Ken terduduk lemas di sofa kamarnya. Tangannya bergetar memegang sebuah surat yang Maya tinggalkan untuknya.
Surat itu, Dokter Heru berikan padanya di pemakaman, seminggu yang lalu.
Sudah satu minggu selepas kepergian kekasihnya. Ken seperti pria linglung yang tidak punya tujuan hidup.
Yang ia lakukan hanyalah berbaring menatap foto Maya, dan mengingat-ingat kembali semua kenangan yang mereka buat.
Kembali pria itu menatap surat dari kekasihnya.
"Kau memang gadis bodoh, aneh, dan sangat konyol, Maya. Tapi aku tidak menyangka kau akan memintaku melakukan hal seperti ini. Kau pikir bagaimana perasaanku saat ini?" Ken bermonolog.
Ken merebahkan tubuhnya di sofa dengan tatapan sendu.
Ia membaca surat itu sekali lagi.
'Kau tahu? Aku sangat menyukai hidupku saat ini. Aku ingin meminta Tuhan memberiku tambahan waktu untuk melukis kenangan yang indah bersamamu, tapi, kurasa aku sudah terlalu banyak meminta padaNya.
Ken, terima kasih untuk memutuskan bersama denganku. Terima kasih untuk semua cinta dan perhatian yang kau berikan padaku.
Maaf karena aku harus meninggalkanmu. Jangan bersedih atas kepergianku. Tetaplah tersenyum. Senyumanmu sangat indah. Hatiku selalu bergetar saat kau menunjukkan senyuman itu padaku. Percayalah. Ah, aku ingin menangis sekarang. Aku ingin langsung berlari mencarimu dan memelukmu dengan erat. Aku sangat mencintaimu Ken. Sangat.
Em, Ken, Aku tahu aku tidak berhak meminta ini darimu. Tapi aku mohon dengan sangat.
Menikahlah dengan Naya.
Jaga dia seperti kau menjagaku. Tidak ada pria sebaik dirimu di dunia ini. Aku hanya bisa tenang jika Naya bersamamu. Kumohon, Ken. Menikahlah dengan Naya. Cintai dia sebanyak kau mencintaiku.
Aku tahu kau akan mengabulkan permohonanku. Karena kau mencintaiku. Aku benar kan? Ini keinginan terakhirku Ken. Kumohon
Aku mencintaimu.'
"Aku tidak akan mengabulkannya Maya. Tidak akan!" seru Ken frustrasi.
***
"Ibu, hentikan! Berhentilah menangis! Tidak ada gunanya! Bukankah sama saja? Toh kau tidak pernah melihatnya sejak dia masih kecil. Kau tidak pernah merawat dan memberinya kasih sayang! Lalu apa yang kau tangisi? Dia hidup ataupun mati, tidak ada bedanya kan bagimu?!" sentak Naya penuh amarah.
Bu Mayang hanya melirik Naya lemah dan kembali terisak pelan.
Naya tahu, apa yang ia ucapkan memang sangat kasar. Tapi apa yang ia ucapkan tidak salah bukan?
Dengan kesal, Naya beranjak pergi meninggalkan ibunya, dan masuk ke dalam kamarnya.
Tiba -tiba saja ia teringat akan surat yang Dokter Heru berikan padanya.
Dokter Heru hanya memberikan surat itu tanpa mengatakan apa pun.
Naya menarik laci kecil di dalam almari dan mengambil sebuah amplop dari sana.
Ia pun duduk dan merebahkan kepalaku di meja, lalu mulai membuka surat tersebut.
'Nay, aku sangat menyayangimu. Kau tahu kan? Meskipun tidak banyak hal yang bisa kita lakukan bersama. Setiap waktu yang kita habiskan bersama adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupku. Aku mencarimu sangat lama. Dan rasanya tidak adil jika kita berpisah secepat ini. Tapi aku tidak mungkin mendebat kehendak Tuhan kan?
Naya, aku tahu kau dan ibu mengalami waktu yang sulit di sana. Tapi aku bersyukur karena kalian dapat hidup dengan baik. Aku bersyukur kau tumbuh menjadi gadis yang baik dan mandiri. Tapi Nay, kau membutuhkan cinta.
Aku tahu ibu sudah memberimu banyak cinta, tapi, kau membutuhkan sosok pria dalam hidupmu. Seseorang yang akan menyayangimu, menjagamu, menjadi tempat untukmu bersandar, dan memberikan banyak kebahagiaan.
