_
" Medika, apakah kau bisa mendefinisikan rasa takut mu?"
" Hmm, aku rasa aku tak bisa kek. Memangnya ada apa? Apakah itu penting?"
" Ya tentu saja, karena akan ada momen dimana kamu akan benar-benar membutuhkan penguasaan diri terutama dalam hal penguasaan terhadap rasa takut."
" Jadi jika suatu saat itu terjadi, aku akan minta tolong kepada kakek saja deh hehe..."
" Begini Medika, Rasa takut adalah hal paling dasar dalam diri manusia, itu adalah insting alami mu. Ia ada bukan untuk engkau kalahkan Medika, tapi untuk engkau kuasai."
" Lalu, kalau kita tidak kalahkan, bagaimana bisa kita menguasainya kek? Kadang medika suka bingung sama kakek, ngomongnya suka beda-beda ah!"
" Hahahaha, kamu ini kalau dibilangin sama yang tua selalu ngeyel ya."
_
Timor Timor
Pukul 18.00 sore
-
*Suara ledakan dan tembakan memenuhi area pertempuran.
Medika berlarian mencoba menghindari berbagai macam serangan makhluk yang hendak menangkapnya saat itu, semua reka ingatan ini sangat nyata, baginya pertarungan ini sama saja dengan tiket satu arah menuju kematian sebab ia bukanlah Auror, ia hanya manusia biasa dari keluarga biasa, dengan pekerjaan biasa, satu-satunya yang berbeda darinya hanya tekat besarnya nya untuk menolong orang lain, namun sikap kekeuhnya untuk menerima ajakan para elf guna mengeksplorasi Reka memori ini berujung bencana, luka ditubuh medika kian banyak, cakaran, sabetan dan beberapa bagian seragam yang ia kenakan pun robek. Ia berlari sembari memikul senjata anti-kaiju di bahu kanannya, senjata itu sangat berat dan suaranya sangat bising, namun senjata ini lah yang menjadi penyelamatnya selama beberapa jam dalam dunia itu.
Rasa sakit mulai merasuki tubuhnya, sepertinya racun dari gigitan ular raksasa tadi mulai mengambil efek dalam dirinya, ia mengambil inisiatif untuk segera berlindung dan kebetulan, 20 meter didepannya ada sebuah tempat perlindungan, ia berlari kesana tergopoh-gopoh memikul senjata, ia memastikan para monster tidak mengikutinya lalu ia bersembunyi disana dan menarik nafas panjang.
" Ya Tuhan... Argh..."
Medika membuka ikatan perban yang melindungi lengannya dari gigitan raksasa itu, darah mulai bercucuran dan berubah jadi hitam, lengannya mulai mati rasa akibat racun dan memikul beban senjata. Matanya mulai kabur, namun diluar ia mendengar suara teriakan seseorang dan raungan monster setinggi 5 meter.
Ternyata, itu warga sipil yang tengah menjadi santapan monster-monster tersebut.
Medika bergidik dengan kengerian yang ia saksikan, sementara darah menyembur dari tubuh orang-orang yang tengah dimangsa oleh makhluk-makhluk dari dunia lain itu.
Warga tengah dikumpulkan dalam satu tempat, mungkin ada sekitar 25 orang disana, monster-monster itu berdiri mengitari orang-orang malang itu, mungkin ada sekitar 5 ekor monster setinggi 5 meteran dengan kuping mirip kelinci dan kuku yang sangat panjang. Satu persatu seorang jiwa malang diambil, ditusuk dengan kuku yang amat tajam itu, digigitnya orang itu dan dimakannya dengan kunyahan yang sangat rakus. Sontak orang-orang disana begitu histeris dan takut, beberapa mulai berlarian namun ditangkap olah salah seekor makhluk itu dengan kelima kuku tajamnya, beberapa dimasukan kedalam kantung kulit besar lalu diinjak-injak hingga darah menetes dari kantung diperaslah ia lalu diminumnya dengan sangat keji.
Dengan seluruh pemandangan mengerikan itu, Medika meringkuk lemas, dengan seluruh gejolak emosi yang sangat campur aduk.
Untuk sesaat ia mengutuk pria itu yang semerta-merta membawanya ke dunia yang kejam ini, benar-benar diluar dugaan bahwa ia disana bukan sebagai penonton tapi sebagai manusia utuh yang memiliki nyawa, kesadaran, serta kesempatan yang sama untuk bertahan hidup pada fenomena itu layaknya penduduk sipil yang sudah hancur menjadi bubur dihadapannya.
Namun, setelah beberapa waktu disini membuatnya berfikir dengan ucapan kakeknya waktu itu :
" ... Ketakutan ada untuk kau kuasai..."
Perkataan itu menggema dalam telinganya, keringat mulai bercucuran dari pori-pori tubuhnya, racun yang mulai menyebar itu ia abaikan, rasa sakit yang ia rasakan kalah dengan rasa takut dan teror yang ia saksikan.
