"Aku senang, Alex! Kamu gak lihat? Aku sudah terlepas dari kursi dan kamu juga sudah terlepas dari ikatan? Inilah yang membuatku senang," sahut Angga.
"Maksud kamu apa?" Alexa masih belum mengerti situasi yang dimaksud Angga.
Angga langsung memeluk Alexa. Rasa nyeri akibat bogeman yang dilayangkan Ben seolah tak terasa sakitnya.
"Ayo, cepat. Waktu kita tidak banyak, kita harus keluar dari sini," ujar Angga setelah mengendurkan pelukannya.
Alexa membantu Angga bangkit. Dia juga memapah Angga mendekati jendela itu. Dia membiarkan kebingungannya berlalu begitu saja.
Jendela yang mereka lalui hanya memiliki tuas pengunci di bagian bawah sehingga mudah bagi Alexa membukanya.
Dengan langkah tertatih, Angga mengikuti langkah Alexa. Dia juga menajamkan telinga. Alih-alih ada derap langkah yang datang dan memergoki aksi mereka. Dia berjaga di belakang Alexa.
"Sudah terbuka, Ga!" desis Alexa.
Mata Alexa berbinar saat dirinya berhasil membuka tuas jendela.
"Kamu coba buka perlahan, dan intip sedikit apakah ada yang menjaga di luar sana," ujar Angga.
Alexa menuruti arahan Angga. Dengan sangat hati-hati dia membuka jendela dan melongokkan kepalanya sedikit.
"Aman, Ga!"
Ada satu hal yang menjadi kekhawatiran Angga dalam hatinya. Saat ini bukanlah kesulitan membuka jendela yang menjadi keresahannya, tapi dia tidak bisa memprediksikan apa yang ada di depannya setelah mereka berhasil keluar melalui jendela itu. Karena itulah dia memutuskan untuk menjadi kelinci percobaan terlebih dahulu.
"Alex, biar aku saja dulu yang keluar. Kamu ikut di belakangku," ujar Angga mengambil alih.
Alex yang sudah siap melangkahkan kakinya melewati jendela seketika menghentikan langkahnya. Dia mundur dan membiarkan Angga memimpin jalan.
Luka di tubuh Angga tak menghalangi semangatnya untuk melarikan diri dari ruangan itu. Dia sekali lagi memindai keadaan di depannya. Nyatanya ruangan itu adalah sebuah kamar yang letaknya berada di bagian belakang rumah. Saat jendela terbuka, Angga menengok ke arah kanannya langsung berbatasan dengan ruang dapur.
"Alex, pegang tanganku!"
Angga menjulurkan tangannya. Jendela itu hanya bisa dilalui oleh tubuh orang dewasa dengan posisi menyamping, sangat sempit!
Dengan sabar, Angga menunggu Alexa melewati jedela itu. Tapi tiba-tiba saja ...
Cklek! Pintu ruangan terbuka.
"Hei! Mau ke mana kalian!" teriak seseorang di belakang Alexa.
Sontak Angga dan Alexa menoleh ke belakang secara bersamaan.. Salah satu anak buah Ben memergoki aksi mereka.
"Alex, cepat!" seru Angga. Angga sudah berhasil keluar dari jendela, sedangkan Alexa masih berada di dalam ruangan.
Alexa dengan kecepatan kilat, berusaha keluar dari jendela itu. Dia bahkan tak menghiraukan lengan bajunya sobek karena mengait pada paku yang ada di bingkai jendela. Tak hanya lengan kemejanya yang koyak. Kulitnya yang tergores membuat darah segar merembes ke kemejanya.
"Hissh ... " Alexa meringis perih.
"Kena, kamu!"
"Ah!" seru Alexa.
Dia menyadari bahwa bahunya ditarik dari arah belakang. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki di belakangnya.
Angga yang menyadari situasi Alexa pun berusaha menarik tubuh Alexa. Akhirnya tarik menarik badan Alexa pun terjadi.
Alexa berinisiatif mendorong tubuh laki-laki itu dengan kakinya. Sayangnya, tubuh laki-laki itu terlalu kuat mencengkeramnya. Tendangan Alexa tak dapat memisahkan tubuhnya dari laki-laki itu. Tapi tidak membuat Alexa berputusasa. Dia kembali mendorong laki-laki itu sekuat tenaganya. Memusatkan semua tenaga yang ada pada kakinya. Alexa menendang tepat di bagian selangkangan si laki-laki.
"Sial! Dasar Jalang!" Laki-laki itu meng-aduh kesakitan.
Alexa berhasil menjatuhkan dan terjerembab ke belakang. Dengan secepat kilat Alexa keluar dari jendela.
"Alex, cepat! Kita harus segera kabur dari sini."
