"Nak... tak ada sabar yang sia-sia," lanjut Ibunya.
Aksa merintih menahan lukanya. Namun, memang benar kata Ibunya.
Ia telan semua nasihat Ibunya itu. Bersamaan segala bentuk penerimaan yang belum berdamai dengan dirinya. Ya, ia masih menyimpan kekecewaan pada Ayya. Pada hatinya sendiri.
"Diminum, Nak. Biar lebih tenang," pinta Ibunya.
"Iya, Bu."
"Ibu bersihkan dulu, ya? Ibu ke belakang bentar ambil alatnya."
Aksa menganggukkan kepala. Kalau ada kesalahan yang ia sesali saat itu, adalah membuat repot Ibunya pontang panting berkali-kali.
Tak ada yang bisa menandingi kasih Ibu. Itu satu gambaran jelas yang Aksa coba lakukan. Hanya Ibunya kini yang ada di kehidupannya.
Sedikitpun, Aksa tak ingin menjenguk ayahnya. Bukan karena kasus korupsi yang menjeratnya ke penjara. Aksa akan belajar mengampuni itu.