" Apa yang harus aku lakukan... Mama, papa.. bantu aku.."
Medika semakin terpuruk dan frustasi sementara teriakan warga sipil disana semakin menjadi, ia mengutuk semuanya.
" kenapa tidak ada Auror yang datang menolong kami?" Benak medika.
Sementara ia mulai kehabisan kata-kata dan mulai pasrah menerima keadaan bahwa sepertinya ia akan mati disini, ia mulai berhalusinasi mengenai banyak hal-hal aneh yang sebelumnya belum pernah ia pikirkan.
" Jika saja, dalam waktu singkat aku memiliki kekuatan super, bisa memukul mundur semua monster jahat itu, haha... Sungguh utopis, akhirnya aku menyadari bahwa sekolah, pendidikan, karir dan sifat keras kepalaku semuanya tidak berarti di tempat terkutuk ini, semuanya sangat sia-sia karena aku kalah dengan rasa takutku sendiri.."
Medika lalu kembali meringkuk dan memeluk kedua kakinya sambil tertawa.
" Hahahaha, dunia ini sungguh lucu, orang itu juga lucu, jadi intinya ia ingin menunjukkan betapa sia-sia semua pencapaian ku selama ini jika dihadapkan pada situasi tak terduga yang tidak bisa diprediksi sebelumnya? Tapi jika itu tujuannya, ini semua berlebihan!!"
Tawa Medika semakin meledak seperti orang yang mulai kehilangan kewarasannya, ia mengambil pisau dari saku nya dan memutuskan untuk memotong nadi nya, namun dari jauh ia mendengar suara anak kecil yang meminta tolong, seketika mata Medika terbelalak mencari-cari sumber suara itu.
" Mama... Pala... Tolong aku... Huuu..."
Anak itu menangis kencang persis seperti nada yang Medika ucapkan sebelumnya.
Perhatian monster yang tengah berpesta itu teralihkan kepada gadis berusia mungkin 9 tahunan tersebut, dengan gaun pink nya yang bersimbah darah, sepertinya kedua orangtuanya sudah dimangsa oleh monster lain, karena kalau melihat pola penyerangan monster-monster sangat terstruktur, setiap tipe monster menyerang secara spesifik disetiap bagian pulau, tidak random dan bercampur namun dikelompokkan sesuai dengan medan, pola perumahan dan lokasi bantuan militer mengingat sebelum sampai lokasi ini, terdapat raksasa setinggi 15 meter yang menyerang pangkalan militer dan monster berbentuk seperti tank-tengkorak di lokasi yang memiliki bunker perlindungan.
Pola penyerangan ini sangat rapih, sehingga tanpa menurunkan jumlah monster yang banyak sekalipun, mayoritas Auror tidak akan bisa membalikkan keadaan dengan mudah, namun ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya :
" Kenapa jumlah Auror yang datang ke Pulau ini sangat sedikit?"
Setelah sepersekian detik konsentrasi Medika terpecah, ia melihat anak gadis itu mulai dikejar oleh monster-monster ini. Anak itu sepertinya sangat tidak peduli apakah ia akan dimakan atau tidak, ia hanya menangis memanggil kedua orangtuanya.
Situasi yang sangat kacau dimana tidak ada yang bisa melindungi mereka saat itu.
Hati Medika perlahan tergerak untuk menolong gadis kecil itu namun rasa takut itu masih menguasainya, ia kembali bersembunyi di belakang tumpukan karung berisikan pasir sembari mengutuk dirinya sendiri.
" Bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh..."
Ia lalu memukuli tangannya yang terluka karena rasa sakit itu sudah menyebar sangat cepat lebih dari yang ia duga, dalam beberapa menit, sakitnya menjalar ke separuh tubuh Medika dan semuanya mati rasa walau masih bisa ia gerakkan.
" Sial sial sial... Kenapa, kenapa aku sangat tidak berguna.."
Anak gadis diluar sana berteriak-teriak, sepertinya ia sudah ditangkap oleh Makhluk tersebut.
" Sudah tamat, aku juga akan tamat,.. siapapun tolong aku."
Dalam keputusasaan seperti itu, Medika mengharapkan pertolongan lebih dari siapapun, ia tak mungkin jika mati pada situasi dimana ia terjebak diantara masa lalu dan masa kini, seluruh nafasnya hampir habis, dan PTSD nya muncul dan tereka kembali hingga nafasnya sesak dan nyaris mencekiknya, dalam keadaan setengah sadar, Medika mengucapkan satu kata yang sudah sangat lama ia lupakan :
" Kakak.. tolong aku..."
*Dwaarrr
Tiba-tiba suara hantaman terdengar dari tempat dimana gadis kecil itu tengah dikepung oleh makhluk terkutuk tadi.