Mereka bergegas keluar dari rumah itu. Jantung yang berdegup kencang, nafas yang tersengal juga peluh yang terus mengucur mewarnai pelarian mereka. Belum lagi, keadaan yang tidak menguntungkan bagi Angga karena kondisinya yang terluka parah. Sesekali, Angga menghentikan langkahnya.
Angga sungguh sangat berjuang menahan nyeri di ulu hatinya. Berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Alexa. Tepat berada di pintu gerbang rumah itu, Angga sangat kesulitan memanjat pagar besi.
"Biar aku bantu kamu naik," ujar Alexa.
Dia mengurungkan pijakannya memanjat pagar saat melihat Angga tidak mampu memanjat pagar itu. Bukan hal sulit jika kondisi Angga sedang sehat dan bugar. Pagar besi itu hanyalah pagar besi biasa yang tingginya hanya satu setengah meter dengan di ujungnya berbentuk runcing. Tapi, keadaan sedang tidak berpihak pada Angga. Kondisi tubuhnya sungguh menguras tenaga. Pandangannya semakin berkunang seiring pelarian yang dipaksakannya.
Alexa dengan sabar mendorong tubuh Angga agar bisa memanjat. Waktumereka semakin sempit. Suara teriakan dari dalam rumah sudah semakin mendekat.
"Ayo Angga! Kamu pasti bisa. Sedikit lagi, kamu harus kuat," ujar Alexa menyemangati.
Akhirnya dengan segala usaha Alexa, Angga sudah berada di balik pagar besi. Nafasnya tersengal. Dia hampir saja ambruk.
Alexa kemudian menyusul langkah Angga. Dia memanjat pagar dengan cepat.
"Jangan kabur! Berhenti!"
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dari orang-orang yang datang mendekati Alexa. Dengan cepat, dia memanjat dan memapah Angga --yang hampir limbung-- menjauh dari rumah terkutuk itu. Berlari menjauh dari tempat itu adalah fokus utama Alexa.
"Angga, kamu gak apa-apa? Apa kita beristirahat dulu di sini?" ujar Alexa setelah berada cukup jauh dari rumah tersebut.
Nyatanya, rumah itu terletak di tengah hutan --setidaknya itulah yang Alexa lihat. Sebab, saat ini mereka berhenti di bawah pohon besar. Beruntung, pencahayaan mereka hanya mengandalkan cahaya purnama utuh.
"Kita harus terus bergerak, Lex. Aku takut mereka bisa menyusul kita," sahut Angga sambil mengatur nafasnya yang tersengal.
"Aku rasa, mereka kehilangan jejak kita. Kita sedang berada di ... "
Alexa mengedarkan pandangannya. Sejauh mata memandang hanya kegelapan malam dan pepohonan yang tidak nampak jelas jenisnya. Suara-suara binatang malam saling bersahutan meramaikan situasi mereka.
"Kita ada di mana, Ga? Aku takut."
Alexa baru menyadari keadaan sekitar. Ternyata mereka tersesat di hutan.
"Selama kita bersama, kita akan aman. Pegang tanganku," ujar Angga.
Alexa tidak bisa melihat dengan jelas wajah Angga, tapi ia meyakini bahwa Angga tengah tersenyum menguatkan padanya.
"Kita jalan lagi. Semoga di depan sana ada perkampungan."
Alexa mengangguk. Dia menggenggam erat tangan Angga. Meski langkah Angga terseok-seok dan sesekali meringis kesakitan, dia berusaha kuat di samping Alexa. Ranting pohon yang menjulur, tak sengaja mengoyak lengan dan celana mereka, membuat penampilan mereka sudah tidak keruan.
"Angga, lihat! Di depan ada banyak cahaya. Sepertinya itu lampu-lampu desa," ujar Alexa.
Angga mendongak. Benar! Ada banyak lampu-lampu yang berpendar dari kejauhan.
"Ayo Alex!"
Bergegas keduanya melangkahkan kaki menuju jalan setapak yang mengarah ke rumah yang terdekat.
"Alex, kita berhasil kabur! Lihat!" ujar Angga sambil menunjuk pada sebuah papan reklame yang bertuliskan sebuah alamat.
"Benar! Kita berada di pinggiran kota. Aku pernah ke sini waktu ayah masih hidup," sahut Alexa berbinar.
"Ayo, Ga! Kita cari pertolongan untukmu. Kamu harus segera diobati," ujar Alexa bersemangat
Naasnya, kalimat terakhir Alexa tidak dapat didengar oleh telinga Angga. Seketika pandangannya berubah menjadi gelap dan tubuhnya limbung jatuh ke atas tanah. Angga pingsan!
"Angga!!!"