereka memang agak panjang? Sejak kapan gaya berkelahi mereka jadi mirip perempuan seperti ini? Oh iya, Siji lupa, kan duo maut tak pernah berkelahi selama ini.
"Woy! Woy! Apa-apaan kalian ini, hah?" teriak Siji sembari memisahkan pertarungan Yuji dan Reiji. Siji lebih memilih menahan lengan Reiji yang sangat sulit terkendali kalau marah.
"Kalian ini kenapa sih, hah? Gua muak liat kalian berantem mulu!"
Yuji menyisir rambut menggunakan jari, ia menata kembali tatanan rambutnya yang susah-susah ia buat menyerupai aktor Bollywood, Siddhart Malhotra. "Reiji yang mulai, Ji!"
"Mana ada! Orang aku cuma melakukan pembelaan diri kok," sela Reiji. Ia juga ikut menata ulang rambut jamurnya kembali.
Siji menggembungkan pipi lalu mengeluarkan udara dalam mulut, kasar. Ia benar-benar lelah. Ia harus benar-benar menyelesaikannya saat ini juga. Siji menarik lengan Reiji, menjauh dari tatapan Yuji yang masih mengancam.
Di dalam kamar, Siji mendudukkan Reiji di tepi ranjang. Ia kini duduk di lantai, berusaha membuat Reiji agar memfokuskan pandangannya hanya ke arah Siji. "Dengerin gua, Rei!"
Reiji tak menjawab, deru napas kekesalannya masih terdengar jelas.
Siji bangkit dan duduk tepat di samping kanan Reiji. Siji mengusap lembut punggung adik bungsunya itu, mencoba menenangkan. "Rei, kamu pernah baca novel Brotherhood karya Zana Sensei, nggak?"
"Nggak pernah, Ji. Emang kenapa?" ujar Reiji. Ia kini sambil menatap ke arah Siji, merasa tertarik dengan apa yang akan diucapkan saudara sedarahnya itu.
"Kalau sikap lu kayak gini mulu, gua takut lu bakal berakhir kayak Zhang Shi, Rei. Dia dihantui rasa penyesalan karena ia belum bisa memperbaiki hubungan dia dengan kakaknya sampai kakaknya meninggal dan ...."
"KAMU NGOMONG APA SIH, JI? KOK BILANG MATI-MATI SEGALA? SEREM TAU!" bentak Reiji yang tak suka mendengar perumpamaan abangnya itu.
"Ya makanya itu, Rei! Jangan kayak gini lagi! Kalian kan soulmate, kok bisa berantem cuma gara-gara hal sepele, heh?"
"Sepele mbahmu! Yuji itu udah bunuh Bang Siji tau---"
"Lha? Gua masih idup kok."
"Bukan kamu, elah! Bang Siji tupai kesayangan kami itu lho."
"Astaga, cuma gara-gara itu kalian berantem dan berakhir selalu gua yang ketiban sial? Gak ngerti lagi gua sama kalian dah."
Reiji mengerucutkan bibirnya. Ia jadi kepikiran apa yang baru saja diucapkan Siji tentang Zhang Shi dan kakaknya itu.
***
Reiji lari-larian untuk mencari keberadaan Yuji. Hari semakin larut, tapi abang-nya itu belum pulang-pulang juga. Setelah insiden jambak-jambakkan yang dipicu hanya karena saling ejek gaya rambut tadi, Yuji pergi entah ke mana. Reiji masih kepikiran cerita Zhang Shi tadi. Semoga tak terjadi apa-apa pada abang Yuji kesayangannya itu.
Reiji sama sekali tidak menyangka jika lelucon pertengkaran yang ia buat tadi pagi, malah berakhir berantem sungguhan dengan Yuji.
Setelah berlari mengitari rumah, ngelilingi kompleks, pada akhirnya Reiji melihat Yuji berada di pinggir jembatan yang berada di kampung sebelah. Reiji langsung berlari menuju abangnya.
Terlihat Yuji hendak naik ke pembatas jembatan. "BANG YUJI, JANGAN LOMPAT!" teriak Reiji histeris. Seriusan? Yuji mau bunuh diri? Sejak kapan dia lebay kayak gitu? Eh, dari dulu juga emang udah lebay sih.
Setelah berada di pinggiran jembatan, Reiji menarik lengan Yuji dan memeluknya dari belakang.
"Lepasin, Rei!" Yuji agak risih waktu Reiji meluk dia dari belakang.