*Jedum jedum
Suara tembakan dari senjata berat terdengar hebat, diiringi oleh raungan monster yang meringis dan mati, Medika memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menyaksikan apa yang terjadi diluar sana, ia mengintip dari sisi tumpukan pasir itu dan melihat 3 orang Auror yang sepertinya rank A sudah mengalahkan monster tersebut, salah seorang diantara mereka sepertinya healer karena telah menyembuhkan luka pada perut anak gadis tersebut dan yang satunya adalah seorang Auror yang menggunakan peluru sihir dan itu menjelaskan suara tembakan yang dahsyat itu, terakhir seorang Auror yang menghadap belakang, ia tengah mencabut pedang besarnya yang sepertinya bisa bertransformasi menjadi beberapa bentuk, ia seorang pria, tinggi, dengan cukuran rambut ala seorang tentara, Medika merasakan sebuah angin nostalgia yang amat menyegarkan, sangat segar sehingga menepis aroma anyir dan darah kering disekelilingnya.
Firasat Medika tidak enak, ia seperti mengenal pria berbadan tanggung itu. Hatinya berdegup kencang dan air matanya seperti akan keluar, ia sudah siap kapan saja jika memang orang itu adalah pria yang selama ini dia nantikan kepulangannya.
" Dion, sepertinya kita harus membawa anak ini keluar dari sini.." kata healer yang menggunakan gaun berwarna hitam tersebut.
Lelaki itu membalas namun masih dalam keadaan mencabut pedang besarnya.
" Baiklah, ayo cepat kita berkumpul, semua warga sipil disini sudah dimangsa oleh ke lima monster tadi."
Medika menangis mendengar salah seorang Auror tadi menyebutkan nama Pria itu, dengan susah payah ia menaiki tumpukan karung berisi pasir itu, ia tak mau mengambil jalan memutar karena cukup jauh akhirnya ia merangkak naik dan menggelinding jatuh dari tepian dinding karung.
Ia jatuh menghadap kanan, dengan posisi tangan terhimpit dan menyebabkan rasa sakit teramat sangat, air matanya mulai membasahi wajahnya, entah itu karena menahan rasa sakit atau kerinduan yang mendesak dadanya itu.
Ia mencoba berdiri dengan memegangi tumpukan karung pasir dan mulai berjalan lunglai, ia tak memperdulikan racun yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
*Tap tap tap
Ia berjalan lunglai, langkah kakinya kian berat dan Medika mulai menyeret bagian kanan kakinya akibat efek racun yang melumpuhkan bagian sebagian tubuh Medika. Salah seorang Auror itu melihat Medika dalam keadaan mengenaskan, dan pria dengan pedang itu menyadari kedatangan Medika, ia melepaskan pedang yang ia bawa lalu berlari.
" Medika!!"
Medika mengangkat tangan kirinya yang bersimbah darah, ia sudah tidak tahu apakah ia akan selamat hari itu, pria itu semakin lama semakin dekat, sesaat sebelum Medika menutup matanya, ia pun mengucapkan satu kata terakhir :
" Kakak..."
_
Pulau Timor
Pukul 21.00
-
*Suara orang yang tengah berbincang-bincang
Medika terbangun setelah mendengar pembicaraan ketiga Auror itu, ia merasakan dinginnya permukaan tanah dan keadaan yang sangat dingin, ia memperhatikan sekelilingnya dan menyadari bahwa ia sekarang berada didalam ruang bawah tanah, ia menoleh ke kiri, anak gadis tadi tengah tertidur disampingnya dan sebelah kanannya ada seorang anak kecil laki-laki, yang sepertinya diselamatkan oleh ketiga Auror ini sebelumnya.
Tak lama kemudian, seorang pria dan wanita datang menuruni tangga.
" Yo, Dion, Lina dan Rahmat." Sapanya ramah
Sementara wanita disampingnya hanya diam, Pria itu lalu menuruni tangga dan mendekati ketiga Auror tadi, kemudian duduk disampingnya dan menyerahkan kardus berisikan suply makanan dan obat-obatan yang sepertinya diperuntukkan kepada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh skill healing kepada Lina yang merupakan seorang healer.
" Bagaimana keadaan diluar, Aji?" Tanya Dion.
Aji menarik nafas berat dan mengusap kepalanya. Ia lalu menyerahkan video rekaman keadaan luar.
" Bantuan sepertinya tidak akan datang terlalu banyak tapi setidaknya kita akan selamat, aku mendapatkan informasi bahwa pulau ini dikelilingi barrier yang tidak bisa ditembus, para Auror dari Australia, Amerika dan Dari pihak kita kebanyakan tertahan diluar penghalang, penghalang ini sangat kuat bahkan pukulan Mayor PRS tidak mampu menghancurkannya, jadi hanya sepasukan kecil yang datang dan aku rasa dengan kehadiran 'dia' itu sudah lebih dari cukup."
Dion lalu mengambil video rekaman citra dari Aji dan menontonnya, ia lantas terkejut melihat seseorang jatuh menukik dari langit menghantam bagian atas barrier beberapa saat kemudian sepasukan orang dan beberapa kotak suply pun ikut diturunkan, ada lubang besar di puncak penghalang itu namun sepertinya setelah pasukan itu berhasil memasuki pulau lubang tersebut kembali tertutup. Dion terkejut dan bertanya heran pada aji.
