Tepat pukul sepuluh pagi, Clara Dimitrova terbangun. Ia menjulurkan tangan demi meraih ponselnya di atas meja kecil di samping kanan ranjang. Di atas meja kecil itu juga terdapat sebuah lampu tidur. Tentu saja detektif wanita itu tidak menyalakan lampu tersebut sebelumnya sebab ia baru tidur sekitar pukul delapan pagi.
Clara melirik penanda waktu digital yang ada di bagian atas layar ponselnya. Dua jam saja ia tidur dan Clara sudah merasa cukup. Wanita itu bangkit dan langsung menuju kamar mandi yang ada di luar kamar tidur.
Lima belas menit kemudian Clara Dimitrova sudah berpakaian rapi. Ia menyambar senjata apinya, memeriksa pistol tersebut untuk sesaat, dan kemudian disimpan di pinggangnya, di balik pakaian.
Sebelum memutuskan untuk segera keluar dari apartemennya, Clara menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada Martin, sekadar bertanya: Bagaimana misimu, Partner?
Dan setelah itu, ia pun berlalu. Tujuannya, mendatangi kawasan di mana pasien bernama Ardha Candra itu tinggal, guna kepentingan penyelidikannya sesuai yang diinstruksikan oleh Surya Admaja.
***
"Seseorang bertanya tentang misimu, kawan." Wanita berambut coklat menepuk-nepuk perut Martin Hasibuan. "Clara Dimitrova. Hemm… apa aku harus membalas pesan ini?"
Kondisi detektif polisi tersebut cukup menyedihkan. Martin tergantung di tengah-tengah ruangan dengan kedua tangan terikat ke sebuah pengait besar. Pengait itu terhubung dengan seuntai rantai panjang di salah satu rangka atap ruangan tersebut.
Cukup sulit bagi Martin untuk menjaga keseimbang tubuhnya sebab ia hanya mampu menyentuh permukaan lantai dengan ujung sepatunya. Jadilah pria itu seperti orang yang limbung.
Lagipula, Martin sepertinya tidak mampu untuk bicara. Pelipisnya terluka, salah satu pipinya bengkak. Sebelah matanya juga lebam. Hidungnya terlihat bengkok, patah. Lelehan darah keluar dari lubang hidungnya, begitupula di sudut bibir yang pecah. Rembesan darah juga terlihat di bagian depan pakaiannya.
Martin hanya bisa mengerang halus kala ditanya wanita berambut coklat itu.
Wanita tersebut duduk di atas kursi beroda. Seolah sengaja mengejek ketidakberdayaan Martin, wanita yang hanya mengenakan bra oranye di tubuh bagian atasnya itu bergerak perlahan mengelilingi Martin. Ponsel milik detektif polisi tersebut ada di tangan si wanita.
Sementara itu, wanita berambut hitam dan berpakaian ala wanita kantoran hanya memerhatikan saja tingkah rekannya tersebut. Ia duduk di pinggiran meja dengan dua tangan terlipat ke dadanya.
"Mulutmu tersumbat?" tanya wanita berambut coklat itu lagi. Lalu dengan seenaknya ia menampar bokong pria tersebut.
Kembali ia menggerakkan kakinya, membawa kursi itu berputar ke bagian depan.
"Bukankah kau tadi sesumbar, hemm?"
Martin mengerang lagi di kala tangan wanita itu meremas benda di selangkangannya dengan cukup kuat. Pria itu tersedak, lelehan darah menjuntai dari mulut yang mengerang kesakitan. Hal ini memperjelas bahwa Martin terluka di bagian dalam. Paling tidak, satu dua tulang suruknya ada yang patah. Wajahnya semakin memerah, menggelembung dengan urat-urat darah yang terlihat jelas di pelipisnya.
Martin sungguh tidak mengerti bagaimana mungkin wanita bertubuh tidak lebih tinggi dari bahunya itu mampu menjatuhkannya dalam sekali gebrakan saja? Padahal, sudah jelas ukuran kepalan tangan wanita itu terlihat biasa-biasa saja di mata Martin, malah cenderung seperti tangan seorang perempuan manja.
Benar-benar tidak masuk akal! Siapa mereka sebenarnya?
"Kau seperti para Nimfa saja, Merryath," ujar wanita di dekat meja dengan nada yang ketus. "Bersenang-senang dengan mangsa yang telah kau dapat."
"Bukannya justru kalian yang suka bersenang-senang?" balas wanita berambut coklat yang dipanggil Merryath. "Pada jiwa-jiwa malang yang tersesat di tengah kelebatan hutan?"
