"Mama .. cepat sembuh. Alexa kangen sama mama."
Alexa menggenggam telapak tangan nyonya Renata. Tentu saja di sisinya, duduk seorang Angga yang selalu menemaninya siang dan malam. Beruntungnya, semua mata kuliah sudah terselesaikan, hanya tinggal menunggu keputusan dari pihak jurusan tentang proposalnya, sehingga kegiatan perkuliahnnya tidak terganggu akibat ikut bolak balik menemani Alexa di rumah sakit.
Angga menatap pilu keadaan sang pujaan hati yang tengah meratapi keadaan mamanya. Dia tidak tega sedetikpun meninggalkan Alexa menunggui ibunya sendirian. Meski batas menjenguk ibunya hanya diperbolehkan sampai pukul sembilan malam, Angga tetap setia menemani Alex.
Alexa pernah memohon pada dokter Rifda untuk mengijinkan dirinya menginap di kamar pasien lainnya yang kosong, demi bisa berada dekat dengan ibunya terus. Namun sayangnya, dokter Rifda tidak mengijinkan. Beliau hanya memberikan kelonggaran waktu hingga pukul sembilan dari batas awal hanya pukul delapan. Satu jam tambahan yang harus disyukuri Alexa.
Angga melirik jam di dinding kamar. Sudah pukul sembilan kurang lima menit. Dia beranjak dari kursinya dan bersiap memberitahukan Alexa.
"Alex … sudah hampir jam sembilan. Kita sebaiknya bersiap pulang. Lihat, mamamu juga mungkin perlu istirahat," ujar Angga lembut.
Kalimat akhir Angga hanya sebuah asumsi belaka. Dia tidak tahu apakah nyonya Renata benar-benar beristirahat ataukah tertidur karena efek dari obat bius dari dokter setelah mengamuk beberapa jam lalu.
"Kamu juga harus istirahat. Aku takut kamu sakit. Kita pulang, Lex," ajak Angga sekali lagi sembari meraih tangan Alexa yang masih tertaut pada tangan ibunya.
Meski enggan, otak Alexa menyetujui ajakan Angga. Dia tahu, bahwa kesehatannya pun harus dijaga. Siapa lagi yang akan menjaga ibunya, jika kesehatannya menurun lalu ambruk.
Angga memapah Alexa keluar kamar pasien dengan sabar dan telaten. Sudah tiga hari Alexa merawat ibunya. Mencoba menyuapinya makan ---meski bel berhasil-- dan bahkan berusaha bercerita dengan raut wajah bahagia agar ibunya terstimulasi lalu pulih kembali. Sayangnya di hari ketiga ini ada insiden yang membuat hati Alexa terguncang.
***
Dua jam sebelumnya …
"Mama, Al bawakan makanan kesukaan mama nih, sup ayam lezat. Al, suapi mama, ya?"
Alexa dengan telaten menuangkan sup ke dalam mangkuk dan hendak memulai menyuapi mamanya.
Seperti hari-hari sebelumnya, nyonya Renata sama sekali tidak merespon keberadaan Alexa. Dia seolah kehilangan cahaya kehidupan. Matanya menatap kosong ke depan. Apapun yang Alexa ucapkan, nyonya Renata sama sekali tidak bereaksi. Alexa menitikkan air mata untuk kesekian kalinya dalam sehari ini. Sedih, hatinya sangat sakit melihat keadaan ibunya seperti itu. Seperti mayat hidup.
Perlahan Alexa memulai suapan pertamanya. Seperti respon hari-hari sebelumnya. Mulut nyonya Renata tetap mengatup. Sendok menyentuh bibir pucat milik nyonya Renata. Tidak ada respon.
Alexa tidak habis akal. Dia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan ibunya.
"Ma … makan dong. Ini, Al sengaja belikan sup untuk mama. Satu suapan saja, ya?" paksa Alexa.
Alexa kembali menyodorkan sendoknya mendekati bibir mamanya. Ada sedikit penekanan pada ujung sendok. Alexa bermaksud agar mamanya menyadari kehadiran sendok yang ada di depan mulutnya lalu membuka mulutnya. Namun sayangnya, maksud Alexa malah berujung insiden bagi Alexa.
Nyonya Renata menoleh seketika. Matanya sangat menyeramkan karena menatap tajam ke arah Alexa.
Alexa tertegun. "Mama … "
Dan detik selanjutnya, tangan nyonya Renata menampik sendok dari tangan Alexa hingga terjatuh ke bawah lantai.
"Mama kenapa … Agh!!!" jerit Alexa.
Rambut Alexa ditarik. "Mama … sakit! Rambut Al jangan ditarik, mama … !"