" Aji, kau lihat itu?" Tanya Dion terperangah, " jika Mayor PRS tidak mampu menghancurkan penghalang mengapa orang ini bisa?"
Aji lantas tertawa, ia mengambil tablet dari tangan Dion lalu berkata.
" Tentu saja, siapa lagi kalau bukan si One Man Army : Andra.."
Belum sempat Aji melanjutkan perkataannya, Medika yang menguping sedari tadi pun terperanjat.
" Andra? Dimana dia sekarang?" Tanya Medika.
Dion kaget melihat Medika terperanjat seperti itu.
" Tenang Medika, tenangkan dirimu.. Aji berikan rekaman itu kepada adikku itu." Kata Dion
" Adikmu? Bagaimana mungkin, bukannya adik mu masih kecil Dion?" Tanya aji heran.
Dion lalu merampas tablet itu dari Aji dan memberikannya kepada Medika tanpa basa-basi.
" Ini sayang, liat ini." Kata Dion lembut sembari tersenyum hangat
Medika terkesan sebab sudah bertahun-tahun ia tidak melihat senyuman itu, namun ia segera mengambil tablet itu dan melihat rekamannya.
Medika lantas mengganti channel rekaman itu karena video ini dihasilkan oleh citra sehingga ia bisa melihat semuanya dari dua sisi rekaman : dari langit yang notabene luar pulau dan dari darat atau dalam pulau. Pelindung pulau ini ternyata tidak merusak jaringan komunikasi sehingga akses informasi dapat dengan mudah untuk keluar masuk.
Sangat jelas terlihat, Andra memukuli penghalang itu dengan kuat hingga membuat retakan pada dinding penghalang itu. Bukan hanya sangat kuat, dinding ini dialiri arus listrik yang sangat kuat sehingga Auror rank A kebawah tidak akan sanggup bertahan berdiri diatas puncak penghalang sembari menunggu Andra menghancurkan penghalang itu, meskipun Auror rank S sekalipun bisa bertahan, namun mereka tidak memiliki daya hancur yang cukup kuat untuk sekedar meretakkan perisai yg luar biasa keras ini.
" Mustahil, orang ini seperti monster."
Medika terkejut, ia membesarkan volume suara itu terdengar Andra berteriak kesal.
" Sialan, kenapa tidak hancur saja, ada orang-orang yang mesti gue selamatkan didalam sana!!!"
Setelah beberapa kali memukuli kubah penghalang itu, penghalang pun hancur dengan memberikan rongga yang sangat besar cukup untuk sepasukan armada datang memasuki pulau, Medika merasa nyawanya terselamatkan ia kemudian memberikan tablet itu dan memeluk Dion.
" Setelah kejadian ini, kita pulang kerumah yuk kak." Kata Medika manja.
Dion hanya tersenyum, ia kerasan namun ia seperti mengetahui sesuatu, ia pun mendorong Medika agar melepaskannya.
Medika agak sedikit kaget karena Dion tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Ketika Medika hendak mengatakan sesuatu, Dion lantas menutup bibir Medika dengan ujung jemarinya.
" Sudah Medika, jangan ajukan pertanyaan apapun.."
Dibelakang Dion, ia melihat seseorang yang dipanggil Rahmat tengah menunduk, dan Lina mencoba untuk tidak terlibat dengan percakapan kakak-beradik ini.
Medika terheran-heran dalam benaknya, apabila semua ini hanya reka ulang, kenapa bisa terasa sangat nyata?
Ia lalu melemparkan pandangannya kepada Aji, yang sepertinya tidak tahu menahu soal ini, dan wanita disebelah Aji yang sedari tadi hanya diam.
Dion lalu berdiri dan menghampiri wanita itu, ia lalu menggerakkan tangannya seperti menirukan bahasa isyarat lalu perempuan itu membalasnya dengan isyarat juga. Sampai disini Medika menyadari bahwa wanita itu bukanlah sombong melainkan gagu.
Lina kemudian memberikan secangkir minuman kepada perempuan gagu itu dan 3 buah obat yang kemudian diminum oleh perempuan itu.
Lina hanya diam tak mengatakan apapun dan itu membuat Aji keheranan.
" Hei, dari tadi kau hanya diam saja Lina? Jika melihat Rahmat dan Dion jarang bicara itu masuk akal, namun kamu? Perempuan toxic seperti kamu kenapa malah tiba-tiba pendiam begitu, biasanya kamu yang paling gencar menyemangati kami semua, Lina."
Ucapan Aji mencoba memancing Lina, namun ia tetap tenang dan mencoba mengabaikan ucapan Aji.
