Lalu, tidak ada lagi hal yang dapat membuat Ardha Candra berada di bawah kengerian saat sekarang itu selain di saat makhluk tersebut membuka lebar mulutnya itu, tiba-tiba saja rahang bagian bawahnya terbelah menjadi dua, bahkan bergerak-gerak pelan seperti tentakel pendek dengan barisan gigi yang sama mengerikannya.
Sang makhluk mengaum, tapi terdengar hanya berupa suara desisan kencang saja. Dan perlahan-lahan tiga rahang yang terbuka lebar itu mendekat ke wajah Ardha Candra.
Jika kematian terlihat mengerikan seperti ini, pikir laki-laki tersebut. Sungguh, lebih baik aku mati saat terjadinya kecelakaan maut itu saja. Atau, Malaikat sialan itu… kenapa tidak dia saja yang menghabisi nyawaku dengan pedangnya itu?
Tunggu dulu!
Teringat satu hal, dalam masa-masa genting kehidupannya itu, Ardha Candra mencoba untuk berkonsentrasi. Memikirkan dan membayangkan bentuk pedang bernama Divine Sword, yang diberikan Malak al-Amin kepada dirinya beberapa saat yang lalu.
Ardha Candra harus berpacu dengan waktu, namun pasokan oksigen yang berkurang ke dalam otaknya sedikit membuyarkan rupa pedang di dalam ingatan. Ia tidak berputus asa, terus membayangkan bentuk pedang. Bahkan meneriakkan nama pedang itu sendiri di dalam hatinya, berulang-ulang.
Kurang dari seinci lagi, taring-taring berlendir itu akan melubangi wajah, sebelum berlanjut menghancurkan kepala Ardha Candra.
Lalu…
Jlept!
Makhluk serupa kadal bermata merah melenguh pendek, tercekat merasakan sesuatu menembus dadanya. Lalu, ia pun menunduk melihat apa yang terjadi, sepasang mata mengerikan itu membesar dengan pupil merahnya nyaris mengecil menyaksikan sebilah pedang yang entah datang dari mana tahu-tahu kini menembus dadanya.
Bersamaan keterkejutan makhluk tersebut, cengkeraman tangannya di leher Ardha Candra terlepas.
Laki-laki itu terbatuk-batuk, bergedebukan saat menginjak lantai. Dan sesegera mungkin menjauh sembari bergulingan ke arah pintu, Ardha Candra tersungkur lagi saat mencoba untuk bangkit berdiri. Terpaksa merangkak. Terbatuk-batuk lagi. Liur kental kekuningan terjuntai-juntai di mulutnya. Ia menyeka begitu saja dengan lengan baju, lalu beringsut menjauh seraya membalikkan badan, menatap makhluk serupa kadal yang terdiam. Tercekat.
Makhluk itu menatap tak percaya pada sebilah pedang yang menancap dalam di pertengahan dadanya tersebut. Ia menoleh ke arah Ardha Candra.
"Tidak mungkin!" serunya tertahan dengan suara yang semakin serak saja. "Di—Divine Sword. Kau—"
Lalu, darah kental hijau kehitaman menyembur di kedua sisi luka pada tubuhnya itu—di dada, dan punggung. Seiring itu pula satu lengkingan dahsyat keluar dari dalam mulut makhluk tersebut. Ardha Candra harus menutupi kedua telinganya, kuatnya desibel jeritan si makhluk sedikit menyakitkan pendengaran.
Ardha Candra membelakak lebar melihat reaksi tubuh makhluk tersebut terkena tusukan pedang pemberian Malak al-Amin yang masih menancap di dada si makhluk.
Raungan itu tidak berhenti sama sekali, lalu ada rona cahaya kemerah-merahan yang keluar dari dalam mulut yang menganga itu. Cahaya yang mirip dengan nyala api yang semakin lama semakin membersit lebih terang lagi. Seolah sebuah retakan, cahaya itu menjelar kemana-mana, ke seluruh permukaan kulit wajah dan kepala si makhluk.
Pun, begitu pula dengan luka tusukan di dada dan punggungnya. Cahaya api membersit seiring retak cahaya menjalar ke segala sisi tubuhnya.
Raungan itu semakin intens dan kencang, bersamaan dengan retakan cahaya yang berkejaran ke sana kemari.
Lalu…
Blaaar…!