"Jangan lompat, Bang! Rei mohon!" ucap Reiji, memelas. Ia sama sekali tak mengendorkan pelukannya. Ia tak kan membiarkan abangnya itu melakukan hal bodoh, loncat ke sungai.
"Biarin, Rei! Gue mau ngambil ponsel gue yang jatoh tuh!"
"Heh?" Reiji buru-buru lepasin abang-nya. "Tapi kalo Bang Yu luka-luka pas loncat gimana?"
"Nggak bakal. Orang tingginya cuma semeter kok," ucap Yuji sambil meloncat ke sungai. Memang benar, jarak jembatan dan dasar sungai kecil cuma semeter. Setelah Yuji mengambil ponselnya, ia buru-buru naik. Yuji mengeringkan ponsel menggunakan bajunya. Semoga bisa diperbaiki nanti ponselnya.
Tiba-tiba hujan mulai turun dan kini mulai deras. Namun, Yuji masih termenung di pinggir jembatan.
"Bang Yu, ayo pulang~~!" rengek Reiji sambil narik lengan Yuji.
"Nggak mau."
"Eh? Kenapa, Bang?" Reiji mengernyit. Apa abangnya itu masih marah sama dia, ya?
"Rei nggak perlu tahu!"
"Lha? Emang iya. Tahu di rumah kan masih banyak, Bang," jawab Reiji dengan polosnya.
"Bukan TAHU makanan itu, Rei. Aaiihh!" Yuji mengacak rambutnya sendiri. Iya, kalau ngacak rambut Rei lagi bisa terjadi perang ke-3 nanti. Yuji kini menengadah. "Ya Gusti, punya adek satu bisanya cuma makan atiii mulu," gerutu Yuji.
"Rei sukanya makan nasi kok, Bang. Nggak boleh makan banyak ati sapi apalagi ati ayam, ntar kolesterolnya naik," sahut Reiji yang mulai nggak nyambung.
Yuji menghela napas panjang banget. Ia menyuruh Reiji lagi. "Cepat pulang, Rei!"
"Nggak! Rei nggak bakal pulang kalo nggak sama Bang Yu." Reiji bersikeras.
"Mau ngelawan? Buruan pulang gue bilang!" Yuji ngulang-ngulang perintahnya.
"Bang Yu ngusir Rei?" tanya Reiji dengan bibir bergetar. Matanya sudah penuh air mata yang akan jatuh beberapa saat lagi.
"Nggak gitu, Rei. Kamu pulang sekarang! Ntar nggak ada yang ngangkatin jemuran kita," ucap Yuji. Biarpun dia lagi galau mikirin pertikaiannya, tapi tetep aja keinget jemurannya yang udah kayak punya usaha laundry tadi. Mana nyucinya baru sore tadi lagi.
"Udah diangkatin sama Siji kok tadi. Jadi, sekarang pulang, yuk!" ajak Reiji
"Nggak!"
"Ayolah, Bang! Ngapain sih ujan-ujanan kayak gini? Bang Yu mau syuting film India, eum?" tebak Reiji.
"Pokoknya apa pun alasannya, gue nggak mau pulang dulu." Yuji ngotot.
"Lha, kok gitu? Padahal papa mama pulang tadi bawain martabak telor sama martabak manis banyak banget buat kita."
"Oke, kita pulang sekarang!" ajak Yuji yang tergiur dengan makanan yang disebutkan adiknya tadi. Pada akhirnya, mereka berbaikan. Tak tahu saja mereka bahwa dalang dari pembunuhan Bang Siji adalah Tuan Yudha, papa mereka sendiri.
Tadi pagi, Reiji dan Yuji salah memberi makanan ke Bang Siji, tupai mereka, yang mengakibatkan tupai itu mabuk dan tak bisa melompat-lompat lagi. Setelah puas bermain dengan tupai mereka, mereka meninggalkan Bang Siji (tupai) begitu saja di garasi, tanpa memasukkannya kembali ke kandang.
Waktu siang, mobil Tuan Yudha keluar garasi dan melindas dengan kejamnya Bang Siji (tupai) yang tertidur di sana. Tuan Yudha merasa telah melindas sesuatu. Ia turun mobil, betapa terkejutnya ia melihat bangkai tupai itu di bawah mobilnya. Tuan Yudha panik. Ia menggunakan sarung tangan dan memindahkan bangkai tupai itu tepat di belakang motor Reiji dan sepeda gunung milik Yuji. Tuan Yudha menghela napas panjang, lega. Untung saja ia tak memasang cctv di garasi.
Lelucon pertengkarannya berakhir pertengkaran sungguhan.
Bersambung ....