"Alexa ..! Cepat lari … !" teriak Angga yang tengah berusaha mencekal tangan kekar bertato di depannya.
Alexa menoleh sejenak lalu melanjutkan laju larinya. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan yang dibuat oleh Angga. Berlari sejauh mungkin dari pandangan Ben.
Nafas Alexa memburu beriringan dengan degup jantung yang dipacu karena berlari. Sepatu ketsnya sudah tak berwarna putih bersih lagi. Beberapa kali ia menginjak genangan air di jalanan kecil. Tak ketinggalan pula noda cipratan air bertengger di celana jeansnya. Rambut panjangnya sudah tergerai tak karuan. Entah ikat rambutnya terjatuh di mana. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa liter peluh yang bercucuran dari dahi Alexa.
Alexa menghentikan langkah kakinya setelah ia yakin bahwa sudah sangat jauh dari jangkauan ayah tirinya. Ia bersandar pada tembok usang di punggungnya. Nafasnya masih tersengal dengan keringat mengucur dari dahinya.
"Kena, kamu! Mau lari ke mana lagi, bocah liar!"
Sebuah tarikan keras di bagian kerah belakang mengagetkan Alexa. Ia terperanjat dan menoleh, rupanya anak buah Ben telah menemukan persembunyiannya.
'Haiss, sial! Dari mana datangnya orang-orang ini?' rutuknya dalam hati.
Seperti semut saja yang tahu di mana keberadaan gula. Secepat kilat mereka bisa menemukan persembunyian Alexa.
"Ikut aku!" bentaknya sambil menyeret kerah Alexa.
Alexa pasrah. Tenaganya sudah terkuras habis akibat pelariannya yang sia-sia. Ia membiarkan tubuhnya diseret laki-laki berkumis tebal. Wajahnya tak kalah menyeramkan dengan Ben. Sepertinya mereka memiliki komunitas pencinta kumis dan berambut gondrong.
"Halo, bos! Sudah kutemukan bocah tengil ini! Siap bos!"
Suaranya membuat kesempurnaan seorang penjahat yang sesungguhnya layaknya penjahat di sinetron. Anak buah Ben itu menutup sambungan telepon dan kembali menggiring Alexa.
"Haish, Alexa ... kau tertangkap lagi. Sia-sia usahaku mencekal si bandot ini," lirih Angga saat melihat Alexa yang diseret oleh anak buah Ben.
Angga menyesali keadaan Alexa yang akhirnya tertangkap. Keadaan Angga tak lebih beruntung dari Alexa. Dia juga terkurung oleh tangan kekar Ben. Dia kalah tenaga. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu saat penyelamatan Alexa di rumahnya. Dia mampu menghajar Ben karena adrenalinnya terpacu melihat keadaan Alexa yang mengenaskan.
"Maaf, Ga. Aku membuat usahamu sia-sia," ucap Alexa merasa bersalah.
"Kalian benar-benar membuatku membuang waktu banyak! Seharusnya, hari ini aku dapat transaksi "ikan kakap". Gara-gara drama pengejaran kalian, aku jadi kehilangan sumber uangku!" teriak Ben.
Entah apa yang dimaksud dengan "transaksi ikan kakap". Pastinya Ben sedang tidak berjualan ikan layaknya penjual ikan di pasar. Yang pasti, saat ini Angga dan Alexa berada dalam genggaman kejahatan Ben.
***
Tiga jam sebelumnya ...
Angga memarkir mobilnya di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Dengan cekatan, dia membukakan pintu mobil Alexa sebelum tangan Alexa meraih tuas pintu.
"Terima kasih," ujar Alexa.
Angga membalas dengan senyuman lembut.
"Eh, ini kok kita langsung ke depan mall? Aku belum ambil uang," ujar Alexa tercengang setelah sadar Angga tidak mengantarnya ke pusat pengambilan uang tunai.
"Ah iya, maaf. Aku lupa. Pakai uangku saja dulu, gak apa-apa 'kan?" Angga berbohong.
Sejak awal, Angga memang tidak berniat mampir ke Anjungan Tunai Mandiri. Dia sudah berniat untuk membelanjakan uangnya untuk keperluan Alexa saat ini.
"Tapi ... "
"Udah, gak ada kata tapi. Yuk masuk," ajak Angga memotong ucapan Alexa.
Angga menggenggam tangan Alexa masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut.
"Kamu mau beli apa dulu?"
