Aku memandangi cincin di jari manisku. Manik besar dan berkilauan adalah berlian yang di pesan secara khusus oleh suamiku delapan tahun yang lalu saat Ia melamarku. Aku duduk di kursi yang sudah di susun rapi oleh event organizer. Dengan anggun ku pegang gagang Red wine glass dan ku goyang-goyangkan seluruh isinya. Aku merasa bosan dengan acara yang mengatas namakan pernikahanku namun sebenarnya mereka melupakan inti dari acara itu sendiri.
Ku pandangi suamiku yang sedang bersenda gurau dengan koleganya. Acara yang sebenarnya adalah ajang pertemuan sesama kolega bisnis itu sangat membosankan untukku. Ini adalah untuk ke delapan kalinya acara ini di gelar. Dan role-nya masih sama seperti ketika pertama kali di adakan.
Suamiku, tak memandangku sebagai istrinya. Atau lebih tepatnya aku tidak terlalu penting untuk kemajuan bisnisnya sehingga ia melupakan posisiku sebagai istrinya. Ia tak pernah membawaku kepada teman-temannya untuk memperkenalkan aku sebagai istrinya. Ia hanya menggandengku sekali saat perayaan pernikahan kami yang pertama.
Aku menenggak red wine di tanganku dengan sekali tenggak. Sudah semakin memuakkan saja tempat ini. Gemerlapnya hanya tipu daya. Yang di dalamnya berisi persaingan ketat antara pemilik saham. Saling merayu saling membujuk agar mau untuk saling menjadi afiliasi.
Aku melangkahkan kakiku ke arah balkon. Riuh canda tawa dari orang-orang perusahaan dan tamu undangan tak terdengar lagi di sini.bias oleh heningnya malam. Bintang tampak kerlap-kerlip mengedip kepadaku. Hah…mereka bercanda. Mereka sedang menertawaiku. Ya aku memang patut untuk ditertawakan. Kusadari kehidupanku akhir-akhir ini memang lucu.
Aku merasakan bahwa cinta suamiku tak setulus dahulu. Meskipun memang sebenarnya dia selalu menunjukkan sisi kasih sayangnya kepadaku. Perlakuannya kepadaku memang selalu lembut dari seluruh orang yang meng isi rumah yang kita tinggali bersama ibunya saat ini. Tapi, aku merasakan sesuatu yang seperti di paksakan dalam dirinya. Senyumnya palsu, begitu pun perhatiannya.
Ya, benar. Kami memang masih tinggal serumah dengan ibunya. Bukan aku yang menginginkannya, tetapi ibunya lah yang kekeuh tinggal serumah dengan kami. Belum lagi dia masih punya adik perempuan dan seorang tante yang mentalnya terganggu.
Dahulu mereka semua baik kepadaku. Namun akhir-akhir tahun ini, sikap mereka menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Mungkin karena faktor usia mama mertuaku yang semakin tua.
Namun sifatku yang selalu mengalah membuat tingkah mereka semakin menjadi-jadi. Kecuali bibi yang selalu baik kepadaku, tidak ada satu rumah yang tulus berbuat baik kepadaku. Bahkan suamiku pun tak pernah menjadi pembelaku ketika ibunya mara-marah menyalahkan aku ini dan itu. Jangankan membelaku Ia bahkan tidak pernah menjadi penengah untuk kami. Yang ada malah ibunya dan adiknya semakin memojokkanku karena tidak mempunyai rasa takut dan merasa berkuasa di rumah itu.
Aku memang belum di karuniai seorang anak. Tapi bukan berarti kami tidak pernah berusaha. Kami sudah berusaha lebih dari batas kesabaran kami. Aku tidak pernah mengeluh terlebih lagi suamiku begitu semangat menginginkan seorang anak. Meski ia bahkan tidak peduli dengan kondisiku.
Seseorang datang menghampiriku di balkon. Dia membawa sebuah gelas ramping terbias warna krem di dalamnya. Itu adalah sampanye. Kami mengeluarkan produk terbaru belum lama ini. Maksudku perusahaan suamiku. Aku hanya menyapanya dengan senyuman. Dia mengangkat gelasnya dari sisi kananku. Agak jauh tapi cukup untuk saling bertukar cakap tanpa teriak.
