Arif tersentak kala lampu dapur menyala. Ia tak sempat lagi menghapus air mata, menatap pada orang yang menekan saklar lampu di sana.
"Om," ucap Arif.
Damar diam tanpa kata, mendekat dan ia pun menarik Arif ke dalam pelukannya. Lelaki paruh baya itu hanya ingin meredam rasa rindu Arif terhadap sang Ayah.
"Anggap saja Om adalah Ayah kamu."
Arif terdiam, air mata yang tadi mengering kini mengalir kembali. Tumpah ruah bersama perasaan yang membuncah. Perlahan tangannya membalas pelukan Damar, memejamkan mata ia menyalurkan rindu yang sudah lama di tahannya.
"Aku rindu Ayah, Om. Aku sangat merindukan mereka. Aku takut Ayah celaka di sana, aku takut salah satu rival Ayah berhasil melukainya."
"Sst ...." Damar mengusap punggung pemuda yang ia anggap seperti putranya itu. Tidak terbayangkan kalau Khanza dan Zay jauh darinya, mungkin dia tidak akan setegar Irfan yang mampu menahan khawatirnya.