Prang prang prang
Beberapa kali pecahan benda berbahan kaca itu terdengar dari telingaku. Sangat jelas sehingga siapa pun yang mendengarnya pasti mengira aku sedang perang dengan suamiku. Aku memejamkan mata. Kesal. Sebenarnya seandainya aku punya kemampuan untuk marah-marah pasti itu terjadi sekarang juga.
Sayangnya aku pasti sudah sangat hafal dengan kejadian-kejadian yang akan terjadi selanjutnya. Pasti masalah makanan, atau baju, atau bahkan tisu toilet. Suara gadis yang bahkan belum genap dua puluh tahun itu memekakkan teligaku setiap paginya.
Tepat sekali, kali ini dia pasti mempermasalahkan tentang makanan yang aku buat untuk mereka sarapan. Kita tidak menyewa pembantu. Aku juga tidak tahu apa alasan ibu mertua sebenarnya. Kenapa ia tidak mengijinkan aku menyewa seorang asisten rumah tangga. Alasan terlogisnya mungkin karenaia tak ingin aku hanya menganggur saja di rumah.
Aku memasuki rumah setelah selesai menjemur baju-baju dan juga semua cucian dari satu rumah. Ya,sema orang di rumah ini memang hanya menitik beratkan pekerjaan rumah hanya kepadaku. Kadang aku bersyukur karena belum memiliki seorang anak karena yakin saja aku tidak akan mampu menghadapinya jika harus momong anak dan mengurus pekerjaan rumah sendirian.
Kepalaku berdenyut. Suara Alin terdengar nyaring dan cempreng di telingaku pagi ini. Gusar. Seandainya saja aku punya sedikit saja karekter berani. Sudah ku lawan bocah tak tahu diri ini. Kuletakkan ember ke lantai. Semua orang di kursi terkejuut dengan kehadiranku mereka semua menoleh namun beberapa detik kemudian focus dengan sanaknya yang sedang rewel itu.
"AAAAhhhh mamahhh aku kan alergi kacang… kenapa semua makanan mengandung kacang sih? Aku kan malas memilihnya Mahhh.." Ucap ALin dengan manjanya.
"Aduh Alin yasudah enggak usah di makan kacangnya. Tinggal di sisihin kan sudah selesai." Ucap Mamah mertua.
"Ih Mamah nih. Kan aku alergi nanti kalau tiba-tibaaku bentol bentol gimana?" ucapnya dengan suara yang sangat-sangat menyebalkan.
"Kesal sekali aku dengan Morning Soon. Mereka berani-beraninya mengambil tender besar yang seharusnya milik perusahaan kita. Entah bagaimanan bias dia mengalahkan kinerjaku. Awas saja kalau ku temui pemiliknya pasti kuremas-remas itu orang." Ucap suamiku menggebu-gebu dengan kemarahannya terhadap saingannya itu.
Aku pun kembali dari meletakkan ember di belakang dan mendengar suamiku itu memiliki masalh aku memegang pundaknya dan memberinya sebuah pijitan.
"Sabar ya sayang. Pasti ada jalan keluarnya." Ucapku berusaha menenangkannya. Mamah tiba-tiba saja memelototiku. Begitu pun sumiku yang menoleh ke arahku.
"SABAR SABAR! Mana bisa!" sungutnya. Aku pun terdiam. Tentu saja malu. Meskipun sudah biasa di perlakukan seperti ini.
"Kamu itu selalu sok tahu ya Rose. Gak punya pendidikan tinggi jadi ya gitu. Pantes perusahaan ayahmu itu bangkrut." Ucap Mamah tiba-tiba.
Getir sekali mendengar penuturan mamah mertuaku itu. Ia selalu saja mengungkit tentang ayahku. Sekitar satu tahun setelah pernikahanku dengan suamiku tiba-tiba saja perusahaan ayah collapse Ya,sebenarnya sebelum kami menikah, perusahan antara milik ayah dan milik ayah mertuaku tiba-tiba saja merger. Waktu itu aku bahkan tidakpaham tentang perusahaan sama sekali.
Namun akhir-akhir ini aku menjadi tertarik berkat Bibi Mar yang kemarin dating dan sedikit berbicara tentang perusahaan. Selain itu Bibi Mar juga membawakan aku kacang merah super. Tentu saja aku sangat senang. Sehingga ku terima hadiah itu.
