Seorang dari polisi yang baru datang—polisi kedua—tidak kuasa lama-lama menatap kondisi tubuh yang tergeletak itu. Belum lagi bau sangit dan bau anyir darah yang menggenangi lantai gang di mana sosok itu tergeletak, begitu menusuk indra penciuman. Tidak tahan lagi, sang polisi pun menjauh dan akhirnya muntah-muntah.
Dua rekannya yang lain sama tersenyum geleng-gelengkan kepala menanggapi teman mereka yang satu itu.
Kondisi tubuh sosok yang tergeletak itu benar-benar memprihatinkan. Tidak satu pun kulit tubuhnya yang tersisa, seolah seseorang dengan kejam telah mengulitinya dari ujung kepala ke ujung kaki, hingga menyisakan daging, urat, dan otot serta serat-serat tubuh lainnya membalut tulang kerangka. Memerah dengan genangan darah yang luar biasa di sekitar tubuh tersebut.
Dan lagi, sosok yang telah menjadi mayat itu tidak memiliki kepala yang utuh. Hanya menyisakan bagian rahang bawah, dan sebelah telinga kanan saja, lainnya hilang entah ke mana.
"Kalian pikir ini kejahatan yang sama?" tanya polisi pertama pada yang lain.
"Entahlah," sahut polisi keempat.
"Dari sejumlah kasus dua bulan belakangan," ujar polisi ketiga. "Hanya ada satu-dua korban saja yang bisa ditemukan kesamaan metode pembunuhannya, lainnya acak. Masih ambigu."
"Korban juga tidak dipilih-pilih," sambung polisi keempat. "Tua muda, besar kecil, laki-laki atau perempuan."
"Haah…" lenguh si polisi kedua sembari menyeka mulutnya dari lelehan ludah dan sisa muntahan dengan sapu tangan, dan membuang sapu tangan itu kemudian. "Sampai sekarang belum satu pun orang yang bisa dijadikan tersangka. Lama-lama," sambungnya lagi. "Masyarakat akan semakin tidak percaya pada Institusi Kepolisian."
"Itulah yang ditakutkan," timpal polisi pertama pula. "Siapa yang menemukan?"
"Seorang anak perempuan," jawab polisi ketiga. "Sembilan tahun. Saat mengejar kucingnya ke gang ini, dia melihat jasad ini sudah tergeletak dalam keadaan seperti ini. Lalu berlari memanggil bapaknya, dan sang bapak menghubungi polisi."
"Kalian sudah coba menginterogasi orang tua gadis kecil itu?" tanya polisi kedua.
"Negatif," sahut polisi keempat. "Tidak ada hal mencurigakan dari mereka."
"Tapi," ujar polisi ketiga kemudian. "Kita mungkin akan tahu siapa korban ini."
Polisi ketiga itu mengangkat sebuah tas tangan berukuran sedang yang telah dibungkus ke dalam kantung plastik transparan, menyinari tas berwarna coklat pudar dengan banyak noda darah yang sudah mengental di beberapa sisinya tersebut.
"Tas korban?" tanya polisi pertama.
"Sepertinya," ujar polisi ketiga. "Orang tua dari anak perempuan yang menemukan jasad ini pertama kali tidak mengenali dompet ini."
"Tapi," sambung polisi keempat pula. "Ini semua akan diketahui setelah tim forensik datang."
"Kenapa mereka lama sekali?" gerutu polisi kedua, yang kembali merasa mual kala memandang kondisi jasad di lantai gang tersebut.
"Kau itu," timpal polisi keempat, dan dua lainnya sama tertawa pelan menanggapi.
"Sudah kubilang bukan," kekeh polisi pertama. "Jangan makan kebanyakan, apalagi fast food dan minuman bersoda."
Lagi-lagi dua orang lainnya menertawai si polisi kedua.
"Seperti yang baru pertama kali bertugas," sela si petugas keempat lagi. "Seperti baru pertama kali saja kau itu melihat mayat korban pembunuhan."
"Berhentilah menertawaiku, kawan," elak si polisi kedua. "Perutku benar-benar terasa kram ini."
Tapi, tetap saja ketiga rekannya menertawai sesuatu yang bodoh di mata mereka terhadap diri rekan mereka tersebut.
