Chereads / Sexy Husband / Chapter 4 - Rumah Sakit

Chapter 4 - Rumah Sakit

Rumah Sakit

Aku melepaskan satu anak peluru dan tepat mengenai sasaran membuat satu orang ambruk, merasa senang perbuatan tadi bisa lulus, penglihatan ini tertutup membuat salah satu dari mereka berhasil mengenai tangan ini.

"Akh!" teriakku merasakan nyeri yang tak tertahankan, darah dengan cepatnya mengalir ke luar begitu saja. Tinggal dua orang lagi, satu satunya cara aku harus menembaknya secara bertubi tubi.

"Dasar wanita jalang, mati kau!" ucap mereka sambil berniat menembakku, dengan cepat aku menarik pelatuknya, menutup mata lalu menembaknya secara bertubi-tubi, rintihan kesakitan terjelas di telinga.

Air hangat yang mengenai wajah ini aku yakin itu pasti darah mereka yang muncrat. Aku membuka mata melihat mereka berdua yang mati sambil bermandikan darah yang sangat segar dan juga kental serta berbau amis.

Tubuh ini bergetar hebat tidak yakin bahwa akan menang, langsung saja aku membersih kan wajah yang berlumuran darah ini. Aku menangis hebat ketakutan dan berteriak sekuat mungkin

Aku lebih parah dari seorang pembunuh profesional, aku langsung terduduk lemas. Dan rasanya nyawa ini hampir copot. "Bagaimana ini? Aku akan masuk penjara?" gumamku sambil mengacak-acak rambut.

Tapi itu tidak penting, aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melakukan ini demi dirinya. Aku mengambil ponsel dari saku lalu menelepon ambulans, beberapa menit kemudian ambulans pun datang.

Aku merasa lega dan akhirnya pun aku tertidur.

***

Perlahan aku membuka mata dan melihat seberkas cahaya di atas. cahaya itu begitu menyilaukan dan membuat mata ini tertutup kembali. Merasa agak mendingan aku membuka mata kembali dan melihat sekitar,

Bangunan malam hari yang kulihat sekarang sudah berubah menjadi sebuah ruangan yang begitu tenang dan sepi. Aku menggerakkan kepalaku dan itu membuatnya terasa begitu sakit.

"Akh!" rintihku sambil memegang kepala yang sakit.

"Apa Anda sudah sadar," ucap seorang suster yang entah dari mana datangnya. Padahal tadi ruangan ini begitu sepi.

"Hm, di mana, Tuan Shui?" tanyaku.

"Dia berada di ruangan ICU, pendarahan di perutnya begitu fatal, pasien harus rawat inap sementara," ucap suster itu.

"Hm."

"Apa Anda istrinya?" tanya suster itu sambil merapikan selimut yang kupakai

"Eh ... Sus." Sebelum aku selesai ngomong seorang dokter datang menghampiri kami."

"Apa Anda merasakan sakit di bagian tertentu," ucap dokter itu sambil memeriksa tubuhku.

"Aku hanya pusing sedikit. Aku ingin bertemu Shui."

"Baiklah. Suster antar pasien ke ruangannya." Suster itu pun membantu kuberdiri dan membawa tubuh ini ke ruangan Shui, sesampainya di ruangan di sana aku melihatnya terbaring lemah.

Kaki ini langsung berlari mendekat semakin dekat membuat jarak beberapa centi meter. "Tuan," ucapku sambil memegang tangannya, tapi tidak ada respons sama sekali.

Satu jam lebih aku di ruangannya, aku melihat tangannya sedikit bergerak. Apa kesadarannya sudah kembali, perlahan Shui akhirnya membuka mata membuat hati ini merasa sedikit lega.

"Tuan," ucapku saat dia membuka matanya dan mengelus kening yang terasa dingin, wajahnya sangat pucat seperti mayat hidup, bersyukur dia bisa selamat dari kejadian semalam.

"Di mana aku?" tanya Shui.

"Di rumah sakit," jawabku sambil menatapnya.

"Oh, mereka ... mereka apa sudah mati?" tanya Shui. Aku hanya menunduk dan menganggukkan kepala pelan. Apa di pikirannya tidak ada niatan untuk menanyakan keadaanku.

"Bagus," ucapnya. Satu jam lebih aku bercerita pada Shui, dan menceritakan semua kejadian yang kualami saat dia pingsan, wajahnya tampak senang dan senyuman iblis itu terpancar sempurna.

