"Kau tidak percaya?" tanya makhluk itu lagi menanggapi tawa pelan yang keluar dari mulut Ardha candra.
"Iblis dan setan bisa menjelma jadi siapa saja," balas Ardha Candra pula.
"Hebat," kekeh makhluk itu mengangguk-angguk. "Kau alim juga ternyata."
"Aku tidak alim," sanggah Ardha Candra lagi. "Tapi aku juga tidak bodoh."
"Oh ya?"
"Tentu saja, Bung!" dengus Ardha Candra balas menantang tatapan itu.
Dan entah baru ia sadari atau bagaimana, yang jelas laki-laki itu dibuat kagum dengan sepasang bola mata makhuk tersebut yang berwarna emas pada irisnya.
"Baiklah," mahluk itu meluruskan pungungnya, bersidekap tangan ke dada seraya menggenggam pedang hitam. "Lalu," lanjutnya, "melampiaskan segala hal dengan alkohol. Teler. Sampai tidak menghitung lagi jumlah uang yang dibayarkan."
Sampai di situ, Ardha Candra terperangah lagi. Bagaimana mungkin makhluk itu tahu semuanya, sedangkan dirinya sendiri malah nyaris lupa soal urutan kejadian di malam nahas itu. Atau, yaa… Ardha Candra mengangguk-angguk, tersenyum miring.
"Lalu, mengemudi dalam keadaan mabuk," lanjut makhluk itu meneruskan ucapannya. "Nyaris menabrak si pengendara motor itu. Kemudian menyetir ugal-ugalan. Menabrak truk gandeng, masuk sungai, berakhir di meja operasi. Dan terakhir," ujarnya sembari menatap lekat pada Ardha Candra. "Sadar kembali di hari keseratus lima puluh satu setelah koma."
"Apa yang coba kau sampaikan itu?" Delik Ardha Candra.
"Apa semua itu bukan satu kebodohan bagimu," kekeh makhluk itu lagi. "Hemm?"
"Terserah," sanggah Ardha Candra. Dan jujur saja, aku memang merasa bodoh, gumamnya di hati. "Tapi," ujarnya lagi seraya menatap penuh selidik pada makhluk itu. "Kau harus kuacungi jempol."
Makhluk itu mengangguk-angguk. Bagaimana pun, ia dapat menangkap apa yang dipikirkan Ardha Candra saat sekarang itu. Terlalu mudah untuk ditebak.
"Bisa-bisanya kau menguntitku sejak awal begitu."
"Dasar manusia," sahut makhluk itu lagi, dan tertawa lagi dengan lepas. "Untuk apa juga aku menguntitmu, kawan? Kau pikir aku Malaikat yang kurang kerjaan, begitukah?"
Ardha Candra balas menertawakan makhluk tersebut. "Terus," ujarnya. "Ini apa namanya, hah?" Ia geleng-gelengkan kepala. "Kau menghabiskan waktu bersamaku di sini, apa bukan 'kurang kerjaan' itu namanya?"
"Sudah kukatakan bukan?" Makhluk itu tersenyum lebar. "Aku punya urusan denganmu."
"Baiklah, sebagai syaratnya," kekeh Ardha Candra, ia punya satu siasat di dalam kepalanya untuk membuktikan kebenaran akan jati diri makhluk di hadapannya sekarang itu. "Bisa," ujarnya. "Kau mengubah dirimu menjadi wujud Tuhan?"
"Kau sudah kehilangan akal sehatmu, kawan," balas makhluk itu. "Sepertinya para dokter itu melupakan tugas mereka di bagian otakmu itu."
"Oke-oke-oke," kekeh Ardha Candra pula, merasa senang dapat membalas segala tertawaan dari makhluk tersebut pada dirinya. "Bagaimana kalau," ujarnya, lantas menggaruk-garuk dagu yang ditumbuhi rambut-rambut hitam legam, rapat, dan kasar. "Bagaimana kalau dengan salah satu dari sekian banyak tangan-kanan Tuhan di muka Bumi ini. Bisa?"
"Aku tidak akan pernah mau berubah menjadi siapa pun di antara para Nabi dan Rasul-Nya," makhluk bersayap tersenyum lebar. "Jika itu yang kau maksudkan."
"Apa susahnya?" kekeh Ardha Candra. Tapi, ia belum yakin benar dengan sosok yang mengaku sebagai salah satu dari Malaikat Utama itu. "Bukankah kalian punya kemampuan khusus untuk mengubah wujud kalian sendiri menjadi apa pun?"
"Yaah," angguk makhluk bersayap. "Tentu saja."
"Lalu?"
