"Kang Jae!" Namira memelukku saat aku datang menjemputnya. Kelihatannya dia baik-baik saja. Ah, tidak sepenuhnya baik juga. Pasti, dia sangat merindukan anaknya. Selama Namira dipenjara untuk keperluan penyelidikan, Nana tinggal di rumahku. Dan aku masih membenci anak itu, sama seperti sebelumnya.
Baiklah, aku tidak akan lagi mengatakan alasannya. Yang jelas, setiap kali aku melihat bocah perempuan itu, bayang si lelaki tua bangka Daisuke selalu saja kulihat dari sorot matanya. Dan aku membencinya.
"Kamu terlihat senang di sini, Nami." Kataku melirik sahabatku, Kepala Polisi di sini, Rheiner. Kami berteman akrab selama ini. Aku juga sering melakukan riset untuk novelku yang bertema thriller sambil berkonsultasi bersama Rheiner ini.
"Kas Rheiner memperlakukanku seperti putri raja di sini. Tentu saja aku senang." Jawab Namira, terlihat riang. Namun, aku tahu sebenarnya dia sedang menutupi kesedihannya.
Tentu saja, Nami. Kamu 'kan kesayangan semua orang. Bahkan, Rheiner pun sepertinya akan rela melindungimu. Lagipula ada hubungan diantara kamu, Rheiner, dan aku. Jelas saja kamu di istimewakan, batinku.
Aku menghela napas.
"Sudahlah, izin pada Pak Rhei dulu sana!" Perintahku pada perempuan yang masih kucintai itu. Benar. Perasaanku belum berubah. Aku kini mencintai Yoona, tapi juga masih mencintai Namira.
Namira menurut. Rheiner mengerling padaku membuatku ingin berdecih saja.
***
Aku mengajak Namira ke kedai es krim lebih dulu. Kasihan dia semalaman mendekam di kantor polisi. Musim kemarau memang membuat rasa es krim semakin lezat.
Sesuai janjiku, aku mengajaknya menikmati es krim. Tapi kali ini, tanpa kehadiran Jeje dan Nana.
Seperti biasa dia akan memesan es krim coklat favoritnya. Namira memang belum berubah. Meski dia sudah punya putri, tapi sebenarnya dia masih senang dimanjakan seperti ini. Usianya baru sekitar 22 tahun.
Aku memandanginya menikmati es itu. Benar-benar kekanakan.
"Kau kenapa melihatku begitu, Kang? Kamu mau esku, eum?"
Aku kelabakan. Tunggu! Mau sampai kapan dia memanggilku dengan 'kang'? Setidaknya 'mas' saja kan bisa. Hey aku masih muda!
"Mas Jae saja, Nami!" Aku mangajukan protes.
"Hmm??" tampaknya dia belum mengerti.
"Panggil aku Mas Jae. Aku tak suka panggilan itu, Nami. Itu panggilan yang akan mengingatkan kita pada masa lalu. Dan lagi, kamu memanggil Rheiner saja 'Mas', masa memanggilku 'Kang' heh? Bukankah itu tidak adil?"
Dia terkikik. "Baiklah, Mas Jae." katanya
"Jadi apa motif Gilang membunuh Utami, Mas?" tanyanya penasaran.
"Cinta. Cintanya ditolak oleh Utami, bukan?"
"Tentu saja, kan Gilang sudah memiliki Ririn. Mana mau Utami menerima cinta Gilang. Nanti dikira pelakor lagi."
"Nah untuk itu lah pembunuhan ini terjadi, Sweetheart. Sementara kamu tau rahasia ini. Jadi, untuk membalas kalian, dia berencana mengirim kamu ke penjara dan Utami ke akhirat. Tapi dia sungguh bodoh."
"Kenapa begitu?"
Aku menyeringai mendengar pertanyaannya.
"Karena selama aku bernapas, kamu tak akan kubiarkan jauh dariku. Selama aku hidup, tak kubiarkan bahaya mendekatimu."
Kulihat ia merona dan menutupi wajahnya. Mungkin malu. Dan aku suka sekali ekspresinya itu.
***
"Mas Jae!!" Namira histeris sambil berjingkrak ala perempuan kebanyakan.
Aku mengedarkan pandanganku ke arah telunjuk Namira mengarah.
"Apa yang menarik?"
Perempuan sekarang memang aneh-aneh. Segerombolan orang saja, begitu diminati.
"Mas Jae! Itu Mikha Kirana! Penyanyi favoritnya Nami. Kyaaaaa! Produser musiknya juga ada. Kyaaaa tampannya! Namanya Rafael Yudhistira! Huaaa Mas El!!"
Aku tersentak. Apa-apaan panggilan 'mas' yang di sematkannya pada si Rapael? Rafeal? Atau siapalah tadi.
"Pulang! Waktu habis!" kataku menarik tangan Namira.
Ku lirik sekilas gerombolan orang-orang itu. Apanya yang tampan? Aku jauh lebih tampan daripada si produser musik.
Bersambung ....