Ardha Candra merasa tidak pernah berada di kawasan ini sebelumnya, dan ia juga tidak bisa mengingat apa memang ia sengaja mendatangi tempat tersebut. Tidak sama sekali.
Kawasan itu berupa lahan kosong yang cukup luas serta kontur tanah yang terlihat bergelombang.
Tapi bukan hanya sekadar kekosongan biasa. Itu terlihat lebih seperti areal yang ramai sebelumnya dan kemudian diratakan oleh satu kekuatan yang mahadahsyat, maka terciptalah kekosongan sejauh mata memandang dengan aura kemerah-merahan laksana bunga api yang telah membakar habis segala bentuk kehidupan.
Kontur bergelombang di permukaan itu pun bukan lagi dari tanah asli, semua itu terbentuk dari reruntuhan satu peradaban. Hancur lebur, bahkan ke bentuk terkecil, pasir merah membara yang meneriakan ratap tangis dari orang-orang yang pernah ada di sana.
Sebuah kengerian yang mampu membuat tubuh Ardha Candra bergidik, merinding tak henti-henti.
"Di mana aku?" gumam Ardha Candra yang tidak melihat seorang manusia pun di sekitar sana, tidak pula hewan bahkan sebentuk pohon satu pun.
Lalu langit seolah bergejolak seperti amukan samudra luas yang diempas tiupan badai angin.
Suara apa pula itu?
Berdengung kencang laksana tetabuh genderang perang. Lalu suara retak dari satu benda padat yang begitu cepat dalam desibel yang sulit dibayangkan, sehingga tanpa sadar Ardha Candra menutup telinga dan berjongkok.
Langit terlihat terbelah.
Pupil mata pria itu membesar ketika melihat sesuatu di atas sana, di celah langit yang terbelah, bagian di sana terlihat sangat-sangat bersih sehingga ia mampu melihat objek-objek luar biasa di antara celah itu sendiri.
Bulan?
Bukan!
I—itu jelas bukan bulan. Merah besar… Planet Mars. La—lalu Jupiter, cincin indah nan mahabesar itu, Saturnus… Apa yang sedang terjadi?
Ardha Candra sungguh tidak habis pikir. Kenapa objek-objek raksasa itu terlihat sangat dekat? Bahkan, mereka bergerak perlahan dengan rotasi masing-masing yang juga perlahan seolah semua planet di Tatasurya ini sedang akan bersejajar lurus terhadap satu sama lain.
Ada apa ini sebenarnya?
Tapi tanya itu hanya bergema di dalam kepala Ardha Candra saja. Sebab, bersamaan dengan keanehan namun juga cukup indah tersebut, kedekatan di antara satu planet dengan planet di depan dan belakang menciptakan sebentuk gelombang sonik yang terjadi terus menerus.
Suara dengungan terdengar semakin kencang. Dan posisi ke delapan planet semakin tegak lurus, bahkan hingga ke Pluto dan kembarannya, Eris.
Daya empas dari gelombang sonik itu bahkan sampai ke permukaan tempat di mana Ardha Candra berpijak. Semakin lama semakin kuat tekanan udara yang ada di sekitar, sehingga menerbangkan debu dan pasir ke segala penjuru.
Ardha Candra bertahan dengan tetap berjongkok di atas tanah merah, berteriak kencang sembari menutupi wajah dan matanya agar terhindar dari serbuan debu dan pasir.
Rona lidah api semakin menjadi-jadi, lalu suara ledakan yang mahadahsyat terdengar jauh di belakang Ardha Candra sendiri. Kembali tubuh laki-laki itu bergetar hebat dengan empasan gelombang tak kasatmata itu.
Ketika Ardha Candra berusaha untuk mengetahui situasi di belakangnya itu, bola mata seolah membesar seketika.
Debu-debu dan pasir yang berterbangan perlahan menghadirkan ribuan—tidak, tidak, tidak… jutaan sosok aneh, mengerikan, yang bahkan selama ini tidak pernah dilihat oleh laki-laki tersebut sebelumnya. Kecuali, pada gambar-gambar atau film-film tentang monster dan iblis beserta pasukannya. Meski jelas, yang ada di depan mata sekarang itu jauh lebih menakutkan lagi menyeramkan.
