Chereads / Obsession In Love / Chapter 15 - Makan Malam Penuh Drama

Chapter 15 - Makan Malam Penuh Drama

"Kok ada suara motor? Motor siapa ya Ma?" Lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari kamar itu pun menyatukan alisnya.

"Entah Pa. Kita lihat saja yuk. Siapa tahu teman Papa," balas Karina.

Papa dan Mama Khanza keluar kala mendengar suara motor terparkir di halaman rumah mereka. Membuka daun pintu, keduanya tentu saja kaget kala melihat sang anaklah yang turun dari jok belakang.

"Khanza." Kompak keduanya berseru bersama.

Yang merasa namanya disebut pun menoleh. Mengulas senyum lembut, Khanza lantas segera menghampiri dan menyalami kedua orang tuanya tersebut.

"Ma, Pa," ujarnya.

"Kamu sama siapa Sayang?" selidik Damar.

Arif melepas helm. Turut turun dari motor, ia pun menyusul Khanza dan melakukan hal yang sama. "Om, Tante," sapanya.

Damar menukikkan alis. Wajah tampan di depannya serasa tidak asing. "Kamu anak muda yang tadi tertabrak mobil kami 'kan?" tebaknya tepat sasaran.

"Iya Om." Arif mengulas senyum lembut.

"Maksudnya Pa? Tadi kalian nabrak orang?" Karina shock mendengar pernyataan sang suami.

"Kak Zay tuh yang nabrak Arif, Ma. Untung saja anak orang nggak apa-apa," adu Khanza.

"Za," tegur sang Papa. Malu 'kan di dengar orang lain.

Oh astaga. Pantas saja perasaan Karina tidak enak tadi pagi. "Maafkan anak saya Nak?" tutur Karina tulus.

"Tidak apa-apa Tan. Lagi pula itu juga salah Arif kok. Arif juga kurang hari-hati mengendari motornya tadi."

Damar menoleh ke kiri dan ke kanan. "Mana Pak Usup, Za?" Yang ia tahu dari laporan sang istri anaknya tadi pergi belanja diantar sang sopir.

"Pak Usuf lagi nungguin orang bengkel buat tambal ban mobil," terangnya.

"Ban mobil kalian bocor?" kaget sang Mama yang sontak dibalas anggukan oleh Khanza. "Kok bisa?" lanjut perempuan paruh baya tersebut.

Menghela napas dalam. Damar sedikit mengerti kenapa ada Arif di sini saat ini. "Kita lanjutkan obrolannya di dalam saja yuk. Ayo Nak Arif ikut masuk."

"Iya Nak ayo." Karina pun turut mengajak pemuda tampan tersebut.

"Ayo masuk dulu Rif kedalam," desak Khanza yang akhirnya diangguki oleh lelaki itu.

Beriringan masuk ke dalam. Sang Mama dan Papa pun membawa tamu sang anak untuk duduk santai di ruang tamu.

"Za ambilin minum sana," titah sang Mama.

"Eh nggak usah repot-repot, Tan," cegah Arif.

"Nggak ngerepotin kok. Anggap saja ini balasan terima kasih aku karena kamu sudah nolongin aku," celoteh Khanza.

Menggaruk belakang kepala. Ya sudahlah. Sebenarnya Arif juga memang haus saat ini. Sembari menunggu gadis cupu tersebut membuatkan minum, Arif diajak ngobrol oleh orang tua Khanza.

Damar menceritakan kepada sang istri kejadian tadi pagi. Dan Arif pun menceritakan kejadian yang baru saja Khanza alami, hingga ia tak sengaja lewat dan membantu gadis tersebut.

"Terima kasih ya Nak Arif. Untung ada kamu. Kalau tidak, mungkin anak Tante belum sampai juga ke rumah."

"Iya Nak Arif. Om juga sangat berterima kasih, karena kamu sudah bersedia membantu dan mengantar putri Om sampai rumah."

"Sama-sama Om, Tante. Lagi pula tadi Arif cuma kebetulan lewat kok."