Bibi Mar adalah adik dari ayah mertuaku. Sifat Bibi Mar kurang lebih sama seperti ayah mertuaku. Sebenarnya mereka adalah orang yang baik. Di rumah ini yangbenar-benar kurasakan kasih sayangnya hanyalah ayah dan Bibi Mul. Bibi Mul memang memiliki sedikit kelainan, namun aku merawatnya dengan tulus selama delapan tahun aku di sini. Sepertinya kasih sayang kita terjalin selama itu.
Alin tidak meyukai kacang. Dia alergi terhadap kacang sehingga setiap kali dia melihat kacang dimakanannya diakan berteriak sangat keras dan melengking seolah dia menemukan serangga di hadapannya.
Suamiku tidak menyukai segala macam makanan yang sudah dingin. Bukan makanan dalam pendingin tapi makanan yang sudah dingin dan jika tidak dihangatkan akan basi. Entah bagaimana indra penciumannya bekerja. Ia selalu saja mengetahui makanan-makanan itu. Sehingga aku selalu memasakkan makanan baru untuknya. Termasuk makanan fermentasi. Dia tidak akan pernah memakannya, sekali pun hanyalah mencicipi.
Dan Ibu Mertuaku sangatlah sensitive terhadap rasa. Ia berhenti memasak sejak suaminya meninggal. Benar sekali ayah mertuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu ibu tidak mau menyentuh dapur dan segala urusan rumah tangga. Namun Ibu sangatlah berisik perihal makanan. Ia tak pernah puas dengan setiap masakanku.selalu sajaada yang salah dengan rasanya.
Aku mengatupkan mulutku seusai penuturan ibu mertuaku itu. Aku lalu duduk di kursi biasa aku duduk saat makan. Alin memelototiku dengan tatapan yang sangat mengancam. Sementara ibu menatapku dengan wajah kesal dan suamiku sama sekali tak peduli dengan kondisiku. Ia hanya terus melahap potongan demi potongan daging ke dalam mulutnya.
Aku mendesah pelan lalu menunduk kearah piringku.aku bahkan belum mengambil nasi. Dan mereka semua hamper menghabiskan seluruh isi piring mereka.
"Apa?" ucapku pelan kepada Alin yang menuntut alas an dariku.
"Aku sudah tanyakan kepada ibu. Kamu bias tanya langsung." Tatapan tajam Alin berpindah kearah ibunya. Aku pun tidak meghiraukan pertengkaran mereka. Meskipun terasa berdengung di telingaku. Semakin pusing ketika detik brikutnya suamiku ikut menimpali keributan mereka. Suasana menjadi sangat kacauu dan membuat hari siapapun yang mendengarnya akan menjadi hari terburuk di sepanjang harinya.
Dahulu keluarga ini masih cukup sederhana meskipun ayah sudah mengelola perusahaan sejak dulu. Setidaknya ayah berusaha mengelola keuangan dari istrinya itu supaya tidak jebol oleh gila belanjanya yang tak pernah mengenal kata cukup. Namun semenjak ayah tidak ada, gaya hidup keluarga ini menjadi berubah hamper seratus delapan puluh derajat.
Hampir setiap minggu ibu belanja. Sedangkan Alin putri semata wayangnya itu setiap hari selalu ada paket datang untuknya. Terkadang mereka saling berantem. Saling mencemooh sifat buruk mereka masing-masing. Namun ada kalanya mereka juga berbelanja bersama dengan sangat akur.
Suamiku meletakkan sendok dan pisaunya dengan sangat keras. Sehingga suasana sentakannya mengagetkanku yang sibuk dengan pikiranku. Apa perang sudah selesai? Batinku. Siapa pemenangnya?. Namun aku lalu berlari mengikuti suamiku. Aku harus menyiapkan setelan yang harus di pakai hari ini. Merapikan dasinya dan memakaikan sepatunya. Di keluarga ini halite semua norma. Karena ibu mertuaku sendiri juga melakukan hal yang sama dahulu kepada ayah.
Dan sekarang di turunkan kepadaku. Aturan bodoh yang baru akhir-akhir ini aku sadari. Seharusnya tidak seperti ini hubungan antra suami dan istri. Aku lebih merasa seperti pembantu di rumah ini daripada seorang istri dari anak sulung keluarga ini.