"Yaah," Rezqi menekur dengan lemah. "Elu emang bener, Mbar. Mungkin memang itu alasan sebenarnya."
"Dengerin gue, Rez," ujar Ambar. "Habis dari sini, elu udah kerja—gue yakin seyakin-yakinnya lu akan berhasil di sana."
"Thanks…"
"Itu udah bisa elu jadiin pegangan untuk—yaa, paling enggak membuat Shari bahagia. Meskipun, menurut gue tanpa itupun si Shari pasti sangat menerima elu dengan tangan terbuka, Rez."
"Lu pikir gitu?"
"Yup," Ambar mengangguk cepat.
"Gimana kalo gue ternyata hanya bertepuk sebelah tangan?"
"Percaya gue. Gerak-gerik tuh anak selama ini udah ngasi indikasi ke arah sono, Rez. Masa' lu nggak bisa lihat, sih?"
"Entahlah, Mbar," sahut Rezqi. "Kadang gue emang ngerasa kek gitu, kadang gue malah jadi takut sendiri."
"Ya Allah, Rez," ujar Ambar pula sambil menepuk pahanya sendiri. "Gue aja, nih, ya… bisa ngelihat itu semua dari si Shari. Gue rasa yang lainnya juga."
"Gitu ya?"