"Kamu.... Anak bodoh!" Kelopak mata Nia tertutup saat ayahnya berteriak. Ia bisa merasakan panas di pipi setelah tangan besar itu menamparnya. Menimbulkan sakit yang bukan hanya dirasa tubuh tapi juga hatinya.
Kesunyian melanda setelah tamparan dilayangkan Adikara. Hanya ada suara napas yang berderu dan bunyi tiupan pendingin ruangan. Kedua tangan Nia mengepal kuat, menahan marah juga sakit di hati. Tercetak jelas cap lima jari berwarna merah di pipi Nia.
Dada gadis itu naik turun seiring dengan napasnya yang memburu. Tak menyangka ayahnya akan sungguhan menampar Nia hanya karena masalah sepele. Dia pikir Nia tak sedih mendapat nilai 70? Terlebih itu ulah guru yang memanipulasi nilai.
"Ayah." Suara Nia terdengar lirih nyaris tak terdengar. Matanya berkaca-kaca sampai pandangannya memburam. Gadis itu mengigit bibir kuat tak membiarkan buliran bening jatuh dari pelupuk. Tak sudi menangis di depan orang yang bahkan tak pantas disebut ayah.