Tidak berapa lama, suara sirine terdengar semakin mendekat, lalu mobil yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Mobil para tim penyelidik forensik dari Kepolisian itu sendiri.
Tanpa menunggu berlama-lama, tim forensik pun akhirnya turun tangan. Sebagian mereka segera memasukkan mayat korban pembunuhan sadis itu ke dalam kantung berwarna oranye, dan segera membopong tubuh tak bernyawa tersebut ke dalam mobil forensik. Mobil segera melaju meninggalkan lokasi tempat kejadian bersama beberapa orang di dalamnya.
Tersisa sejumlah personil lainnya dari tim forensik. Mereka ditemani oleh polisi keempat dan ketiga. Sedangkan polisi pertama dan kedua telah berlalu mengawal mobil forensik tadi di depan.
Mereka yang tersisa segera melakukan olah tempat kejadian perkara, memeriksa setiap sudut gang yang ada. Mencoba mencari-cari sesuatu di sana. Barang-barang lain milik korban, misalnya. Atau lebih bagus lagi, hal-hal yang mengarahkan mereka pada si pelaku pembunuhan sadis tersebut. Sidik jari, jejak telapak kaki, atau mungkin tetesan darah, atau juga sekadar setetes liur.
Di depan gang, polisi ketiga berjaga-jaga sembari merentangkan garis batas dengan pita kuning bertuliskan; Garis Polisi – Dilarang Memasuki Area Ini!
***
Ardha Candra berada di dalam ruangan CT Scan, dan tetap bersikap tenang dalam beberapa menit menuruti ucapan sang dokter sebelumnya. Sementara dokter tersebut berada di ruangan lainnya di mana sejumlah instrumen tengah memperlihatkan kondisi otak di dalam tempurung kepala Ardha Candra dalam berbagai sudut penglihatan.
"Aktifitas otaknya terlihat normal-normal saja, Dok," ujar seorang pengawas pada dokter yang sebelumnya menangani Ardha Candra. "Tidak ada yang aneh."
"Yeah, sepertinya benar," sahut sang dokter. "Dia hanya berhalusinasi sebab baru saja siuman dari koma yang panjang."
"Pasien yang mana satu?"
"Ardha Candra," jawab sang dokter. "Lima bulan yang lalu dia mengalami kecelakan di jalan raya."
"Aah…" pengawas monitor itu mengangguk-angguk. "Bisa jadi kilasan peristiwa yang terakhir ia ingat itu yang muncul saat dia terbangun, dan ketakutan menyebabkan pikirannya membayangkan hal-hal yang aneh."
"Yup, kau benar sekali," sang dokter menepuk bahu pengawas tersebut. "Rahasiakan dulu semua ini dari dia, oke?"
"Rahasiakan?"
Sang dokter mengangguk. "Kau tahu, gara-gara berhalusinasi seperti itu, dia ingin cepat-cepat meninggalkan rumah sakit ini. Kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi bukan? Sebab, belum tentu dia akan kembali untuk memeriksakan dirinya lagi."
Sang pengawas tertawa pelan. "Anda memang doker yang baik."
"Terkadang," ungkap sang dokter sembari bertolak pinggang dan memandang kepada Ardha Candra yang berada di ruangan di hadapannya lewat dinding kaca. "Berbohong demi kebaikan pasien itu sendiri adalah hal yang pantas untuk dilakukan."
Ada tiga orang di dalam ruangan tersebut, yang seorang lagi adalah perawat laki-laki yang sebelumnya juga menemani sang dokter untuk membawa Ardha Candra dari kamar perawatannya ke ruangan CT Scan.
Sang perawat tidak terlalu tertarik dengan semua hal menyangkut pemindaian menyeluruh itu, ia lebih tertarik dengan berita yang ada di surat kabar di tangannya kini itu. Perhatiannya tertuju pada berita headline, berita pembunuhan sadis yang dua bulan belakangan sepertinya sedang marak terjadi. Tidak saja di kota Jakarta ini, namun juga di berbagai tempat dan wilayah yang terpisah jauh. Dan sampai sejauh itu, para aparat Kepolisian belum bisa mengidentifikasi siapa pelaku kejahatan sadis tersebut.
"Baiklah," ujar sang dokter kepada si pengawas monitor. "Bisakah aku terima semua data dari hasil pemindaian ini di mejaku nanti?"