Hari ini seperti biasa Bela berangkat bareng Rian. Tapi kali ini nampak berbeda dimana yang biasanya mengayuh sepeda Bela sekarang gentian Rian. Soalnya kaki Bela sedang sakit sekarang. Akibat kecelakaan kemarin, kakinya jadi terluka dan membuatnya susah bergerak dengan baik seperti biasanya.
"Sudah kak."Bela turun dari sepeda.
"Maafin kakak ya dek, nggak bisa mboncengin kamu. Kamu nggak papa kan dek?"Bela merasa takut sendiri takutnya nanti malah Rian jadi kecapekan gara-gara memboncengkannya tadi.
"Kakak kenapa minta maaf segala, justru ini malah sudah sedari dulu kalau aku yang boncengin kakak bukan kakak yang boncengin aku. Lagian aku itu nggak papa lah kak. Masak boncengin kakak langsung buat aku sakit. Kakak jangan sekhawatir itu lah."kata Rian sambil memasang muka biasa saja.
"Aku berangkat dulu ya kak."Rian bersalaman dengan Bela sebelum pergi meninggalkan sekolah kakaknya itu.
"Makasih lho ya. Hati-hati bawa sepedanya jangan ngebut."
Sepeda yang biasanya dibawa ke sekolah Bela, sekarang giliran dibawa adiknya. Bela akan kesusahan bila berjalan sambil menuntun sepedanya nanti. Makanya Rian yang sekarang bawa sepeda itu. Berjalan sendiri saja sudah susah apalagi sambil menuntun sepeda.
Bela berjalan dengan tertatih-tatih menuju sekolahnya. Kakinya yang masih sakit membuatnya kesusahan berjalan dengan lancar. Yang biasanya dia hanya membutuhkan waktu 8 menit saja untuk tiba di kelasnya ini bisa lebih dari itu.
Setibanya di dalam kelas, Bela langsung duduk di bangkunya. Dia merasa lega akhirnya dia bisa sampai di kelasnya tepat waktu meskipun dia harus menahan rasa lelah dan perih di kakinya karena berjalan terus.
"Bela."Puteri datang dan memeluk Bela yang sudah duduk duluan di bangku mereka.
"Puteri. Kenapa kamu ceria banget?"tanya Bela sambil memperhatikan Puteri yang terlihat aneh itu yang berbeda dari hari biasanya.
"Aku senang banget Bel, hari ini aku dibelikan motor baru."kata Puteri sambil jingkrak-jingkrak di depan Bela.
"Wah selamat ya."Bela ikut merasa senang melihat kebahagian teman sebangkunya yang sudah dibelikan motor itu. Memang udah sejak lama, Puteri mengidamkan motor baru dan baru sekarang keinginannya itu terkabulkan.
Jujur dalam hati Bela saat itu merasa sedih sekali. Dirinya juga diam-diam ingin sekali memiliki motor biar dirinya dan adiknya tidak kesusahan berangkat sekolah. Apalagi teman-temannya kebanyakan sudah memiliki motor sendiri-sendiri. Apalah daya, keadaannya tidak bisa mengabulkan semua permintaan dan keinginannya selama ini. DIa harus terbiasa untuk berbesar hati menerima kenyataan.
Dia berusaha menguatkan hatinya untuk tidak iri pada barang kepuanyaan Puteri itu. Biargimanapun hidupnya dengan Puteri berbeda, Puteri yang berasal dari keluarga mampu dan dirinya dari keluarga sederhana mengharuskannya untuk hidup sederhana.
"Eh kamu tenang saja. Kalau aku sudah bisa naik motor ke sekolah, aku akan jemput kamu. Biar kita bisa berangkat bareng."ucap Puteri sambil memegang tangan Bela.
"Eh nggak usah. Ngrepotin saja."Bela langsung merasa canggung.
"Nggak papa tahu. Lagian aku juga sudah ngasih tahu ke papah sama mamah aku kalau aku mau berangkat bareng sama kamu. Dan mereka ngebolehin."Puteri terlihat ngeyel.
"Jangan. Aku nggak mau ngerepotin kamu."kata Bela terus menolak ajakan Puteri itu.
"Kenapa memang?"
"Aku berangkatnya naik sepeda aja bareng adikku."ucap Bela sambil menunduk.
Sebenarnya dia mau juga. Tapi karena adiknya sedang sakit dan tidak boleh naik sepde sendirian karena bisa membuatnya capek mengharuskan Bela untuk mengalah. Bela ingin tetap naik sepeda saja biar adiknya bisa berangkat kesekolah dengan aman. Lagian dia juga akan merasa canggung bila nebeng motor Puteri terus meskpun Puteri menawarkannya.
"Adikmu kan laki-laki. Jadi bisa naik sepeda sendiri."
"Aduh masak aku cerita sama dia sih, kalau adikku sedang sakit. Ini kan sudah jadi rahasia di keluarga aku."Arini bingung hendak membari tahu alasannya dia menolak ajakan baik temannya itu.
"Bela, kamu kenapa? Jangan main rahasia-rahasian lah sama aku. Kita kan sudah kenal dekat."Puteri terlihat mengkhawatirkan keadaan Bela karena terlihat diam saja.
Bela terlihat bingung hendak bercerita apa tidak kepada Puteri. Setelah melihat kebaikan Puteri dan keluarga Puteri padanya terutama orangtua Puteri itu membuatnya ragu bila tidak terbuka. Selama ini dia sering dibantu oleh orangtua Puteri. Kadang juga orangtua Puteri memberinya bantuan pada bibinya juga.