"Kita toko baju aja deh. Eh, Ga ... Aku pakai uangmu gak apa-apa nih? Mending kita ke ATM dulu aja. Aku gak mau pakai uangmu," ujar Alexa tak enak hati.
"Haish ... Kamu masih mikirin itu. Mending sekarang kita mulai pilih-pilih baju buat kamu. Pokoknya gak usah mikirin tentang uang."
Meski masih tak enak hati, akhirnya Alexa meng-iya-kan perintah Angga.
Angga menarik tangan Alexa untuk memasuki sebuah butik ternama. Alexa bukan tidak membaca nama merek yang terpampang di depan pintu masuk, ia bahkan dua kali menghentikan langkahnya dan menarik ringan tangan Angga, tapi Angga bersikeras membuat Alexa akhirnya menginjakkan kakinya ke dalam butik itu.
"Kamu coba baju ini. Kayaknya cocok sama tubuhmu ... ma-maksudku, cocok sama penampilanmu," ujar Angga sambil menyodorkan sebuah dres selutut.
Dia merasa malu saat mengucapkan itu. Otaknya diambil alih sesaat tadi oleh fantasi tampilan Alexa yang berpenampilan layaknya seorang putri kerajaan.
Mata Alexa membulat, bingung. 'Sebuah dres? Yang benar saja? Angga mau aku mencoba dres ini? Aneh sekali rasanya,' batin Alexa.
"Kamu sedang meledekku ya? Sebuah dres? Yang benar saja ... "
Alexa terkikik geli. Rasanya terakhir kali dia mengenakan dres saat dirinya kelas satu SMP. Saat itu adalah pesta ulang tahun terakhirnya yang dirayakan bersama papanya.
"Entahlah ... aku rasa ini gak cocok untuk style-ku," tampik Alexa sambil mengembalikan dres itu ke tangan Angga.
Meski sedikit kecewa, tapi Angga menghormati pilihan baju Alexa. Alexa akhirnya mengambil beberapa kemeja dan kaos. Dia pribadi yang cuek terhadap penampilan, jika saja dia bsa berdandan sedikit layaknya gadis cantik di luar sana, tentu saja kecantikan alaminya akan lebih terpancar lagi.
"Kamu lapar gak, Lex? Aku lapar nih. Kita makan dulu, yuk," ajak Angga
Mereka sudah menyelesaikan berbelanja di butik tersebut. Dua kantong plastik sudah berada di genggaman tangan Angga. Dia mengambl alih semua belanjaan untuk dia tenteng di tangan.
Angga menoleh arloji di pergelangan tangannya, sudah memasuki jam makan siang.
Alexa mengangguk. Namun naasnya, baru saja mereka hendak melangkahkan kaki menuju pusat makanan cepat saji di mall tersebut. Mereka dikagetkan oleh sesosok manusia biadab yang sangat mereka kutuk.
"Akhirnya kita bertemu di sini, cantik ... "
Laki-laki itu menyeringai. Secepat kilat bulu roma Alexa meremang. Paru-parunya seolah tersekap oleh sesuatu yang menyesakkan sehingga nafasnya mulai tersengal. Degup jantung berpacu dengan kencang. Kilasan demi kilasan ingatan buruk malam itu langsung tergambar di benak Alexa.
Berbeda dengan Alexa yang merasa ketakutan. Geraham Angga beradu membuat suara gemeletak kecil, geram. Tangannya sudah mengepal kencang. Dia sepertinya sudah siap kapanpun akan melayangkan bogem mentahnya lagi. Sayangnya situasi mereka tidak beruntung. Mereka berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Satu tidakan yang menjadi peluang adalah, Lari!
Dengan gerakan kilat, Angga menahan tubuh kekar Ben dengan kedua tangannya.
"Alex, cepat lari!" seru Angga.
Alexa tersentak dari perasaan takut yang menenggelamkan kesadarannya. Dia pun langsung berlari sekuat tenaga keluar dari mall, meninggalkan Angga yang berusaha menahan Ben.
Saat ini .....
Mereka diseret ke sebuah rumah kosong. Tangan Angga diikat oleh tali sangat kencang, begitupun dengan Alexa. Tapi satu hal yang Angga syukuri adalah, dia tidak dipisahkan dari Alexa. Alexa masih ada di sisinya.
'Setidaknya, Alexa masih dalam pengawasanku dan tidak dibawa oleh bandot tua itu!' batin Angga.
Dia hanya tinggal mencari cara agar bisa terlepas dari ikatan dan membawa kabur Alexa keluar dari rumah kosong itu.