Kamar yang sepi, tanpa ada seorangpun selain dia. Pintu kayu yang terbuka, memperlihatkan ayah dan adiknya yang berjalan lalu lalang.
Serta mangkuk bubur yang masih berada di atas pangkuannya, masih dengan tangan yang memegang sendoknya.
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, dengan cepat Deva menyekanya dengan punggung tangan kirinya.
"Nggak lucu kalau aku nangis"
Deva sebenarnya bukanlah orang yang cengeng, mungkin karena rasa sakit inilah yang membuatnya tanpa sadar mengeluarkan air mata.
Apalagi saat adiknya tiba-tiba terdiam saat ia ingin menyuapinya dan pergi begitu saja setelah mengucapkan kata maaf.
Perlu waktu beberapa menit bagi Deva untuk menyadari maksud sebenarnya dari penolakan dan kata maaf adiknya.
Walau sebenarnya ia memahami, tapi tetap saja rasanya menyakitkan saat dijauhi oleh orang yang disayangi karena sakit.
Mungkin perasaan yang terlalu sensitif ketika sakit, rasa gemuruh di dadanya membuatnya malas untuk makan lagi.