***

Khanza selesai membuatkan beberapa minuman, meletakkannya pada nampan, ia juga membawa serta sepiring kue bolu di sana.

"Wih tumben rajin." Zay yang baru saja keluar dari kamar mencegat sang Adik. Lantas menyambar kue di dalam piring, ia sontak memanyunkan bibir kala Khanza menajamkan mata.

"Minta satu Za," melas sang Kakak.

"Kakak ambil dapur saja sana. Ini buat Papa, Mama, sama Arif."

"Arif?" ulang sang Kakak seraya menyipitkan mata. "Arif yang tadi Kakak tabrak?" tanyanya lebih detail.

"Hm."

"Yang satu sekolah sama kamu 'kan?"

"Iya Kakakku Sayang." Khanza mengayunkan kaki untuk melangkah.

"Eh tunggu Za," cegah Zay. "Dia di sini?"

"Bukan. Di Hongkong," ketus gadis cupu tersebut. "Ya iyalah Kak. Itu orangnya di ruang tamu."

Zay memanjangkan leher. Memang terlihat punggung tegap seorang lelaki muda. "Ngapain dia di sini Za? Terus dari mana dia tahu alamat rumah ini? Jangan bilang dia ke sini karena urusan tabrakan tadi pagi," cerocos lelaki setengah baya tersebut.

"Kepo ya?" sindir Khanza. "Mau tahu aja ... apa mau tahu banget?" ledeknya.

"Za," tegur sang Kakak.

Memutar jengah mata, Khanza pun menjawab dengan nada ketusnya, "Tanya saja sendiri pada orangnya."

Ckck. Zay rasanya geram sekali pada Adik bungsunya tersebut. Ingin meledakkan amarah, tetapi sayang Khanza lebih dulu menghilang.

"Silakan diminum tehnya Rif." Menyodorkan sebuah gelas, Khanza juga meletakkan sepiring bolu coklat di tengah.

"Kuenya juga di makan, jangan sungkan-sungkan," tambah sang Mama.

"Iya Nak Arif. Silakan diminum dan dinikmati kuenya." Damar juga turut mempersilakan.

"Terima kasih Om, Tante, Za." Menyeruput teh, Arif melirik pada Khanza dan baru menyadari penampilan teman cupunya.

"Uhuk-uhuk-uhuk!" Arif sontak terbatuk.

"Pelan-pelan minumnya Rif," tegur Zay yang baru saja hadir dan lantas bergabung duduk di sana.

Menyapu mulutnya yang basah. Arif mengulas senyum malu. "Kak Zay," sapanya.

"Maaf saya baru tahu ada tamu di rumah. Ngomong-ngomong ada apa kamu ke sini Rif? Masalah tabrakan tadi ya? Apa motor kamu masih belum beres?"

Nyerocos saja terus Zay. Khanza dan kedua orang tuanya sampai geleng-geleng kepala atas pertanyaan to the point lelaki dewasa tersebut.

"Bukan soal tabrakan Kak. Arif ke sini cuma nganterin Khanza kok. Kebetulan tadi ketemu di jalan pas ban mobilnya bocor. Soal motor sudah beres kok, terima kasih ya Kak sudah bantuin Arif antar ke bengkel mana pakai di antar langsung ke sekolah lagi," terang pemuda tersebut dengan bahasa yang sopan.

"Owh." Zay melirik sang Adik yang menyengir tanpa rasa bersalah. Dasar Khanza, kenapa nggak bilang dari tadi coba, batin Zay. Awas kamu nanti Za.

Yang dilirik bodoh amat. Malah sibuk menghabiskan teh yang ia buat sendiri.

Gila. Kenapa gue baru sadar sama penampilan Khanza. Lebih manis dengan pakaian santai seperti itu. Ah andai tidak pakai kaca mata besar, dia pasti sangat manis, batin Arif.

"Nak Arif makan malam disini saja ya?" Permintaan Karina menyentak Arif dari lamunannya.

