"Mama! Mama!" jerit Alexa memanggil mamanya yang tengah dibawa oleh suster masuk ke dalam ruang suatu ruangan.
"Maaf nona, anda tidak boleh masuk ke ruangan ini."
Salah satu suster mencegah Alexa yang mencoba masuk ke ruangan tersebut.
"Tapi saya mau menemui mama! Mama!" teriak Alexa.
Alexa bersikeras meski tubuhnya dicekal oleh suster. Kepanikan jelas terpancar dari wajah Alexa.
"Nona Alexa, silakan ke ruang dokter Rifda. Beliau ingin bertemu dengan anda."
Di tengah kegusaran Alexa, seorang suster tiba-tiba saja datang dan langsung menyampaikan pesan dari dokter Rifda. Ajaib! Alexa berhenti meronta. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Alexa mengikuti suster itu ke ruangan dokter Rifda.
"Silakan nona. Dokter Rifda sudah menunggu di dalam," ujar suster itu.
Kali ini, Angga tidak membiarkan Alexa memasuki ruangan dokter Rifda sendirian. Dia berada di samping Alexa.
Dokter Rifda melirik sekilas ke arah Angga, kemudian matanya beralih pada netra Alexa yang sudah basah oleh tetesan air mata.
"Sebelumnya saya ucapkan mohon maaf tapi harus saya katakan dengan gamblang bahwa kondisi nyonya Renata saat ini perlu penanganan khusus."
Dokter Rifda menjeda ucapannya. Dia menanggalkan kacamatanya di atas meja.
"Harus saya katakan, bahwa kemarin malam, nyonya Renata melakukan percobaan bunuh diri."
"Mama?! Tidak mungkin!" pekik Alexa.
"Beliau menyayat pembuluh nadi dengan pisau buah yang ada di atas meja samping ranjang. Beruntung saat itu, suster jaga memergoki dan langsung dapat dicegah meski tangan sudah tergores pisau, namun tidak cukup untuk sampai memotong pembuluh nadi."
Alexa menutup mulutnya tidak percaya. Derai air mata semakin membasahi pipinya. Angga menguatkan Alexa dengan memeluk pundak Alexa dan mengusapnya perlahan.
"Ketergantungan nyonya Renata terhadap obat terlarang itu sudah sangat akut. Tapi meski demikian, kami berusaha semaksimal mungkin untuk membuat nyonya Renata bisa terlepas dari pengaruh hal tersebut. Karena itu, terpaksa kami membawa nyonya Renata ke ruang isolasi kembali untuk keamanan yang lebih baik."
Alexa menangis tergugu. Bahunya terguncang sangat hebat. Ibu yang ia sangat sayangi berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Seolah sudah lupa pada anaknya, dia tega mencoba mengakhiri hidupnya.
"Terima kasih atas informasinya, dokter. Kami sangat berharap mama Alexa bisa segera pulih kembali," ujar Angga mengambil alih percakapan.
Alexa sudah tidak dapat menyahuti ucapan dokter Rifda. Telinganya bahkan sudah tidak sanggup mendengar kemungkinan-kemungkinan terburuk dari mamanya.
Angga memapah tubuh Alexa ke luar ruangan. Dia membawanya menepi ke tempat duduk di ujung lorong.
"Kamu minum dulu. Tenangkan dirimu. Kita harus berpikir positif. Mamamu pasti bisa sembuh. Percayalah ... " ujar Angga.
Ingin rasanya Alexa memercayai ucapan Angga, tapi ada kerisauan yang terbesit di lubuk hatinya yang paling dalam. Sudah banyak kasus yang berkaitan dengan obat-obatan terlarang yang berujung pada kematian. Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan. Alexa hanya berharap, ibuny termasuk dari bagian yang selamat itu.
Setelah perasaan Alexa sedikit lebih tenang, Angga mengajaknya ke kantin rumah sakit. Bagaimanapun, mereka berdua belum mencicipi makanan sejak membuka mata pagi ini.
"Kamu mau makan apa?" tanya Angga.
"Aku gak mau makan."
"Kamu harus makan! Aku gak mau kamu malah sakit. Kamu harus jaga kesehatanmu, bagaimana bisa menjaga mamamu, kalau kamu sendiri sakit?" ujar Angga.
"Aku pilihin sayur sop saja ya?" tawar Angga.
Mendengar menu yang ditawarkan Angga membuat satu titik airmata kembali jatuh dari pelupuk mata Alexa.