Dion lalu tertawa kecil dan berdiri, lalu melangkah menuju pintu keluar. Hal itu semakin membuat Aji keheranan. Lalu pandangan Aji tertuju kepada Medika, ia mengelus-elus dagunya dan mengangkat sebelah alisnya. Ia penasaran siapakah orang ini.
" Hei kamu, kamu benar adiknya Dion kan? Kalian mirip sih, tapi seingat ku adiknya Dion cuma satu dan dia masih kecil. Dan bagaimana cara mu bisa kemari???"
Medika hanya diam, ia enggan menjawab pertanyaan itu jadi ia mengabaikan pertanyaan Aji, dan mengalihkan ke hal lain.
" Jadi, pulau ini di halangi dinding berkekuatan magis sehingga tidak bisa ditembus oleh Auror, tapi yang aku bingung ini sebenarnya apa sih yang terjadi pada pulau ini? Aku penasaran."
Aji lalu duduk bersila sembari memejamkan matanya, seraya berfikir mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi ini.
" Sebenarnya ini ada misi rahasia sih ya, tapi mengingat kau adalah adik dari Dion jadi aku ceritakan saja toh dengan memberitahukan ini akan membuat kamu jadi lebih bijak dalam mengambil keputusan selama di pulau ini." Kata Aji mencoba bersikap bijak.
Lina lalu mengeluarkan ekspresi mual seolah-olah sebal dengan gaya bicara Aji.
" Hei kau yang sedari tadi diam sepi kayak kuburan, mendingan kamu diam dulu ya jangan intervensi." Seru Aji meledek Lina.
" Teu langkung anjeun baé." jawab Lina dengan nada kemayunya yang khas.
" Okay, jadi begini ya adiknya Dion. Misi ini adalah untuk mencegah terciptanya portal kedunia lain, pemerintah menangkap sinyal akan adanya gempa distorsi ruang dan waktu yang akan bertindak layaknya lubang cacing dan titiknya berada di pulau ini, dan dalam ekspedisi beberapa Minggu yang lalu itu ternyata ada semacam bangunan misterius di bagian tanah pulau, berbentuk seperti Piramida raksasa mungkin berdiameter 25 KM ditengah pulau dan selama ini tidak bisa dideteksi oleh pemerintah dan menyebabkan kepanikan orang-orang pada saat itu, dan lucunya sesaat setelah keadaan itu diketahui, fenomena aneh mulai terjadi dan dinding penghalang pun seketika muncul mengitari pulau sehingga kami berlima dan sekitar 10 Auror Rank A lainnya dan 1 Rank S yang kebetulan tengah ikut membantu pun terjebak di pulau ini."
Medika memegang dagunya seraya berfikir mengenai fenomena Gerhana Matahari Ganda yang akan terjadi sebentar lagi. Ia merasa semua ini saling berhubungan antara fenomena ini, semisal : Goetia, semesta yang telah hilang dan banyak hal lainnya. Dan yang bisa menjawab pertanyaan ini hanyalah Pria itu atau Andra.
" Apakah tidak sebaiknya kalau kita keluar dari sini? Kita harus membantu Andra dan anggota InCa lainnya." Desak Medika kepada para Auror.
Aji tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata.
" Kenapa kita harus membantu? Sudah ada Andra, sudah ada InCa, apa yang bisa kita lakukan? Bahkan konon Pria bernama Andra itu setara dengan 20 Auror Rank S, dia monster berjalan yang kekuatannya melampaui semua makhluk yang ada disini."
Sebelum Aji melanjutkan ucapannya, Medika menyela.
" Tidak, bukan begitu! Kau tidak mengerti dan tidak mengetahui apa yang aku ketahui, kita semua di pulau ini akan.."
Sebelum Medika hendak menyelesaikan ucapannya, Dion, Lina dan Rahmat berdiri.
" Ayo, kita bantu Inca tidak ada gunanya kita disini berdiam diri tanpa melakukan sesuatu, Rahmat juga sudah membuat segel penghalang yang akan menghalangi deteksi monster disini ditambah aku sudah menaruh alat pelacak di sini yang langsung terintergrasi dengan kantor pusat sehingga anak-anak ini akan ditemukan, sebagai Seorang Auror kita memiliki tanggung jawab layaknya pahlawan, kita adalah cahaya ditengah kegelapan yang akan membimbing orang-orang keluar dari kegelapan laksana Aurora indah ditengah malam kutub Utara nan dingin, itu konsekuensi dari seorang Auror."
Medika tertegun, ia sudah lama sekali tidak mendengar kata-kata penuh pertimbangan itu, terakhir kalinya ia mendengar hal ini adalah sesaat sebelum kakaknya berangkat menunaikan tugas kenegaraan sebagai seorang tentara namun ia tidak tahu kalau kakaknya itu adalah seorang Auror.
" Kakak..." Panggil medika.