Dor!

"Suara apa itu!" sentak kami di saat sedang asyik mengobrol, aku langsung memegang tangannya erat, merasakan sesuatu seperti kejadian malam itu akan terulang kembali.

"Sialan, mereka tahu aku sedang sekarat. Pergilah dari sini!" tegas Shui sambil melepaskan infusnya dan menarikku.

"Masuk!" ucapnya sambil mendorongku masuk ke kamar mandi. Shui pun pergi meninggalkanku sendiri. Lima menit sudah aku di sini. Suara kegaduhan di luar semakin kuat.

Aku pun memberanikan diri untuk pergi dan melihat. Sesampainya di pintu, mataku langsung membulat dan tidak menyangka melihat Shui tertidur di lantai lalu ada seorang yang memijaknya sambil mengarahkan pistol ke kepalanya.

"Apa yang terjadi?" gumamku lalu mondar-mandir.

Aku pun bergegas mengambil tas Shui dan mengambil sebuah pistol dari dalam tasnya. Tanganku mulai gemetar dan mengingat kejadian malam itu, tapi bagaimana lagi dia dalam bahaya.

Aku akan melakukan segala cara untuk menyelamatkannya. Aku pun mulai mengambil tempat untuk menembak di sudut jendela, tangan ini mulai menekan tombol merah untuk menyalakan lasernya.

Namun pistol ini jauh berbeda dengan pistol yang diberikan sebelumnya. Kenyamanannya tidak terasa sama sekali saat aku memegang pelatuknya. Ancang-ancangku sudah siap.

Aku memfokuskan target yang akan dikenakan, pria itu jika aku menembak kakinya maka dia akan melepaskan pijakannya. Aku menarik pelatuknya lalu menutup mata mendengarkan suara tembakan yang keras.

Aku membuka mata dan melihatnya baik-baik saja. "Akh, sialan meleset," ucapku lalu menunduk.

"Siapa itu, keluar! Jika tidak dia akan mati!" ucap penjahat itu. Tidak, Shui tidak boleh mati, tapi jika aku keluar dia akan memarahi dan menghukumku. Keselamatannya lebih penting.

Aku pun langsung keluar. "Bodoh, kenapa kau keluar?" teriak Shui melihat tubuh ini berdiri dengan sempurna di hadapannya.

"Aku tidak bisa membiarkan Tuan menderita," jelasku dan dia berdecit.

"Ini bukan urusanmu."

"Diam!" sambil meleset kan satu tembakan ke atas, semua orang yang disekap pun langsung ketakutan. Aku melihatnya dengan mata sinis, dan menganggap bahwa dia hanyalah sebuah pohon yang berdiri.

Tanganku mulai mengarahkan pistol padanya Shui tersenyum melihatku sedangkan penjahat itu tidak kalah menantang. Dia mengeluarkan pistolnya satu lagi, kini tangan kiri dan kanannya berisi sebuah pistol.

Dor ... dor ... dor....

"Akh, tolong!" teriak para penghuni rumah sakit sambil melindungi kepalanya dengan tangannya masing-masing, rasa ketakutan membara menyelimuti mereka, tangisan nyaring membuatku tidak fokus.

"Mati kau!" ucapku sambil melancarkan tembakanku secara tidak beruntun, tujuan utama hanya sampai dia terkena bukan menitikkan satu tempat yang bisa membuatnya langsung lumpuh.

"Akh!" teriaknya.

"Hahaha!" tawa Shui setelah melihatnya merintih kesakitan.

"Dasar berengsek!" ucapnya sambil melancarkan satu tembakan padaku.

"Aw!" rintihku sambil memegang pahaku yang terkena tembakan itu.

"Mirai!" teriak Shui saat melihatnya. Aku hanya memandang ke arahnya lalu tersenyum. Mukanya terlihat pucat melihatku yang menahan rasa sakit di paha, dia masih peduli.

"He!" teriak penjahat itu sambil memegangi tangan dan kakinya yang berlumuran darah karena tertembak tadi. "Kali ini kalian akan kulepaskan," ucapnya lalu pergi ke luar. Saat dia berada di pintu keluar, gerombolan polisi datang menangkapnya.

"Syukurlah, polisi datang," ucap semua orang dengan lega, setelah keadaan tenang. Suster membawaku dan Shui ke ruang kami masing-masing beberapa minggu kemudian kami sudah diperbolehkan untuk pulang.