Malam berganti pagi, langit biru yang sangat cerah dan cahaya matahari mulai masuk melalui celah-celah jendela kamar. Seorang gadis yang tengah tertidur itu terusik karena silaunya cahaya matahari. Dia membuka matanya perlahan sambil menguap.
Dia beranjak dari kasur dan berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, dia sudah rapi dengan seragam yang dia kenakan. Gadis itu sedikit merias wajahnya, lalu meraih tas dan ponsel yang ada di atas nakas.
"Alina, turun. Ayo sarapan," teriak wanita paruh baya dari bawah.
Ya, gadis itu adalah Alina Tan. Kembaran Alena yang bernasib sangat beruntung. Dia tidak seperti Alena yang selalu disiksa oleh sang mama. Justru Alina lah yang menjadi anak kesayangan. Semua permintaan Alina selalu dikabulkan oleh orang tuanya.
Alina tidak menjawab, dia langsung melangkahkan kakinya keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga dengan tersenyum. Alina menarik kursinya dan duduk di tengah-tengah antara papa dan mamanya.
"Pagi, Pa," sapa Alina melihat ke pria paruh baya itu dengan tersenyum lebar. Tangannya meraih dua lembar roti dan selai nanas yang ada di meja makan.
Dengan cepat sang papa mengambil alih roti yang dipegang anaknya itu. "Sudah, biar papa aja," ucapnya seraya mengoleskan selai ke roti. Alina mengangguk dan kembali tersenyum.
"Apa Alena sudah pulang?" tanya Meika yang baru saja datang dari dapur.
Alina menggelengkan kepala sambil menggerakkan kedua bahunya ke atas. Kevan yang sedang memakan sarapannya langsung melihat ke atas melihat pintu kamar Alena yang masih tertutup.
"Jangan-jangan dia tidak pulang semalaman," ujar Meika yang terlihat geram. Dia kembali beranjak dari duduknya dan berjalan menaiki anak tangga.
***
Suara alat detak jantung yang terdengar nyaring, cahaya lampu putih menerangi gadis yang belum sadar itu. Ia terbaring lemah, wajahnya yang terlihat pucat, serta infus yang terpasang di tangannya.
Tangannya bergerak pelan, mata gadis itu perlahan terbuka. Ia menyipitkan matanya karena cahaya lampu yang sangat menyilaukan.
"Alena, kamu sudah sadar? Saya cek dulu ya," ujar Ryota langsung memeriksa tubuh Alena.
Dokter itu bernapas lega melihat gadis itu sudah siuman dari pingsannya. Ryota juga sangat khawatir dengan kondisi Alena. Bagaimanapun ia sudah menganggap gadis itu sebagai anaknya.
"Dok, jam berapa sekarang? Boleh aku pulang?" tanya Alena dengan suara yang terdengar masih lemah.
"Jam delapan pagi. Kamu istirahat saja di sini, saya akan merawat mu," ucap Ryota tersenyum penuh kehangatan.
"Tidak, Dok, Aku harus pulang. Semua orang di rumah pasti akan khawatir padaku. Aku baik-baik saja."
Ryota hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak, kesehatan mu lebih penting, Alena."
***
"Apa-apaan dia?! Jadi anak itu tidak pulang ke rumah?! Dia sudah berani pergi dari rumah ini?! Lihat saja nanti! Aku akan memberikan hukuman yang sangat berat untuk anak itu!!" teriak Meika yang terlihat sangat murka. Dia mengepalkan tangannya dengan napas menggebu.
"Jadi semalam dia tidak pulang ke rumah?!" tanya Taniel dengan wajah marahnya.
Taniel Tan adalah nama papa mereka. Dia sangat keras dan disiplin. Dia akan menghukum siapapun orang yang bersalah, termasuk anaknya sendiri. Kecuali Alina.
Taniel mempunyai perusahaan di mana saja. Dia pemilik perusahaan Tan Group. Cabangnya sudah ada di mana saja. Bahkan sudah sampai ke luar negeri.
"Iya! Aku tidak habis pikir, berani-beraninya dia kabur dari rumah ini!"
"Ma, Alena tidak mungkin kabur dari rumah ini! Mama belum dengar penjelasannya dari Alena langsung kan?!" ucap Kevan membela Alena.
