Chereads / Sleepy Bookmaster / Chapter 25 - Suara yang Hilang (2)

Chapter 25 - Suara yang Hilang (2)

GRGRGRGRG!

Balon udara terus berguncang. Para penumpang berteriak panik sembari melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Suara perkelahian semakin terdengar ramai, tiba- tiba suara ledakan besar memekakkan telinga para penumpang.

DUARRRR!!!

Balon udara seketika terhempas dan bergoyang miring ke kiri. Para penumpang dengan sekuat tenaga menahan tubuh mereka yang telah memakai sabuk agar tidak tercekik. Margareth yang merasakan tubuhnya tertekan oleh gravitasi menekan kuat pada sabuk pengaman, mulai merasakan sesak.

"AARRRGH!"

Posisi balon berangsur kembali ke posisi semula, para penumpang merasakan tubuh mereka agak mengambang sekejap sebelum kembali merasakan tekanan yang menusuk paru. Setelah balon kembali stabil, terdengar suara batuk dan tangis dari para penumpang. Margareth yang terduduk lesu di kursinya melihat ke samping, memeriksa kondisi Vanessa. Diva cantik itu kini terengah-engah, wajahnya basah dibaluri keringat, mata hijaunya yang bagai zamrud berkilau itu kini sedikit redup. Margareth sendiri pun tidak jauh beda, dia merasakan kalau badanya telah basah oleh keringat yang bahkan telah meresap ke bajunya. Tanpa ia sadari air mata mulai mengalir dari ke dua matanya.

"Haa—haa—haa—Uhuk! Uhuk! Apa kamu baik-baik saja, Vanessa?"

Vanessa melihat wajah manajernya yang tampak berusaha menghadirkan senyum, namun air mata yang mengalir membuat senyumnya terasa pilu. Vanessa dapat merasakan seluruh tubuhnya gemetar, suara detak jantungnya terdengar dekat sekali di telinganya. Vanessa kembali menoleh ke manajernya, ia melihat tubuh gempal itu juga merinding ketakutan, dengan senyum yang masih terpampang. Vanessa merasa sedikit kehangatan, ia mencoba membalas senyum itu, walau tampak terlihat kaku, ia berhasil.

"A-aku baik-baik saja, Margareth," Balas Vanessa, tangan kanannya meraih pipi manajernya. Ia lalu mengusap air mata yang membasahi. Margareth merasakan tangan Vanessa yang kini terasa dingin. Dalam hatinya, ia terus berdoa pada Tuhan agar diberi keselamatan, bagi mereka semua dan khususnya bagi wanita cantik di depannya ini.

"Hei, apa pertarungannya sudah berakhir?"

Seorang lelaki dari tim Vanessa tiba-tiba bertanya. Suara perkelahian dan guncangan yang sedari tadi terdengar kini sepi. Terlihat beberapa penumpang menengadah, mencoba menguliti langit-langit balon dengan imajinasi mereka, mengira-ngira situasi di atas balon. Sayangnya tidak berangsur lama, tiba-tiba sekelibat cahaya merah terang menusuk dari atas.

Wuung!

Sinar itu begitu terang sehingga membuat orang yang didekatnya menutup mata. Setelah menghilang, para penumpang melihat sinar itu telah melubangi balon dari atas hingga ke bawah dengan diameter sekitar tiga meter. Tatapan panik kembali terlihat, tidak lama balon pun kembali bergoyang keras. Kini dengan adanya lubang, balon udara tidak dapat lagi bertahan di langit. Dengan perlahan dibantu gravitasi balon meluncur ke bumi.

"AAAAAAAAAAAAAAAA!!!"

"KYAAAAAAAAAAAAAA!!!"

"Oh Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhan….."

Putus asa. Satu-satunya emosi yang kini Margareth rasakan. Tatapan kosong memandangi lubang. Dia lalu menoleh ke Vanessa yang balas melihat dengan senyum. Tetes air mata mulai berkumpul di ujung mata zambrud itu. Vanessa lalu menggigit bibir bawahnya sembari berusaha tersenyum, menahan air mata agar tidak mengalir.

'Mengapa ini terjadi?' Tanya Margareth dalam hatinya.

'Kak Margareth, kenapa manusia suka menyakiti satu sama lain?'

Tiba-tiba dalam pikiran Margareth ia mengingat seorang gadis muda cantik pernah bertanya padanya. Margareth lalu menoleh ke Vanessa, gadis muda itu kini tumbuh menjadi diva yang disayangi masyarakat dunia. Seketika senyum tipis hangat muncul di wajahnya,

'Kenapa ya?'

