Alena berjalan mendekati rak yang berisi piala, boneka, dan juga bunga yang sudah layu. Tangannya mengambil piala yang sangat membanggakan. Alena masih ingat dengan kejadian sepuluh tahun lalu.
Flashback
"Mamaa!" teriak gadis kecil itu gembira, ia berlari dengan membawa piala, ia langsung memeluk Meika dengan erat. Meika membalas pelukannya dengan erat, tangannya mengelus punggung gadis itu dengan lembut.
"Selamat sayang! Mama sangat bangga dengan mu!" Mama melepas pelukannya dan menatap gadis itu, wajah Mama terlihat sangat senang, ia tersenyum lebar.
"Mama, aku menang! Aku menang!" Ia memperlihatkan piala pada Mama. Ia mengangguk dan kembali memeluk erat gadis kecil ini.
"Selamat ya, adik kecil ini membuat kakak bangga!" ucap sang kakak yang berdiri di belakang gadis itu. Gadis itu membalikkan badannya, ia tersenyum manis. Kevan memeluk tubuh Alena dengan hangat.
Flashback off
Gadis ini meletakkan kembali piala itu, ia melirik jam. Alena langsung bergegas cepat, ia mengambil tas, ponsel, dan juga map coklat. Kakinya melangkah keluar kamar.
"Mau ke mana?" tanyanya membuat Alena tersentak kaget, ia menoleh. Lelaki itu tersenyum. Ia berjalan mendekati Alena.
"Kakak, bikin Alena kaget."
Kevan hanya tertawa kecil. "maaf-maaf, mau ke mana kamu pagi-pagi gini?" tanyanya lagi.
"Ma-mau keluar sebentar."
"Map apa itu?" tanyanya menatap map yang Alena bawa. Dengan cepat Alena menyembunyikan map itu..
"Bu-bukan apa-apa kok kak. Alena pergi dulu ya."
Dengan cepat Alena meninggalkan Kevan dan berjalan turun. Kevan menatap punggung Alena yang semakin tak terlihat.
"Tumben dia enggak mengepang rambutnya," gumamnya tersenyum tipis.
***
Alena terduduk diam di kursi taman, tangannya menggenggam erat map coklat yang dia bawa. Matanya menatap map itu dengan pandangan kosong.
Kepalanya mendongak ke atas dan menatap langit, angin terus berhembus membuat Alena sedikit kesal dengan rambutnya. Mau tak mau, dia harus menahan rambutnya dengan tangan kanan agar tidak semakin berantakan.
"Kakak di sini sendirian?"
Alena langsung menurunkan kepalanya, dan memandang anak kecil itu yang memegang kakinya, bibirnya tersenyum tipis. Alena menganggukkan kepalanya. "Iya, kamu di sini sendirian?" tanya Alena balik.
"enggak kak, aku sama kakak aku." Anak kecil itu langsung duduk di samping Alena tanpa Alena suruh.
"Terus kakak kamu ke mana?"
"Lagi beli minum kak, aku takut sendirian. Kebetulan aku liat kakak duduk sendirian, jadi aku samperin." Jelas anak itu. Alena hanya mengangguk paham.
"Nama kamu siapa?"
"Rei Rikana. Kakak siapa namanya?"
"Al—"
Ucapan Alena terhenti setelah merasakan getaran ponselnya, Alena langsung berdiri dan mengangkat telpon itu. Rei melihat wajah Alena meskipun dari samping.
"Reii!" panggil cowok itu dari kejauhan yang berlari mendekati Rei.
Alena mematikan teleponnya, dia kembali duduk dan memasukan map coklat ke dalam tas. "Kakak pulang dulu ya. Itu kakakmu, kan?" tanya Alena menunjuk lelaki yang berlari ke arahnya.
"Terima kasih, Kak."
Alena hanya mengangguk dan tersenyum. Alena mempercepat langkahnya, dan tak sengaja menyenggol lengan lelaki itu.
"Ah, maaf. Aku tidak sengaja," ucap Alena menggerakkan bola matanya ke atas, menatap lelaki itu.
Deg!
"I-ini kan orang yang kemarin di ruang guru?" gumam Alena pelan,
Alena memperhatikan penampilannya, memakai kaos putih, celana jeans, jaket jeans, juga topi. Tidak mengurangi wajah tampannya, justru ia terlihat semakin tampan. Alena menelan ludahnya perlahan.
"Maaf," ucapnya singkat dan langsung berjalan melewati Alena.