Dion menoleh, lalu tersenyum hangat. Medika selalu mengingat betapa Dion adalah peribadi paling bersahaja, seorang abdi negara, seorang anak kebanggaan, seorang hamba tuhan dan calon suami idaman. Sebuah tembok tinggi yang tidak akan pernah bisa dilampaui oleh dirinya atau adiknya. Dion adalah standar bagi keluarganya dan tidak akan pernah bisa dicapai oleh siapapun hingga saat ini.
Medika sadar betul, momen ini akan menjadi momen dimana manusia dilanda ketakutan terbesarnya, sebuah miniatur dari kiamat kecil. Event terbesar dalam sejarah umat manusia modern. Hari dimana Orang tua dipisahkan dari anak-anaknya, hari dimana suami dipisahkan dari isterinya, hari dimana seorang kekasih dipisahkan dari orang yang ia kasihi dan hari dimana seorang adik akan kehilangan figur paling berpengaruh dalam hidupnya.
" Persiapkan diri mu Medika, untuk gejolak emosi yang lebih dari ini, di dunia dimana semua aspek-aspek negatif manusia menjadi berkali-kali lipat hingga norma dan moralitas sudah nyaris tak berlaku..."
Kata-kata itu terngiang di telinga Medika, seketika ketakutan menyeruak dalam raganya, beban emosional yang lama ia lupakan, pada hari itu muncul karena sebuah alasan sederhana, bahwa :
" Aku telah mengetahui hasil dari kejadian ini."
Medika terhuyung ketika hendak berdiri, Dion dengan segera menangkapnya. Ia tidak berkata apa-apa, Medika mulai sadar sepertinya Dion mengetahui apa yang akan terjadi, ia pernah mendengar bahwa kawannya yang bernama Rahmat adalah seorang ahli ibadah yang mempunyai kemampuan khusus : Dapat mengetahui rahasia hati manusia.
Menyadari hal itu, Medika menatap mata kakaknya dengan mata berkaca-kaca.
" Kak, kamu tau hasil dari kejadian ini?" Tanya Medika.
Dion lalu menoleh ke Rahmat dan Lina, kemudian kembali menatap Medika lalu tertawa.
" Haha, iya aku sudah tahu kok."
Medika lalu memeluk Dion, ia menangis. Rahmat dan Lina yang melihat itu juga merasakan gejolak emosi yang sama besarnya, mereka bertiga sudah mengetahui siapa Medika yang saat ini ada dihadapannya. Seorang penyintas waktu yang berjalan diantara masa lalu dan masa yang akan datang.
" Tidak akan ada manusia yang mampu lari dari ketetapan-Nya."
Sebuah suara terdengar melintasi hati Medika, namun suara ini tidak berasal dari dalam alam bawah sadarnya sendiri. Ini ucapan seseorang, ucapan pria itu.
Seketika waktu terhenti, dunia melambat dan latar belakang berubah menjadi hitam.
*Tap tap tap*
Suara langkah kaki menggema dari sudut kegelapan sampai ke telinga medika, sebelum sosok dari langkah kaki itu menunjukkan dirinya kembali, sebuah suara melintasi benak medika.
" Pada akhirnya, kita hanya akan menjadi budak dari sesuatu, dan utamanya dari semuanya itu kita adalah budak dari Takdir, yang sejak zaman awal sudah menjadi sumber dari penderitaan setiap insan yang melalui perjalanan melintasi dua dunia."
Medika sangat mengenali suara itu, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri, mencari tahu darimakah suara itu berasal.
" Katakan padaku, apa tujuan dari semua ini? Kenapa kau mengirimkan ku ke masa lalu dan mengapa semua ini terasa sangat nyata?" Bentak Medika kepada sekelilingnya.
Tak peduli apakah akan ada yang mendengar, sama seperti sebelumnya ia kini kembali kepada dunia yang dikelilingi kegelapan.
" Apakah kau tengah mempermainkan ku? Apa tujuan dari semua ini? Apakah kau tau, kau telah menyiksa fisik dan psikis ku."
Medika lalu meringkuk kembali dengan memeluk kedua kakinya.
Langkah kaki itu berhenti, suasana menjadi hening kembali. Medika lantas mengangkat kepalanya, berharap ia berhasil keluar dari horor yang ia alami ini, ia tahu bahwa setiap event pasti memiliki klimaksnya, dan ia sadar betul bahwa apa yg ia alami ini akan berujung pada event dimana kakaknya meninggal.
Ia merasa sudah tidak sanggup melihat semua ini, belum lagi kemungkinan bahwa apa yg terjadi ini memang bukan sekedar proyeksi tetapi merupakan bagian dari dunia pada sebuah dimensi alternatif.
Ia berharap orang itu muncul dan dapat memberikan jawaban atas semuanya.
Tiba-tiba, sebuah tangan memegang bahunya, ia kaget dan menoleh kebelakang dan melihat Pria itu dibelakangnya.
" Kenapa kau berdiam disana? Meringkuk seolah-olah kau memikul beban yang sangat berat, seharusnya kau mengangkat kepala mu dan berdiri. Liat itu."