Aku tidak ingin kau terus menjalani hidupmu seperti ini Naya. Harimu sudah cukup sulit tanpa perlindungan dan kasih sayang dari ayah. Sekarang kau harus hidup dengan cara yang benar.
Ini permintaan terakhirku, Nay!
Menikahlah dengan Ken.
Dia pria yang baik. Dia akan memberikanmu banyak cinta, perhatian, perlindungan, dan juga bahunya sangat nyaman untuk bersandar. Dia adalah sosok sempurna untuk bersamamu.
Kumohon. Menikahlah dengannya. Aku akan tenang dan sangat bahagia jika kau menikah dengannya.
Aku tahu kau akan mengabulkan permintaan terakhirku. Aku tidak pernah meminta apa pun darimu bukan? Jika kau tidak mengabulkannya. Percayalah, aku tidak akan bisa tersenyum meskipun aku berada di surga.
Aku mencintaimu. Sangat.'
"Kau benar May, aku memang sangat menderita tanpa kehadiran ayah di hidupku. Tapi tidak! Kau salah! Aku tidak membutuhkan pria mana pun dalam hidupku!" gerutu Naya kesal.
"Kau gadis brengsek. Kau tahu itu? Aku ingin sekali membencimu. Hidupku baik-baik saja sebelum kau masuk ke dalam kehidupanku! Aku hidup dengan baik, dan bahagia.
Sampai kau datang dan mengacaukan perasaanku! Dan sekarang, kau memintaku menikah dengan kekasihmu? Apa yang kau pikirkan?
Ken itu kekasihmu, Maya! Dia sangat mencintaimu. Bagaimana dia akan menikah denganku? Bukankah jika melihatku, dia akan terus mengingatmu? Bukankah itu akan menyakitinya? Dan juga, menikah bukanlah sebuah lelucon. Mana mungkin aku menikah dengannya? Aku tidak mencintainya!"
"Naya, kenapa kamu berbicara sendirian seperti itu?" celetuk Bu Mayang dari arah pintu.
Naya menutup rapat-rapat mulutnya, dan menoleh ke arah sang ibu.
Bu Mayang menghela napas berat, dan masuk ke dalam kamar Naya sambil membawa teh hangat yang Naya suka. Gadis itu selalu meminum teh untuk menghilangkan kegelisahannya.
"Bu, apakah permintaan terakhir dari orang yang sudah meninggal harus dikabulkan?" tanya Naya pelan.
Bu Mayang tersenyum tipis, ia lalu duduk di samping putrinya itu.
"Maya meminta sesuatu darimu?" tanya Bu Mayang pelan.
Naya tidak menyahut, ia hanya menghela napas panjang sebagai respon dari pertanyaan ibunya.
"Kau harus mengabulkannya, kalau tidak, Maya tidak akan bisa tenang di atas sana. Mengabulkan permintaan terakhir dari seseorang yang kita kasihi, juga merupakan penghormatan, dan tanda kasih. Jika dia adalah orang yang sangat berharga, maka kau harus mengabulkannya."
Naya hanya menatap ibunya datar.
"Memangnya, apa yang Maya minta darimu?"
"Sesuatu yang konyol, dan sangat sulit untuk kulakukan!" sahut Naya pelan.
"Dan, apa itu?"
Naya menggeleng lemah, ia lalu memberikan surat dari Maya kepada ibunya.
Bu Mayang cukup terkejut setelah mengetahui apa permintaan Maya. Ya, sesuatu yang seperti ini, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Ia mengerti, mengapa putrinya itu begitu kebingungan menanggapi permintaan terakhir dari Maya.
"Bagaimana dengan kekasih Maya? Apa dia orang yang baik?" tanya Bu Mayang pelan.
Naya berpikir sejenak. Ia lalu mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Apa memungkinkan untukmu menyukai pria itu?"
Mendengar pertanyaan ibunya, kening Naya langsung berkerut.
"Entahlah, Ken memang terlihat baik! Tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan dan sebagainya. Bagaimana jika dia sama brengseknya seperti ayah? Aku tidak ingin mengalami apa yang Ibu alami." jawab Naya tanpa ragu.
"Tidak semua pernikahan berakhir buruk, Nay! Kami hanya kurang beruntung. Jika memang dia pria yang baik, cobalah untuk memikirkannya. Ajak dia berbicara dari hati-ke hati."
Naya hanya menghela napas berat mendengar ucapan ibunya.
Haruskah ia melakukan itu?