Alena membalikkan badannya melihat lelaki itu yang menghampiri Rei. Terlihat jelas lelaki itu sangat mengkhawatirkan Rei. Rei yang juga selalu mengucapkan maaf pada lelaki itu. Tanpa Alena sadari bibirnya tersenyum tipis.
Alena terkejut ketika Rei menunjuk ke arah Alena, ia mengerutkan keningnya pertanda bingung. Rei beranjak berdiri dan berjalan cepat menghampiri Alena diikuti lelaki itu.
"Kakak!" panggil Rei. Alena hanya tersenyum dengan mengangguk kecil.
"Iya kenapa?" tanya Alena berjongkok menyamakan tinggi Rei.
"Thanks udah jagain adik gue, gue pikir ini bocah bakal ilang," ujar lelaki ini sambil memegang pundak Rei. Rei hanya cengengesan. Alena hanya tertawa kecil.
"Tidak masalah, kalau begitu aku pamit dulu ya."
"Kakak sering mampir ke sini ya!" Alena hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan taman.
"Dia namanya siapa?" tanyanya melihat Rei yang masih menatap punggung Alena.
"Ntah, tadi dia belum selesai ngomong ada telpon."
***
Alena duduk di tempat menunggu rumah sakit, ia memperhatikan sekeliling rumah sakit. Pandangannya terhenti melihat anak kecil yang menangis di gendongan Mamanya. Tanpa ia sadari air matanya mengalir begitu saja, Alena langsung mengusap air matanya dengan cepat.
"Nona Alena," panggil suster itu,
Mendengar namanya di panggil, Alena langsung berdiri dan berjalan masuk ke ruang dokter.
"Bagaimana keadaan mu?" tanya dokter Ryota membalikkan kursi.
Alena mengeluarkan map coklat dan memberikan pada Ryota, dengan cepat ia mengambil map itu dan membukanya. Alena melihat mimik wajah dokter Ryota, matanya membelalak ketika membaca map itu.
"Dok, bagaimana hasilnya?" tanya Alena menatapnya.
Ryota menghembuskan napas berat. "Alena."
Ryota meletakkan map itu, wajahnya menatap Alena dengan serius. Alena pun juga menatap mata dokter Ryota.
"Makin parah ya, Dok?" tanyanya asal. Ryota masih terdiam. Alena menggigit bibir bawahnya, rasa takut menyelimuti benaknya.
••••
Malam ini Alena sedang duduk termenung di bawah sinar bulan. Alena memandang langit yang tampaknya sedang bermuram, langit merasakan apa yang sedang Alena rasakan. Alena memejamkan matanya merasakan hembusan angin malam, suasana tenang pun dapat Alena rasakan.
"Tuhan, jika umur ku sudah tak panjang lagi, berikan kenangan terindah di sisa hidupku. Aku ingin memberikan kenangan kepada orang yang aku sayangi meskipun sedikit."
Flashback on
"Alena, kamu harus di melakukan perawatan lebih lanjut. Agar tidak semakin parah, kamu harus rawat inap. Agar saya bisa memantau kondisi mu setiap saat."
"Maksud dokter?"
"Kamu harus rawat inap sampai sembuh!"
"Dok, tapi .... Tidak bisa sembuh. Semua ini akan sia-sia."
"Tidak ada yang sia-sia, Alena. Kita harus optimis! Kamu akan sembuh. Meskipun kamu di vonis bertahan hidup 6 bulan, 7 bulan, 1 tahun, bahkan 10 tahun. Tapi, bagaimana jika Tuhan mengabulkan doa mu untuk sembuh dan tetap bertahan hidup?"
"Kita tidak tau, dan tidak bisa menebak masa depan. Kalau kamu tidak ingin di rawat di rumah sakit, kamu boleh tinggal di rumah saya. Tidak ada yang menyakiti mu di sana, semua akan sayang kepada mu. Percayalah sama saya."
Alena hanya terdiam, terlihat gadis ini memikirkan dengan serius. Alena tersenyum tipis.
"Terima kasih, dokter. Tapi sebelum itu, boleh aku memberikan sedikit kenangan kepada orang di sekitar ku? Aku ingin mereka kembali seperti dulu. Mereka yang menyayangi ku."
"Boleh, tapi kalau kamu merasakan sakit segera ke rumah sakit!" pesan Ryota. Alena hanya mengangguk dengan senyuman tipis.
Flashback off