Seketika gambaran didepannya berubah, ketika kakaknya bertarung melawan banyak Monster yang tengah mengerumuni anggota InCa, dan Medika melihat dirinya tengah tergeletak disana, pingsan karena sesuatu.
" Kenapa kau malah tertidur disana dan menegasikan semua kewajiban mu? Kau disini dengan sebuah tujuan untuk menyingkap misteri atas dirimu sendiri, ini adalah hidup mu, kenyataan yang kau hadapi, terlepas apakah ini akan diingat sebagai sebuah sejarah dalam memori orang lain atau tidak. Namun faktanya : inilah realita yang kau hadapi."
Medika belum mengajukan pertanyaan apapun namun ia menyadari satu hal, pria ini, sosok yang ada dihadapannya ini ingin membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
" Aku punya satu pertanyaan yang sebenarnya kurang penting, siapakah kamuu?" Tanya Medika.
Pria itu tersenyum lalu melangkah menjauh, ia lalu mengambil buku dari dalam kantung kemejanya
" Wahai anakku sayang Sebab kau sudah terikat dengan perjanjian akan kehidupan mu di dunia ini, ketika jiwa mu berada di hadapan ma'la sebuah Mahkamah peradilan tertinggi manusia, yang mana semua rahasia dari hasil peradilan itu dikirim kedalam sanubari mu, dan akan selamanya engkau bawa hingga akhir hayatmu. Aku disini ibarat seorang instruktur yang akan membantu mu membuat kunci yang nantinya akan kau gunakan untuk membuka semua potensi dari hasil peradilan itu dengan kekuatan mu sendiri "
Ia lalu memunggungi Medika, berjalan menjauh hendak meninggalkannya.
Medika berupaya mengejar pria itu, ia mencoba meraihnya namun langkahnya kalah cepat, dan Medika pun tertinggal. Dengan perasaan kecewa ia mengepalkan tangannya, ia kesal dan marah karena tidak tahu niat pasti dari orang itu.
Suasana menjadi hening, ia kembali pada situasi hampa dan sepi. Hanya suara detak dari jantung yang mengisi rongga dadanya yang dapat ia dengar.
*bdum*bdum*bdum
Detak jantung itu menemani Medika dalam kesendiriannya, ia merasa sudah lebih dari cukup untuk mengetahui fenomena Gerhana Matahari Ganda, sebab sedari awal ia memang tidak terlalu tertarik untuk mengetahui hal ini lebih jauh, ia adalah tipikal wanita yang lebih memilih untuk hidup di masa sekarang alih-alih menengok masa yang lalu, sebuah efek traumatis akibat kepergian Dion.
" Aku tak ingin melanjutkan semua ini, aku ingin pulang. Aku tak ingin menambah beban pikiran dengan terlibat dalam peristiwa ini. Kumohon tuan, jika kau mendengar ku, kembalikan aku ke kamar ku sebab aku tak mampu untuk berdiri diantara masa lalu dan masa yang akan datang. Tolong jangan bebani aku lebih dari ini."
Medika lalu tertunduk sembari memohon, ia tak mengerti kenapa ia bertindak lemah seperti itu, kejadian yang begitu cepat mengubah emosinya ini membuat semua tindakannya tidak terkontrol dan terkesan random. Ia merasa sia-sia saja, tidak ada keinginan yang lebih dari tekadnya untuk dapat keluar dari situasi ini. Namun dari dalam hati kecilnya ada keinginan untuk merubah sifat egosentrisme miliknya yang masih tertahan oleh luka masa kecil sehingga ia berharap kepada pria itu, ia pun berfikir beberapa saat dan mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin ia memiliki kesempatan kedua untuk mengakses dimensi ini tempat dimana waktu tak berjalan dengan semestinya, momen yang ia butuhkan untuk merubah kebiasaan lama tanpa perlu bersinggungan dengan dunia nyata. Setelah menguatkan hatinya, Medika pun berkata :
" Jika memang engkau akan membantu ku membuat kunci yang nantinya dapat ku gunakan untuk membuka relung hati ini, maka bimbinglah aku, sesuai cara mu. Bantulah aku untuk mengenali potensi diri ku ini."
Seketika setelah Medika menyelesaikan kalimatnya, suara pria itu kembali dari kejauhan.
" Jika kamu sudah memutuskan, baiklah."
Medika mengangkat wajahnya dan melihat pria itu berdiri disana, dihadapannya.
Ia berdiri dengan angkuh, aura kharismatik berpendar keseluruh ruang kosong dan seperti kejadian sebelumnya dimensi gelap itu perlahan retak, cahaya mulai merangsek masuk melalui celah-celah retakan itu. Medika menyadari bahwa pria ini adalah eksistensi yang berbeda unsurnya dari semua yang ada di planet ini.
" Namaku adalah Eiden, sang pelita malam, sang pembawa pesan, dan seorang kawan yang akan menjadi lentera yang nantinya menuntun mu keluar dari gelapnya hati mu yang fanaa menuju lembah para kunang-kunang."