"Hei," ujar si makhluk tersebut, lantas geleng-geleng kepala. "Sampai kapan pun, aku tidak akan mungkin mau menirukan di antara mereka. Tidak sama sekali. Tuhan kau bilang?" kekehnya lagi. "Kau benar-benar sinting—lebih dari yang kubayangkan."
"Baiklah," sahut laki-laki itu kemudian. "Aku percaya padamu."
"Yakin?" goda sang mahkluk menguji Ardha Candra.
"Mungkin," timpal laki-laki itu lagi dengan sedikit mengangkat bahu. "Sekarang," ia menatap dalam ke kedua bola mata berwarna emas itu. "Katakan, apa tujuanmu—ada urusan apa denganku?"
"Urusanku denganmu," ujar makhluk bersayap. Kemudian, kembali menimbang-nimbang pedang hitam di tangannya. Lalu, menyodorkan pedang tersebut pada laki-laki di hadapannya itu. "Adalah, untuk menyerahkan pedang ini padamu."
"Apa maksudnya ini?" Wajah Ardha Candra mengernyit. Sangat-sangat tidak paham sama sekali tujuan dari makhluk tersebut. "Untuk apa? Kau pikir aku butuh senjata, begitukah?"
"Itu," tunjuk sang mahluk, lantas kembali melipat kedua tangan di dada. "Divine Sword. Salah satu pedang milik Malak al-Maut."
"Aku tidak tanya soal nama pedang ini—aah…" gerutu Ardha Candra. Lantas meletakkan pedang tersebut ke atas kasur di samping kirinya. "Untuk apa aku harus membawa-bawa pedang segala? Bodoh!"
"Hei-hei-hei," tegur makhluk tersebut, lalu geleng-geleng kepala. Tentu saja dia belum mengerti, pikirnya. Yaah, sebentar lagi kau akan paham, anak keturunan Adam. "Jaga ucapanmu!"
"Terserah!" dengus Ardha Candra, dan mencoba untuk berdiri. Tapi gagal. Kedua kakinya terasa gemetar luar biasa seolah kehilangan kekuatan pijakannya sendiri. "Kalau pun aku butuh senjata—yaa, itu kalau memang butuh, ya." Ia delikkan pandangannya pada makhluk di hadapannya itu. "Aku akan dengan senang hati membeli dua pucuk pistol. P-i-s-t-o-l, kau paham?"
Entah menyindir atau memang sedang bercanda, Ardha Candra membuat gerakan tiruan pistol dengan jari tangan dan seolah menembak ke arah makhluk tersebut.
"Doorr!" kekeh laki-laki itu kemudian. "Lebih cepat, lebih praktis."
Makhluk itu sama sekali tidak tersinggung karenanya. Ia malah tertawa renyah menanggapi kekonyolan laki-laki yang duduk di sisi pembaringan itu.
"Haah…" dengus sang makhluk mengembuskan napas. "Entah kenapa juga harus kau yang terpilih." Ia tersenyum lagi dalam gelengan kepala.
"Terpilih?" ulang Ardha Candra. "Siapa yang memilih siapa?" songsongnya dengan pertanyaan lain. "Hei," serunya lagi. "Apa maksudnya itu?"
"Sudahlah," ujar makhluk tersebut menghela napas dalam-dalam. "Yang penting, tugasku sudah selesai. Dan pedang itu sudah berada di tanganmu," lanjutnya pula. "Tapi, sebelum aku pergi, dengarkan baik-baik—"
"Aku tidak mau mendengarkan ocehanmu," dengus Ardha Candra yang merasa pusing tujuh keliling sebab tidak tahu menahu soal semua keanehan ini. "Sebelum kau terangkan, apa-kenapa-dan bagaimana?"
"—Jika tidak sedang kau gunakan," lanjut si makhluk tanpa menghiraukan protes dari laki-laki tersebut. "Divine Sword," ia menunjuk pada pedang hitam dengan sedikit aksen kebiruan di kedua sisi tajamnya itu. "Akan menghilang."
"Hei," sergah Ardha Candra pula meninggi. "Aku tidak butuh benda tajam begini. Memangnya sekarang zaman perang? Kau sudah gila!"
"Dan tolong kau ingat baik-baik," ujar makhluk itu lagi terus saja bercerita. "Jika nanti kau ingin menggunakannya atau membutuhkan Divine Sword—percayalah," kekehnya pula seakan semua adalah memang kepatutan. "Kau pasti akan membutuhkan pedang itu, kawan. Ingatlah," sambungnya pula. "Kau cukup mengingat bentuk pedang itu. Dan dengan sendirinya Divine Sword akan muncul dan berada di dalam genggaman tanganmu. Kau ingat itu."
"Bagaimana kalau salah alamat?"
"Salah alamat?" sebelah alis tebal melengkung bak celurit di wajah makhluk tersebut terangkat tinggi.