"Kamu kenapa nangis lagi? Kamu gak suka sayur sop? Mau ganti aja?" tanya Angga kebingungan.
Alexa teringat dengan makanan kesukaan ibunya itu. Ia juga kembali teringat insiden saat dirinya didorong oleh ibunya karena menyuapi menu makanan tersebut.
"Baiklah, aku ganti saja."
Angga lantas melambaikan tangan pada pelayan kantin. Dia meneybutkan menu makanan yang hendak mereka makan. Sayur untuk Alexa sudah diganti menjadi sayur lodeh. Angga tidak tahu alasannya, tapi dia hanya menebak bahwa Alexa sedang tidak mau makan sayur sop.
Tak beberapa lama, menu makanan pun siap disajikan oleh pelayan kantin.
"Terima kasih, mba."
Angga dengan cekatan mengatur menu makanan di hadapan Alexa. Dia bahkan membagi dua menu makanannya untuk Alexa.
"Ayo makan, Lex."
Alexa dengan enggan menyendokkan suapan pertamanya.
"Oh iya, Lex. Nanti sore aku harus ke kampus. Kamu di rumah sendirian gak apa-apa 'kan?"
Pertanyaan yang selalu sama jika Angga hendak meninggalkan Alexa sendirian di rumah.
Alexa mengangguk pelan.
"Tapi, kalau kamu merasa takut sendirian, aku bisa menunda ke kampus," ujar Angga tidak yakin dengan jawaban Alexa.
"Kamu gak usah seperti itu. Aku bisa jaga diri di rumah," sahut Alexa.
"Gak apa-apa kalau kamu ingin ditemani. Lagipula, aku ke kampus hanya bertemu dengan dosen pembimbingku. Proposalku sudah di-acc. jadi seharusnya minggu depan aku mulai menggarap skripsiku," jelas Angga.
Alexa tertegun sejenak. Dia menghentikan suapannya. Tiba-tiba saja ia teringat dnegan pesan yang diterimanya dari pihak kampus. Sama halnya dengan Angga. Alexa juga seharusnya membuat janji bertemu dengan dosen pembimbingnya dan mulai membicarakan rencana pembuatan skripsinya.
"Oh, iya Lex. Bukankah seharusnya kamu juga mendapat pesan dari pihak jurusna tentang skripsi?"
Seolah pikiran Alexa dapat terbaca oleh Angga, dia menanyakan yang ada di pikiran Alexa.
"Belum," Alexa berbohong.
"Belum? Kok aneh? Seharusnya kamu juga mendapatkan pesan itu. Bukankah, kamu lebih dulu menyelesaikan semua mata kuliah ketimbang aku?" tanya Angga penasaran.
Alexa mengedikkan bahunya.
Angga tidak bertanya lebih lanjut jika sudah begitu. 'Mungkin itu malah lebih baik. Alexa butuh mengistirahatkan pikirannya terlebih dahulu,' batin Angga.
Alexa sengaja berbohong pada Angga. Dia sendiri tidak yakin akan melanjutkan skripsinya atau meninggalkan kuliahnya. Di pikirannya saat ini hanyalah kesehatan mamanya.
Angga menoleh ke arah pergelangan tangannya.
"Lex, gimana kalau kita pergi ke kota? Yeah ... hanya sekedar mencari angin saja. Aku gak mau melihat kamu sedih terus kalau masih berdiam di rumah sakit ini. Pikiranmu akan terus sedih memikirkan mamamu," usul Angga.
Alexa bergeming.
"Ayolah ... ikut saja denganku. Lagipula, kamu harus beli baju baru. Kamu 'kan gak bisa terus menerus memakai kaosku 'kan?" tuding Angga.
Alexa bersemu. 'Dia benar! Aku gak punya baju,' batin Alexa sambil menatap kaos yang menempel di tubuhnya.
"Baiklah ... tapi aku belum mengambil uang di bank," sahut Alexa.
"Siap! Aku siap mengantarmu sampai ke ujung dunia sekalipun!" kelakar Angga.
"Kamu ini!" Segaris senyum terulas di bibir ranum Alexa.
"Nah gitu dong ... Kamu kalau senyum terlihat sangat cantik, Alex!"
Mereka lalu beranjak keluar dari kantin. Dalam hati Angga, meskipun dia mengatakan siap menemani Alexa mengambil uang, sebenarnya tanpa dia lakukan hal itupun, Angga dengan senang hati akan membayari semua belanjaan Alexa.
'Apapun yang kamu mau, pasti aku akan belikan, Lex,' batin Angga.