Pria itu mengulurkan tangannya, Medika lantas menyambut tangan itu, dengan segera pria itu menarik Medika. Serpihan-serpihan dimensi yang retak berguguran layaknya cermin yang pecah, dan disana dimensi nyata tempat Medika berasal terpampang luas, sesaat setelah bersentuhan dengan cahaya rembulan, pria itu melebur dan membias di kegelapan malam.
" Ingatlah Medika, buat kami semua bangga."
Suara itu melintasi telinga Medika, hingga akhirnya pria itu menghilang dikegelapan dan Medika keluar dari dimensi gelap dengan berdiri dihadapan Dion yang terheran-heran.
Aji pun nampak bingung karena ia tidak mengetahui apapun, kecuali gadis gagu yang tengah terduduk dipojokan dinding, sepertinya ia mengetahui banyak hal.
Sepertinya waktu memang tak berjalan selama berada di dimensi tersebut, ia memutuskan untuk menyeka air matanya dan bertindak biasa-biasa saja.
Namun ada yang menarik di ruangan itu.
Ia tertarik dengan gadis muda yang sedari tadi bersama Aji itu.
Medika memperhatikan gadis itu, penampilannya sangat anggun dan bersih. Wajahnya putih bersinar, dengan mata merah dan rambut putih. Ia merasakan aura ketenangan saat menatapnya. Medika lalu bertanya kepada Aji siapa gadis itu, aji pun hanya menggelengkan kepalanya. Ia sendiri tidak tahu siapa orang ini.
Gadis itu sepertinya mengetahuinya ketika Medika membicarakan tentang dirinya, ia lalu menghampiri Medika dan memegang tangan Medika, gadis itu menatap mata Medika seolah-olah ingin mengatakan sesuatu yang saat ini belum bisa ia katakan. Medika melihat sebuah tekat membara dalam tatapan mata gadis itu, sebuah hasrat untuk merengkuh kebebasan. Warna merah menyala yang memang sedari awal merupakan warna pupil gadis tersebut, bertambah merona menandakan betapa semangatnya ia saat bertemu Medika seolah-olah telah menantikan kedatangannya sejak lama.
Aji yang memang tidak mengetahui apapun hanya terheran-heran, akhirnya ia berinisiatif untuk keluar dari bunker itu dan mengajak semuanya untuk berkumpul dengan InCa yang lalu dipatahkan oleh Dion.
" Kau diamlah disini Aji, jagalah orang-orang ini dan biarkan kami berempat yang menyerbu medan perang. Sudah saatnya kami memberikan hati ini kepada tugas kami."
Dion meletakkan tangannya di bahu Aji yang bergumam dalam hati :
" Ini orang kenapa tiba-tiba bersikap sok keren begini ya?"
Aji pun tertawa kecil setelahnya, sebagai respon dari ucapan Dion yang ia nilai sok keren itu.
Aji pun menepuk balik bahu Dion dan berkata dengan aksen sok keren.
" Kembalilah hidup-hidup ketua, calon isteri mu menantikan kepulangan mu loh."
Ucapan Aji menyentuh hati Dion yang hanya membalas dengan senyuman.
Mereka berempat akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari bunker itu.
Dion diam sejenak setelah mereka semua berada diluar. Angin kering berhembus menyambut mereka berempat, aroma amis darah dan teriakan monster terdengar seantero pulau. Dari langit arah barat terlihat petir merah menyambar lalu sebuah ledakan yang dibarengi teriakan yang sangat dahsyat, impact dari ledakan itu sangat terasa hingga membuat mereka bergoyang.
" Itu adalah Andra." Kata Rahmat.
Dion mengusap matanya, ia seolah siap untuk menyambut kematian yang akan mendatanginya sebentar lagi. Ia memegang tangan Medika yang terlihat gemetar ketakutan, medika sadar bahwa selama ini ia hanyalah beban. Namun genggaman itu sangat kuat dan membangkitkan nostalgia bersama Dion dulu.
" Medika, apapun yang terjadi di pulau ini. Entah apakah akan sama dengan kebenaran yang engkau ketahui atau malah memberikan hasil akhir yang berbeda dari informasi yang kau bawa dari masa depan. Apapun itu, pastikan kau keluar dari pulau ini dengan selamat, dan sampaikan salam ku kepada ayah, ibu dan tunangan ku Dara. Juga ceritakan mengenai diri ku kepada adik kita Lily."
Medika hanya diam mendengar ucapan itu, Dion pun tertawa mendengar ucapannya sendiri.
" Sangat aneh ya ketika kita tahu bahwa kita akan mati hari ini, tapi sudahlah memang tak akan ada manusia yang bisa lari dari takdir. Baiklah, ayo kita kesana memberikan yang terbaik bagi negara ini terlebih lagi bagi umat manusia."
Mereka berempat pun meneruskan langkah mereka menuju pusat kota guna menyambut takdir yang akan mereka hadapi.