Margareth tidak mengingat jawaban yang ia berikan saat itu. Mungkin ia tidak menjawabnya, atau mungkin ia jawab dengan perkataan yang ingin didengar oleh Vanessa, bukan jawaban dari dirinya sendiri. Setidaknya ia yakin akan itu, karena hingga saat ini dia juga tidak tahu jawaban yang pasti. Di tengah-tengah bisingnya suara teriakan dan tangisan, Margareth sudah merasakan kalau nyawanya telah berada di ujung, ia lalu mengingat suami dan putranya. Dia harap mereka dapat hidup bahagia, dalam pikirannya tergambar senyum putranya yang masih tujuh tahun sedang bermain—

"Berisik sekali di sini."

Suara seorang pria seketika memutus pikiran Margareth, seluruh orang saat itu lalu menoleh ke seorang pria yang dengan santainya turun melayang dari lubang di langit-langit. Pria itu berambut perak pendek disisir kebelakang, mukanya tirus dengan mata berwarna biru. Pria kurus itu melayang di udara dengan dengan kemeja putih bersih, dan celana bahan hijau tua. Di kakinya ia memakai sebuah sandal yang tampak mengikat seluruh kakinya hingga ke mata kaki, di masing-masing sandal terdapat sepasang sayap putih seperti sayap merpati. Pria itu diam di udara, melirik ke seluruh ruangan dengan senyum yang lebar. Ketika pandangannya menemukan sosok Vanessa, senyumnya semakin lebar hingga memperlihatkan gigi-giginya yang putih.

"Ketemu!"

Pria itu lalu mendekati tempat Vanessa duduk. Margareth yang melihat pria asing itu mendekat langsung membuka sabuk pengamannya, dan berdiri di depan Vanessa sambil memegang erat kursi di depannya agar ia tidak jatuh. Pria itu berhenti ketika melihat wanita agak gemuk menghalanginya, senyum masih terlukis di wajahnya, namun matanya tajam melihat Margareth.

"Hei babi, kenapa kau berdiri di situ? Menyingkir!"

Margareth tidak bergeming, Vanessa di belakangnya menarik kencang baju manajer agar menyingkir juga, namun tidak berhasil.

"Margareth!"

"Diam Vanessa!"

Raut muka pria itu tampak semakin kelam, ia lalu mengeluarkan sebuah pistol dari sebuah tas kecil yang menggantung di pinggangnya.

"Siapa kau?! Di mana kapten Paul?!"

Pria kurus itu lalu melihat seorang pria kekar plontos berteriak padanya. Pria plontos itu, Rick, mengeluarkan pisau dari sarungnya siap menerjang. Namun, sekelibat sinar terang menusuk jantungnya. Tubuh pria plontos itu pun jatuh, dengan sekejap nyawanya telah hilang. Para penumpang melihat kejadian ini. Mereka seperti menghirup udara dingin, semuanya terdiam seketika. Tubuhnya mereka merinding, memandangi teror yang melayang di depan mata.

"Haa, kau pikir aku tahu siapa itu Paul? Idiot!"

Pria itu kembali menoleh ke Margareth yang masih melindungi Vanessa. Tubuh wanita itu bergetar, namun matanya tajam seperti seekor singa betina yang berusaha melindungi anak-anaknya. Pria itu lalu agak membungkukkan tubuhnya sambil memperkenalkan diri.

"Selamat siang para penumpang, saya Dimitri, saya kemari hanya ingin mengajak Vanessa Blumunt untuk ikut denganku."

"Tidak, kau tidak bisa!" Balas Margareth.

Dimitri melihat tekad wanita itu, ia lalu menodongkan pistolnya ke arah Margareth.

"Tidak! Margareth awas! Kau—Dimitri! Saya akan ikut denganmu, tapi biarkan mereka hidup!"

"Ha?"

Dimitri lalu melihat Vanessa yang segera melepaskan sabuk pengamannya dan mencoba untuk menarik tubuh Margareth ke belakangnya.

"Sejak kapan kau boleh bernegosiasi?" Dimitri lalu menembakkan pistol lasernya, Margareth yang seketika melihat sinar mulai muncul langsung mendorong tubuh Vanessa dengan sekuat tenaga ke samping. Lalu sekilas sinar itu pun menembus dadanya. Margareth merasakn panas dan sesak yang luar biasa, ia merasakan sesuatu tersangkut di tenggorokannya yang kemudian ia batukkan keluar. Darah mulai bercururan dari mulutnya, tubuhnya lemas, dan pandangannya mulai kabur. Margareth pun akhirnya terkapar di lantai balon yang biasa dijadikan jalan penumpang.

"Margareth!"

Vanessa segera bangun lalu melihat kondisi manajernya yang terbaring di lantai. Dia lalu melihat bola mata Margareth yang menoleh padanya, 'Dia masih hidup!' walau hanya secercah harapan, namun hal itu mmebuatnya agak tenang. Dia lalu menoleh ke sumber ancamannya. Vanessa melihat Dimitri yang memandangi tubuh Margareth.

"Kau masih hidup? Lumayan juga tekadmu," Kembali menodongkan pistolnya.