Lalu terdengar gemuruh suara teriakan yang membuat Ardha Candra sedikit kaget. Cepat, ia berpaling ke arah berlawanan.
Lautan manusia yang masing-masing mempersenjatai diri dengan benda apa pun yang bisa mereka gunakan memenuhi sisi luas yang satu lagi itu. Jelas terlihat di wajah masing-masing manusia itu kemarahan yang tak terhingga. Mungkin saja mereka memang sengaja menantang jutaan makhluk-makhluk menyeramkan yang entah dari jenis apakah gerangan itu.
Ardha Candra menelan ludah, dari mana datangnya manusia sebanyak ini?
Dan sebelum sempat ia untuk berpikir lebih jernih, seolah peluit dari sang wasit telah dibunyikan, dua kubu sama meneriakkan kemarahan mereka. Gegap gempita, membahana seolah menantang ketetapan langit. Detik selanjutnya, langkah-langkah berserabutan saling menghampiri. Teriakan dan auman bercampur baur dengan disertai ayunan senjata mematikan di tangan.
Sekian detik, Ardha Candra baru menyadari jika ia berada di tengah-tengah kekacauan yang mahadahsyat itu.
"Hentikan…!"
Percuma saja. Teriakan Ardha Candra tenggelam oleh deru langkah dua kubu yang saling bertikai, sama berusaha membunuh lawan masing-masing. Belum lagi suara letusan senjata api, atau denting keras dari senjata tajam yang beradu dengan tanduk, cakar hitam panjang, bahkan duri-duri di tubuh makhluk-makhluk aneh tersebut, sampai serak sekalipun Ardha Candra berteriak, suaranya seakan menjadi senyap saat itu juga.
Terlebih lagi dengan raung dan jerit kematian yang merajalela dan sungguh tidak ingin disaksikan oleh laki-laki itu sendiri.
Terlalu sadis, terlalu mengerikan… dan kesemuanya itu hanya semakin memperburuk kondisinya sendiri di tengah-tengah kemelut yang sepertinya tidak akan bisa lagi untuk dilerai.
Ardha Candra terdiam karena hal mencekam di depan mata. Sesosok makhluk yang memiliki kepala dan moncong seperti buaya—hanya lebih pendek saja—mencaplok kepala seorang manusia yang menjadi lawannya. Sekali rahangnya yang bergigi laksana paku-paku kuning besar itu menghentak, manusia itu langsung kehilangan sebagian besar dari wajah dan kepalanya.
Ia tumbang dengan darah yang muncrat ke segala arah bersama cairan otak yang ikut berhamburan, sementara makhluk tersebut begitu berbangga mengunyah sebagian besar kepala manusia tadi itu di dalam mulutnya, menelan, lalu mengaum kencang sejadi-jadinya.
"Hentikan…!"
Ardha Candra melonjak, terduduk di atas tempat tidur yang berlapis seprai putih. Selimut tebal jatuh hingga ke bagian pinggang. Wajahnya begitu tegang, pucat, dan basah oleh keringat.
"Mimpi…" gumamnya seraya terengah-engah.
Ia memandang ke sekeliling. Benar, ia masih berada di rumah sakit. Lalu tatapannya tertuju pada jam dinding. Pukul 03:05 dini hari.
Laki-laki di atas ranjang khusus di dalam sebuah kamar perawatan itu mengusap wajah dan rambutnya.
Namun Ardha Candra menjadi sedikit kaget sekaligus kembali dalam keadaan cemas tak menentu ketika mendengar suara langkah kaki mendekat ke kamar tersebut. Bahkan, jelas langkah kaki itu lebih dari dua orang.
Seperti dugaannya, pintu kamar itu pun terbuka.
Ia jelas masih mengingat sosok perawat laki-laki yang tangannya masih berada di handle pintu itu, juga perawat wanita di belakang yang satu itu. Tapi tidak dengan dua orang pria berseragam Kepolisian yang menyertai kedua perawat.
Ada apa lagi ini? tanya Ardha Candra di dalam hati.
"Aah, Anda sudah bangun rupanya," ujar si perawat laki-laki sekadar berbasa-basi. Ia melirik kedua petugas Kepolisian tersebut. Lalu, mendahului memasuki kamar. "Wajah Anda terlihat pucat, Pak Candra. Mimpi buruk lagi?"
TO BE CONTINUED...