"Stop, Kevan! Buka mata kamu! Adik kamu itu sudah keterlaluan! Kenapa kamu masih bela dia?! Dibayar berapa kamu, hah?!" bentak Meika dengan mata melotot ke anak pertamanya itu.
"Ma! Mama selama ini salah paham!"
"Alahh, udah deh! Kamu jangan terus-terusan membela anak pembawa sial itu!" ujar Meika seraya berjalan menuruni anak tangga.
"Sudah-sudah, kamu antar Alina ke sekolah." titah Taniel memberikan kunci mobil.
"Kevan ada organisasi di kampus!" ucap Kevan seraya melangkahkan kakinya cepat meninggalkan mereka berdua. Taniel hanya menghela nafas panjang melihat tingkah anaknya itu.
Kevan merasa sangat kesal dengan mereka, kenapa tidak ada yang percaya? Kenapa mereka membenci Alena? Mereka hanya terhanyut dalam kesalahpahaman.
Kevan melajukan motornya dengan kecepatan normal, ia juga sedari tadi mengecek ponselnya, tidak ada balasan apapun dari adiknya itu. Kevan mencari Alena dengan datang di beberapa tempat yang sering dia kunjungi.
Namun nihil, tidak ada tanda apapun.
***
Sudah tiga hari Alena terbaring di rumah sakit. Dia hanya bisa menghela napas pasrah. Mungkin ini jalan terbaik di kehidupan. Alena hanya mengikuti alur kehidupan.
Keadaannya mulai membaik, hari ini Alena sudah di perbolehkan untuk pulang, tapi dia merasa takut untuk pulang. Karena sudah tiga hari tidak pulang, dia yakin kalau sang mama pasti sangat marah kepadanya.
Alena menatap luar jendela, dia mendongak ke atas melihat awan yang bergerak perlahan. Ucapan dokter selalu terpikir dalam pikiran gadis itu.
Flashback On
"Dok, sebenarnya aku sakit apa?" tanya Alena menatap serius Ryota
Ryota hanya menghela napas berat, ia sendiri bingung harus menjelaskan semua ini ke Alena. Dengan berat hati dia mengambil map biru di laci dan membuka map itu. Dia mengambil kertas bagian pertama, lalu menatap Alena dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dia bimbang. Satu sisi dia tidak ingin memberitahu kondisi ini ke gadis itu, tapi satu sisi lagi, dia tidak ingin membohongi Alena.
Ryota menarik napas dalam dan mengembuskan dengan perlahan, lalu mengucapkan, "Kamu terkena kanker darah. Leukemia stadium dua."
Bagai di samber petir hati gadis itu, ia benar-benar sangat terkejut. Ucapan Ryota membuat gadis itu terdiam membisu. Alena menggigit bibir bawahnya, matanya sudah terbendung oleh air mata.
"Berapa lama aku dapat bertahan hidup, Dok?" tanya Alena dengan parau.
"Kamu tenang saja, Na. Kamu pasti akan sembuh, kamu harus menjalani prosedur pengobatan. Dengan begitu kamu—"
"Apa ada peluang untuk sembuh? Aku selalu membaca artikel tentang penyakit ini, Dok. Aku tau kalau peluang itu sangatlah tipis," lirih Alena dengan sendu.
Seketika air mata gadis itu menetes membasahi pipinya. Perlahan dia menundukkan kepala dan menangis. Hanya menangis yang bisa dia lakukan, hanya menangis yang bisa membuat hatinya lebih tenang.
"Saya harus memberi tahu orang tuamu," ujar Ryota kembali menutup map itu dan di meletakan di atas nakas.
"Jangan, Dok. Jangan beritahu ke mereka tentang kondisi ku."
"Kenapa?" tanya Ryota berjongkok menyamakan tinggi Alena.
Alena kembali mengangkat kepalanya dengan mata berkaca-kaca, "Aku mohon, jangan beritahu mereka," mohon Alena.
"Mereka orangtua mu, kan? Kau ingat, pas sakit asam lambung mu kambuh. Siapa yang paling khawatir? Mama kan?" kata Ryota dengan membujuk.
Alena hanya menggeleng pelan.
"Sekarang sudah beda, Dok, mama udah nggak seperti dulu," lirih Alena kembali terisak. Ia terus menghapus air matanya meskipun terus keluar. Ryota langsung memeluk tubuh Alena erat. Dia memberikan semangat dan juga dukungan untuk Alena.
Flashback off