Alexa berusaha melepaskan rambutnya dari cengkeraman tangan mamanya. Tapi naasnya, mamanya melepas secara tiba-tiba. Nyonya Renata lalu mendorong tubuh Alexa hingga tubuhnya terjengkang. Akibat dari dorongan yang kencang itu, tubuh Alexa limbung. Sungguh sempurna tempat Alexa mendarat. Pantatnya langsung mendarat di atas lantai yang keras. Tidak hanya itu, kepalanya menyentuh benda keras hingga pelipisnya berdarah. Pelipisnya terantuk ujung meja besi. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Perih … sakit …
Nyonya Renata mengamuk saat menolak paksaan suapan dari Alexa. Tiba-tiba saja perilakunya sangat beringas. Sorot matanya menyalang, seolah yang di hadapannya itu bukanlah darah dagingnya.
Angga yang baru saja sampai di depan kamar inap nyonya Renata sontak buru-buru membuka pintu. Dia mendengar suara gaduh dari dalam kamar. Dan saat dirinya masuk ke dalam, betapa terkejutnya melihat situasi yang begitu kacau tidak terkendali terjadi.
Dua orang perawat sedang mengungkung kedua tangan dan kaki nyonya Renata. Dan di sebelah mereka berdiri dokter Rifda dengan jarum suntik yang sudah siap ditusukkan pada lengan nyonya Renata. Lalu matanya langsung beralih pada sosok Alexa yang duduk bersimpuh membelakangi Angga.
"Kamu sedang apa, Lex? Kenapa duduk di lantai, Alex?"
Angga merengkuh pundak Alexa, dan saat netranya berhadapan dengan wajah Alexa, barulah dia menyadari sesuatu telah terjadi pada pelipis Alexa.
"Astaga! Pelipismu berdarah, Lex!" seru Angga panik.
Dia buru-buru membawa Alexa keluar kamar dan mencari pertolongan pada suster yang ia temui di koridor.
"Suster! Tolong, teman saya berdarah!"
Suster yang ditemui pun langsung membawa Alexa ke ruang Unit Gawat Darurat --beruntung lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat Angga meminta tolong. Suster itu langsung menangani pelipis Alexa yang berdarah. Tidak terlalu parah, tapi cukup serius jika berlama-lama tanpa menghentikan aliran darahnya.
"Luka teman anda tidak terlalu serius. Beruntung lukanya kecil sehingga tidak harus mengambil tindakan operasi kecil," ujar suster itu setelah selesai membalutkan perban pada luka Alexa.
"Terima kasih suster," sahut Angga.
Angga memapah tubuh Alexa keluar dari ruangan itu. Beruntung di dekat ruangan itu ada kursi tunggu pasien. Angga masih membimbing tubuh Alexa agar mengikutinya duduk ke kursi besi itu.
"Kamu gak apa-apa 'kan, Lex?" tanya Angga setelah mereka duduk dengan nyaman di kursi tersebut.
Jawaban yang didapat Angga atas pertanyaannya adalah bukan kalimat yang tersusun oleh kata-kata, melainkan sebuah isakan tangis yang menyayat hati. Angga buru-buru memeluk Alexa.
"Menangislah ... aku gak akan menghentikanmu jika itu bisa membuat beban hatimu lebih lega," ujar Angga sambil mengusap punggung Alexa penuh pengertian.
Layaknya hujan yang tiba-tiba saja turun mengguyur dengan sangat derasnya ke atap rumah sakit. Tangis Alexa pecah. Bagaikan mantra, ucapan Angga yang membolehkan dirinya menangis, terjadi begitu saja. Dia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Angga. Entah apa yang kini dirasakan oleh Alexa, dia hanya ingin menangis. Menumpahkan segala kesedihannya, kekecewaannya. Ingin rasanya dia berteriak meluapkan kemarahannya dan bertanya 'mengapa takdirku seperti ini, Tuhan?!'
Mulut Alexa perlahan terbuka. Dia membisikkan kalimat yang sama sekali tidak terduga oleh benak Angga.
"Angga ... hatiku sakit ... lebih sakit dari pelipisku yang berdarah. Rasanya sesak. Aku ingin mati saja, Ga!"
Bola mata Angga langsung terbelalak. "Gak! Kamu gak boleh ngomong gitu! Aku gak akan membiarkan satu hal apapun yang terjadi sama kamu. Aku bersumpah, aku akan menjaga kamu terus!" tekad Angga bulat.
"Kamu gak boleh menyerah. Aku akan selalu ada di sampingmu. Percaya sama aku, ya?" sambungnya sambil meyakinkan Alexa terhadap ucapannya.
Netra mereka bersirobok. Alexa melihat ada kesungguhan di dalam netra coklat terang milik Angga. Tapi sayangnya, kesungguhan Angga membuat Alexa semakin terisak.