"Adek aku sakit sebenarnya Put. Dan dia nggak boleh kecapekan. Dia sakit ginjal."ucap Bela dengan muka sedih dan matanya sudah dipenuhi cairan bening.
"Astaga. Aku nggak tahu kalau adikmu sakit."Puteri benar-benar tidak tahu dan merasa bersalah karena telah membuat Bela jadi sedih kala membahas adiknya yang sedang sakit.
"Pantasan kamu selalu berboncengan sama adikmu dan kamu yang boncengin. Ternyata adik kamu sedang sakit ya."imbuh Puteri teringat dengan apa yang selalu dia lihat selama ini kalau Bela yang sering memboncengkan adik laki-lakinya itu.
Bela hanya diam saja karena semua perkataan Puteri itu benar. Dalam hatinya serasa sakit sekali ketika membahas adiknya itu. Satu-satunya keluarga yang dia punya saat ini hanyalah Rian. Tapi ternyata malah adiknya tengah mengidap penyakit serius yaitu ginjal. Jadi setiap waktu tertentu, adiknya harus kontrol dan cuci darah.
Selama ini dia berusaha untuk menjaga adiknya itu. Sesibuk apapun dia, pasti akan ingat untuk mengutamakan adiknya ketimbang urusannya. Sama halnya dengan rasa lelahnya selama ini selalu dia tepis demi Rian. Baginya rasa lelah yang dia rasakan itu tidak sebanding dengan rasa lelah dan sakit yang dirasakan oleh adiknya selama ini.
"Maaf ya Bel, aku malah baru tahu. Sempat aku juga curiga kenapa setiap aku lihat kamu pasti selalu ngeboncengin adikmu itu padahal adik kamu itu kan laki-laki. Ternyata adikmu sakit."ucap Puteri sambil memeluk Bela.
Selama ini Bela sudah dianggap saudara sendiri sama Puteri. Bahkan kedua orangtua Puteri juga sudah mengenal dekat sosok Bela. Setiap bermain di rumah Puteri, Bela selalu diberikan perhatian dan dihargai. Maka dari itu Bela juga merasa nyaman bila bersama Puteri. Dan satu-satunya teman di sekaolah yang membuatnya nyaman adalah Puteri.
Jadi suasana itu yang membuat Bela tidak bisa main rahasia-rahasiaan dengan Puteri lagi sekarang. Biargimanapun juga kadang Puteri selalu curhat masalah pribadi dengannya.
"Kamu jangan sedih. Aku juga ikut sedih lihatnya."Puteri langsung memeluk Bela karena terlihat berkaca-kaca matanya.
"Aku takut kehilangan adikku Put. Hanya dia yang aku miliki sekarang."ucap Bela sambil dipeluk Puteri dan meneteskan air mata.
"Ya aku tahu gimana perasaanmu sekarang. Yang sabar ya Bel, pasti suatu saat nanti orangtuamu juga akan ketemu. Dan adik kamu bisa segera sembuh."Puteri menguatkan Bela.
Diam-diam, disaat Bela sedang menangis dipelukan Puteri itu, ada sepasang mata sedang menatapnya dari kejauhan. Ternyata Dirga yang selalu duduk di meja paling belakang dan pojok sendiri sedang memperhatikan gerak gerik Bela yang sedang sedih itu. Sengaja Dirga duduk disana agar bisa menegur teman-temannya yang selalu ramai. Kebetulan dia yang menajdi ketua kelas jadi dia harus bisa membuat kenyamanan di kelasnya.
"Dia kenapa kok kayak sedih begitu?"tanya Dirga dalam hati sambil fokus kearah Bela yang sedang berada dipelukan Puteri.
"Bro loe kenapa?"tanya teman sebangku Dirga.
"Eh nggak papa?"jawab Dirga langsung mengalihkan pandangannya dari Bela.
"Gue lihat-lihat sedari tadi elo lihat kesana, emang disana ada apa?"tanya Dion yang duduk disebelah Dirga.
"Apaan sih. Kepo amat sama urusan gue."Dirga sambil mengacak-acak rambut temannya itu. Dia tidak mau rasa kagumnya pada Bela diketahui Dion
Tidak terasa kini jam pelajaran sudah dimulai. Dengan cepat kilat, Bela langsung menghapus air matanya yang sudah terlanjur tumpah itu. Sesedih apapun dia, tidak seharusnya dia menampakkan gurataan kesedihannya itu pada orang lain.
"Selamat pagi anak-anak."sapa guru biologi yang sudah masuk kedalam ruang kelas Bela. Jam pertama kelas Bela saat ini adalah pelajaran Biologi.
"Pagi bu."jawab semua anak keas 12 ipa 1 serentak.
Kecuali Bela yang masih nampak sedih. Suaranya serasa berat sekali untuk menjawabnya. Jujur kalau dia mambahas adiknya pasti, ujung-ujungnya air matanya akan jatuh juga.
Untuk menghilangkan kesedihannya itu, dia mulai fokus sama pelajaran biologi dan berusaha melupakan segala beban pikrian dan kesedihan yang dia alami saat ini. Terutama masalah penyakit adiknya. Memang tidak gampang harus berada diposisinya. Beban hidup yang serasa mengumpul jadi satu di kepalanya.
Dia yang ingin fokus sama cita-citanya tapi harus diganggu dengan urusan keluarga. Dimana dia harus ikut fokus mencari biaya untuk kesembuhan Rian.