Dia mendekatiku. Sudah lamam sekali aku tidak merasakan moment seperti ini. Kalau diingat-ingat aku memang hanya mengurus rumah sepanjang hari. Aku bahkan tidak pernahmerawat diriku sendiri. Kupandangi high hills berwarna maroon di kaki jenjangku. Kaki kusam yang mungkin penuh rambut karen aku lupa kapan terakhir kali waxing. Ku tutupi dengan stocking berwarna senada dengan kulitku.
Tiba-tiba aku berkaca-kaca. Aku memikirkan ayah dan ibu yang sudah berada di surga sana. Namun suara bariton didepanku mengejutkanku. Ehmmm…dia berdehm. Jika dia tamu di sini seharusnya dia tahu kalau aku adalah istri pemilik acara malam ini. Berani sekali dia. Dalam batinku. Meski tersenyum dengannya tubuhku hanya bergeming. Aku tak ingin menghiraukan laki-laki usil sepertinya.
"Hai sayang…" tiba-tiba suamiku muncul dari arah belakang kami. Ia lalu memeluk pinggangku dan mencium keningku. Aku tahu sorot matanya sedang merasa terancam.
Apa dia cemburu? Batinku.
Dia menatap laki-laki itu tajam. Lalu laki-laki itu angkat tangan dan pergi meninggalkan kami.
Suamiku menarik tanganku. Ke sisi balkon yang tertutup sekat kaca dan di dalamnya terdapat gorden. Sehingga kami tidak terlihat dari dalam.
Dia menarikku lenganku dengan keras sehingga langkahku terbata-bata karena terkejut.
Aku berusaha melepaskan cengkeramannya. Namun tak berhasil sampai dia melepaskan lenganku.
"Apa yang kamu lakukan di acara yang kubuat untukmu ini. Kenapa malah berdiri di sini seperti orang gila? Hah!" bentaknya.
Dahiku berkerut. Tanda tanya besar di kepalaku menyala berkat reaksinya yang berlebihan ini. Sebelumnya ia tak pernah peduli pada apa yang aku lakukan.
"Apa kau mencoba berselingkuh dariku? Siapa pria itu?" suaranya tiba-tiba memelan meski masih menampakkan aura amarahnya.
Aku semakin melihat dia mengada-ada.
"Apa kamu sedang cemburu Bram? Atau kau sedang sengaja mencari masalah denganku." Tanyaku padanya penuh penekanan. Dia tmpak membuang muka. Dia tak mengakui bahwa dia cemburu. Tapi dia tak mau menjelaskan kepadaku alasannya marah padaku.
"Kau itu memang bodoh dari dulu. Kau tahu di sini banyak sekali wartawan. Dan apa yang kau lakukan di sini? Kau mau mereka memfotomu dan kau masuk di headline gosip?! Kalau itu sampai terjadi kau harus membayar semuanya!" dia lalu pergi dari hadapanku dengan langkah yang kasar dan penuh amarah. Ku sesap lagi anggur merahku dengan pelan dan tatapan kosong. Sudah ku duga, apa sebenarnya yang kau harapkan Rose.
Aku memapah suamiku yang tengah mabuk berat ke ranjang kami. Delapan tahun yang selalu sama. Kulepas sepatu dan jasnya. Satu persatu. Kemudian dasinya lalu kulonggarkan kancing kemejanya. Ia mendengkur sepert biasa. Itu tandanya is tengah tertidur pulas.
Tiba-tiba saja kepalaku serasa berputar. Apa ini efek dari anggur yang ku minum tadi? Tapi aku bahkan tidak habis satu gelas. Tidak biasanya semua terasa seperti ini. Apa toleransiku terhadap anggur telah menurun karena faktor usia? Atau mungkin karena aku vacuum meminumnya beberapa tahun ini? Aku tidak tahu. Tapi terasa berdenyut-denyut.
Tiba-tiba saja perutku terasa mual. Aku sudah mencoba menahannya. Tapi sepertinya seluruh isi yang ada di dalam perut memaksaku untuk mengeluarkannya. Aku pun segera berlari menuju kloset. Dan kukeluarkan seluruh zat cair yang ingin keluar itu. Ya, memang hanya beberapa gelas air putih dan beberapa sesap anggur saja yang baru masuk ke dalam perutku. Aku sama sekali tak nafsu dengan makanan belakangan ini.