"Berhenti!" Teriak Vanessa. Dimitri menoleh ke diva yang kini dengan sebuah pulpen berada di lehernya.

"Saya akan bunuh diri kalau kau membunuh Margareth!" Ancamnya, ujung pulpen kini telah sedikit menancap ke dalam lehernya. Walau senyum masih terpampang, melihat Vanessa dengan pulpennya agak membuatnya kesal. Dimitri menurunkan pistolnya, lalu menghadap ke Vanessa.

"Kau tahu? Aku mungkin salah satu dari penggemar lagumu. Lagumu yang berjudul 'humanity' itu selalu membuatku tersenyum." Dimitri melihat Vanessa yang masih berdiri tegap dengan pulpen di leher, dia melanjutkan, "Kenapa? Karena lagumu itu mengingatkanku pada hal yang sudah kubuang sejak lama. Kemanusiaan. Begitu lucunya dirimu menyanyikan itu, kau tahu? Kemanusiaan itu hanya ada bagi masyarakat biasa, kaum lemah, mereka yang hanya bisa mengikuti aturan. Mereka tidak bisa hidup dengan kekuatan sendiri, maka kemanusiaan-lah hadir. Sesuatu yang indah yang membuat mereka serasa saling memiliki, saling memiliki antar kaum lemah! Hahaha! Kami tidak perlu itu lagi! Kemanusiaan hanya alat bagi kami untuk mengendalikan mereka semua!" Dimitri lalu menunjuk ke semua orang yang ada di balon.

"Jadi—" Dimitri lalu menembakkan pistonya yang sudah ia rubah besar sinarnya ke bagian depan balon. Lalu lubang dengan diameter dua meter pun muncul. Balon yang tadinya perlahan turun, kini dengan tambahan lubang mulai meluncur ke bumi dengan tingkat kemiringan 45 derajat. Seketika itu pula balon semakin berguncang, udara dengan deras memasuki ruangan, suara udara dan teriakan membuat situasi menjadi semakin kacau. Tatapan Vanessa seketika kosong, ia yang tadinya menusukkan diri dengan pulpen kini dengan sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak terhempas. Namun, ia melihat tubuh Margareth yang sedikit demi sedikit tergelincir ke bawah, menuju lubang yang dibuat Dimitri di awal. "Untuk apa aku harus peduli dengan sekelompok kambing perah?"

"MARGARETH!" Vanessa dengan susah payah berjalan mendekati tubuh manajernya yang kian mendekati lubang. Sayangnya, sebelum ia sampai, tiba-tiba ia merasakan seseorang menarik rambutnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dimitri yang tersenyum lebar.

"Tenang, aku tidak akan membunuh babi itu," Ucapnya sambil memandangi tubuh Margareth yang kini sudah mulai masuk ke lubang. Dan dalam sekejap, tubuh itu menghilang, jatuh keluar dari balon.

"MARGARETH!"

"Bisakah kau berhenti berteriak? Telingaku mulai sakit nih."

Vanessa lalu menengadah, melihat sosok pria yang menarik rambutnya. Sedari tadi ia mencoba meloloskan diri, namun genggaman pria ini kuat sekali sehingga membuat akar-akar rambutnya berteriak kesakitan. Vanessa menggigit bibir bawahnya, merasakan putus asa hadir padanya. Lalu, sebuah ide muncul di kepalanya. Vanessa lalu tertawa lantang.

"Ha Ha Ha Ha!!!"

Dimitri lalu memandang heran pada wanita yang tiba-tiba tertawa ini. Kemudian ia melihat Vanessa menatapnya tajam, seakan sedang menantangnya.

"Kenapa harus melotot seper—" Perkataannya berhenti, dalam sekejap ia melihat lidah Vanessa yang menjulur keluar. Dimitri langsung tahu rencana Vanessa. Tangan kanannya yang tidak menarik rambut langsung ia masukkan ke mulut Vanessa agar rencananya bunuh diri dengan menggigit lidah tidak berhasil. Dimitri lalu merasakan sedikit rasa sakit di tangannya. Vanessa benar-benar menggunakan seluruh tenaga rahangnya untuk bunuh diri. Tetapi sayangnya Dimitri berhasil menggagalkan usaha tersebut.

"Begitu merepotkan."

Dimitri lalu mengangkat tangan kanannya yang tergigit sehingga membuat tubuh Vanessa terangkat juga. Tangan kirinya yang melepaskan tarikan rambut, lalu meninju perut Vanessa dengan kuat.

BUK!

Vanessa seketika mengeluarkan udara dan cairan di paru-paru lewat mulutnya. Pandanganya mulai kabur. Sebelum ia tidak sadarkan diri, pandangannya itu seakan melihat siluet Margareth yang berdiri dengan senyum hangat padanya. Hampa ia rasakan melihat sosok itu. Setetes air mata jatuh dari matanya, dan Vanessa pun terbaring pingsan di lantai balon.