Ia menyeringai saat menatap wajah Martin yang semakin menggelembung sebab cengkeramannya di kemaluan laki-laki itu semakin diperkuat.
"Menjeritlah!" kikik Merryath pada Martin. "Kenapa tidak menjerit?"
Martin menggeram menahan sakit yang teramat di selangkangannya. Namun, ia tidak akan memperlihatkan sisi lemah dirinya, tidak di hadapan kedua wanita misterius tersebut.
"Dasar keras kepala!" dengus wanita di dekat meja.
Merryath memutar kepala, memandang rekannya itu. "Aku hanya merasa bosan, Pharas."
"Terserah!"
"Hei, ayolah," Merryath menyeringai lagi, dan semakin mengencangkan cengkeramannya pada kemaluan Martin. "Lagipula, kenapa tidak kita bunuh saja makhluk rendahan yang satu ini, hemm?"
"Sudah kubilang, bukan?" Pharas mendelik kepada Merryath.
"Ya, ya, ya…"
Merryath akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya dari selangkangan Martin. Untuk sesaat, Martin mungkin bisa bernapas lega. Namun ia tidak yakin, sampai berapa lama ia mampu bertahan, atau apakah ia bisa selamat dari kematian yang telah direncanakan kedua wanita tersebut terhadap dirinya?
"Kita harus menunggu bangsa Ifrit itu datang," ujar Merryath yang seakan menirukan mimik seseorang namun dengan cara yang merendahkan.
Ifrit? Gumam Martin di dalam hatinya. Yang benar saja! Memangnya ini dunia gim, begitukah?
"Menggelikan!" ujar wanita berambut coklat itu, lagi.
Merryath menolak permukaan lantai dengan kedua kakinya, membuat kursi yang ia duduki bergeser cepat ke arah kanan. Seolah tidak ada hal yang harus ia khawatirkan, Merryath menggunakan kedua tangannya untuk menjadi bantalan bagi kepalanya.
Kursi itu baru berhenti setelah terhalang oleh dinding di sisi kanan.
"Brengsek!" dengus Pharas. "Kau benar-benar menyebalkan, Seirene sialan!"
"Kuanggap itu sebagai pujian."
"Jangan mengujiku, Merryath!"
"Atau apa, hemm?"
"Kau menantangku?"
"Kau mau coba?"
"Cih! Menyedihkan!"
Merryath terkikik lagi, bahkan ia terlihat begitu santai di atas kursi itu. Berselonjor dengan kepala menengadah menatap langit-langit ruangan.
Ada apa dengan mereka berdua? Pikir Martin. Sebentar-sebentar mereka seperti tidak menyukai terhadap satu sama lain. Di lain waktu, mereka justru terlihat kompak.
Dan Martin tetap mencoba untuk melepaskan ikatan di kedua tangannya dari pengait besar itu secara diam-diam. Hanya saja, sampai sejauh itu usaha pria tersebut belum membuahkan hasil sama sekali.
Dari arah luar ruangan terdengar suara seperti benda berat yang menjejak permukaan pasir. Pharas melirik Merryath.
"Kurasa mereka sudah datang."
"Hemm…" Merryath mengangguk-angguk saja, ia tetap bersantai di atas kursi itu.
Martin pun mendengar bunyi seperti benda jatuh tersebut. Setidaknya, ada tiga benda—entah apa pun itu—yang bisa ia tebak.
Tiga sosok muncul di ambang pintu, menghalangi cahaya yang masuk dari luar. Martin melirik dengan ekor matanya sebab posisinya saat itu sedang menghadap ke arah Merryath.
Bola mata sang detektif polisi membesar kala menyadari sosok Arya di tengah-tengah dua lainnya.
"Wah, wah, wah…" ujar sosok wanita muda di samping kanan Arya. "Tidak kusangka, ternyata kalian berdua bisa akrab."
Sementara Merryath hanya terkikik saja mendengar ucapan wanita yang tidak lain adalah Eredyth itu, Pharas justru mendengus kencang dengan raut muka yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Eredyth di sana.
"Kalau kau ingin melihat jantungmu tercabut dari tubuhmu," ujar Pharas dengan sorot mata yang begitu tajam. "Teruskan saja sindiranmu itu, Succubus brengsek!"
"Apa kalian akan terus menunjukkan sikap yang seperti ini setiap kali bertemu?"
Eredyth yang memakai wujud anak gadis sang dokter hanya menyeringai sembari melipat tangan ke dada.
Satu sosok laki-laki di sisi kiri Aka Manah yang menggunakan wujud Dokter Arya menutup pintu besar di belakangnya. Sosok itu terlihat tinggi besar, dengan kepalanya yang botak.
TO BE CONTINUED ...