Ardha Candra menjerit tertahan, tubuh meringkuk di atas lantai ruangan. Dua tangan berusaha menutupi kepala dan wajahnya.
Tubuh makhluk tersebut meledak, pecah. Daging, tulang, dan isi tubuh serta isi kepala berhamburan ke segala arah. Darah hijau kental terciprat dan mengukir kesan brutal di beberapa tempat. Dinding, kasur itu, juga lantai, bahkan sebagian kecil menciprati tubuh Ardha Candra.
Bau sangit daging terbakar begitu menusuk hidung, Ardha Candra kembali muntah-muntah, lebih-lebih pada bau darah makhluk tersebut, benar-benar menguras isi perut si pria.
Divine Sword terjatuh ke atas lantai, berdenting, lalu tergeletak begitu saja.
Meski masih merasakan mual yang luar biasa, namun Ardha Candra dengan cepat merangkak ke arah pedang hitam di lantai. Melewati pecahan daging, tulang, dan isi perut dari makhluk yang tadi.
Setidaknya, laki-laki ini berpikir pedang hitam itu akan benar-benar sangat ia butuhkan jika makhluk serupa yang satu tadi itu masih ada lagi di luaran sana. Walaupun, di dalam hati ia berdoa semoga tidak akan ada lagi. Alih-alih sebuah kenyataan, Ardha Candra berharap segera terbangun dari mimpi buruk mengerikan ini.
Begitu meraih pedang, Ardha Candra segera beringsut lagi ke sudut kiri ruangan, sudut lain yang bersisian dengan pintu satu-satunya. Mendekam di sana dengan pedang hitam tergenggam oleh kedua tangan sekaligus. Menggigil tak berkesudahan.
Pandangan laki-laki itu masih mengawasi serpihan-serpihan yang tersisa dari makhluk mengerikan tadi.
Tidak sampai semenit, seluruh sisa tubuh makhluk tersebut tahu-tahu seolah terbakar dengan sendirinya. Setiap bagian yang tercecer memerah, layaknya nyala bara pada obat nyamuk bakar, dan lalu mengubah serpihan daging, tulang, dan isi perut serta otak yang berceceran menjadi abu kehitaman yang berterbangan. Sebentar saja, semua abu yang berterbangan itu pun terpecah-pecah menjadi partikel-pertikel yang jauh lebih kecil, dan jauh lebih halus lagi, sebelum akhirnya menghilang sama sekali dari pandangan Ardha Candra.
Begitu pula jejak cipratan darah hijau kehitaman di banyak titik. Darah-darah itu mengeluarkan suara berdesis berkepanjangan, lalu memuai, dan lenyap tak berbekas sama sekali.
Ardha Candra benar-benar dibuat pusing, tidak mengerti sama sekali. Kini, di dalam ruangan itu tidak lagi terlihat satu apa pun yang dapat mengindikasikan akan pernah ada kehadiran satu sosok makhluk mengerikan seperti banyak makhluk dari film-film horror besutan sutradara ternama di Hollywood sana.
Tidak sama sekali.
Bahkan serpihan kulit manusia—kulit perawat wanita yang sebelumnya digunakan makhluk hijau untuk penyamaran—itu tadi pun menghilang entah ke mana.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" gumam Ardha Candra seorang diri.
Sungguh, semua hal ini semakin membuat kepalanya terasa mau meledak sebab dipaksa untuk memikirkan hal-hal aneh yang berlaku sepanjang ia baru siuman dari komanya tadi.
Kini perhatiannya tertuju pada pakaian perawat yang tadi digunakan si makhluk. Robekan-robekan pakaian yang menggeletak di lantai itu masih ada.
Bergegas Ardha Candra meraih sobekan pakaian tersebut, lalu bermaksud menggunakannya untuk menyeka bilah pedang yang sebelumnya berlumuran cairan hijau kental. Tapi ia kecele, sebagaimana dengan darahnya yang pernah menempel di bilah pedang, darah makhluk itu pun sudah tidak terlihat lagi setetes pun di bilah pedang hitam.
"Wow…" gumamnya seorang diri, menganggumi kemampuan magis dari pedang tersebut.
Lantas, sobekan kain putih dan biru itu ia gunakan menyeka wajahnya, terutama untaian liur kental yang menempel di dagu, leher, dan dadanya. Sementara, darah makluk tadi yang juga sempat menciprati tubuhnya pun sudah tidak terlihat bekasnya sama sekali.