"Tapi Tan." Sesungguhnya Arif masih sungkan. Dia tidak terbiasa ikut makan di rumah orang lain.

"Iya Nak Arif. Anggap aja ini sebagai permintaan terimakasih sekaligus permintaan maaf keluarga kami kepada Nak Arif," sambung Damar.

Arif masih menimbang-nimbang keputusannya. Melirik sang teman, si gadis cupu itu malah diam saja.

Khanza tidak tau mau berbicara apa, karena sejujurnya dia juga senang dengan ide sang Mama.

"Udah iya'in saja. Nggak perlu sungkan," desak Zay.

"Em ... iya Arif makan malam di sini," setuju Arif seraya mengangguk. Tidak enak juga kalau harus menolak ajakan keluarga Khanza.

"Terimakasih banyak Om, Tante, Kak Zay, Khanza, Arif sudah  diajak makan malam bersama."

"Nggak, usah sungkan, anggap aja Om sama Tante orang tua kamu juga," ucap lelaki paruh baya tersebut.

"Iya Nak Arif," setuju sang istri.

"Anggap saya sebagai Kakak dan anggap juga rumah ini, rumah kamu sendiri," imbuh Zay.

Terharu. Arif mengulas senyum tulus untuk keluarga itu. Aku rindu Ayah Bunda, batinnya.

Karina mengajak Khanza ke belakang untuk menyelesaikan sesi masak-masak mereka. Sembari menunggu Arif melanjutkan obrolan dengan Zay dan Papa Khanza. Meski berbeda umur dan generasi, nampaknya mereka sangat nyambung satu sama lain. Arif sosok anak muda yang suka berbaur dengan siapa saja.

Tanpa terasa sudah waktunya makan malam. Arif yang ikut makan bersama mereka, sekarang sudah kelihatan akrab dengan keluarga itu. Orang tua dan Kakak Khanza yang sangat ramah membuat pemuda tersebut merasa nyaman berada di kelurga yang hangat itu.

Seperti biasa Zay dan Khanza selalu membuat drama di meja makan. Tidak peduli ada tamu, mereka tetap berseteru mengganggu satu sama lainnya.

"Kak Zay, itu punya Khanza," protes gadis cupu yang manja di depan keluarga.

"Kak Zay yang pertama dapat, berarti ini punya Kak Zay. Kamu ambil yang lain." Mengigit paha ayam goreng, lelaki setengah baya tersebut malah menjulurkan lidah mengejek pada Khanza.

"Ih Kak Zay!" omel Khanza.

"Sudah-sudah. Kalian ini ribut terus kalau makan. Nggak malu apa ada Arif di sini," tegur sang Mama sekaligus mengingatkan keduanya kalau sedang ada tamu.

Mana peduli tom dan jerry itu. Khanza malah melipat muka dengan masam. "Khanza nggak jadi makan kalau nggak ada paha ayam," rajuk si gadis manja tersebut.

"Za," tegur sang Papa.

"Mas. Kamu kebiasaan deh, suka banget gangguin adik kamu," omel Sisi.

Arif menoleh pada gadis manis di seberangnya. Mengulas senyum tipis ia pun memindahkan paha ayam yang tadi di kasih Karina kepadanya. "Ini buat kamu saja," ujarnya.

"Yeay!" sorak Khanza tanpa malu. "Paha Ayam," senangnya seperti anak-anak yang dapat mainan baru.

Karina, Damar, dan Sisi menggelengkan kepala. Anak bungsunya tetaplah Khanza yang manja. Sementara Zay—Si anak kedua yang jahil, tidak akan pernah puas kalau tidak mengganggu sang Adik sehari saja.

"Maafin anak-anak Tante ya Rif, mereka emang nggak bisa ngumpul, selalu ribut," ucap sang Mama.

"Nggak apa-apa Tan, Arif malah senang dan terhibur makan di sini." Dari pada di rumah dia makan dalam keadaan sunyi sepi. Meskipun ada kedua orang tuanya, dia tetap anak tunggal yang tidak bisa merasakan gimana serunya berseteru dengan saudara.