Halo, Pembaca. Pada novel ini, akan ada 75 bab gratis sebelum dikunci ಡ ͜ ʖ ಡ
Ini juga satu-satunya novel bertema islami yang aku tulis. Selamat membaca~
.
.
.
7 tahun lalu
Asmi Faraida berusia dua belas tahun. Masih kecil. Masih berada dalam masa-masa menuntut ilmu. Ditengah gerimis malam itu, dia melangkah sembari menuntun sepeda mini sendiran. Terus menuju jalan TPQ Al-Fatah, Jatisari.
Di dekapannya ada mukena dan beberapa kitab dasar agama. Sayup-sayup, suara adzan masih terdengar melelui pengeras suara masjid terdekat.
''Hari ini ada hafalan, ya?'' guman Asmi seorang diri, sampai-sampai tak tahu bahwa sahabat Rina, telah menunggu dengan senyuman manis.
"Asmi?" panggil Rina.
"Eh?" kaget Asmi.
" Lagi-lagi kau berjalan melewatiku." keluh Rina.
"Ah, maaf, maaf. Aku..."
"...sedang mikirin hal lain, kan?" sela Rina. Dia sedang menyusul Asmi. Beriringan, keduanya menuju mushala dan menggelar sajadah dibelakang mihrab.
"Iya, Rin." Guman Asmi. Tampak merasa bersalah.
Melihatnya, Rina pun tersenyum. "Sudalah, As. Jangan dipikirkan," katanya. "Bagaimana kalau kita ambil wudhu sekarang?"
Asmi mengangguk, "Umn."
Mereka pun menuju kulah. Lalu wudhu bergantian. Bukannya apa, dengan adanya santri putra mereka harus berjaga satu sama lain. Semua demi mencegah wudhu bersama-sama, tanpa muhrim.
Selingak-celinguk, Rina melihat sekitar. Tepat ke kulah milik Bu Nyai tampak baru selesai wudhu.
"As, Cepat! Bu Nyai sudah selesai wudhu tuh!" jerit Rina. Begitu Bu Nyainya sudah masuk ke ndalem. Pertanda salat maghrib akan segera dilaksanakan.
"Iya! Aku sudah selesai kok. Sebentar lagi!" seru Asmi dari dalam.
Asmi pun segera keluar. Saat itu, barulah santri kalong lain berdatangan. Ada yang bersepeda, ada juga yang tidak. Mereka berlarian melintasi pagar temboksetinggi lutut yang dibangun mengitari halaman ndalem. Sangking ributnya, Asmi sampai memperinganti mereka agar tidak terlalu gugup. Sebab lebih baik tidak mengganggu tetangga. Meski menjadi makmum masbuq.
"Ayo,As! Kita balapan ke langgar!" ajak Rina tiba-tiba. "Siapa yang jadi makmum masbuq, harus jadi juru tulis nanti!"
Asmi tersentak kaget, "Eeeeh, kau curang!" jeritnya. Lalu segera berlari menyusul sahabat usilnya itu
Nyai sudah bertitah halus.
"Rin, qomat, Nduk,"
Rina pun mengangguk, "Nggih, Buk."
Detik berikutnya, shalat maghrib pun berlangsung, meski selalu diliputi kegaduhan pada awalnya. Sebab asal santri tidak hanya dari kalangan sekitar, namun juga dari jauh. Awalnya hal itu membuat keluarga ndalem kurang berkenan. Namun, setelah memahami situasi yang ada, mereka akhirnya menoleransi, asal selama menyusul salat tidak terlalu tergesa-gesa. Dan memang itulah gunanya mengaji.
"Ada yang ndak ikutan jamaah hari ini, Nduk?" tanya Bu Nyai. Tepat setelah jamaah selesai.
Salah satu santri senior menjawab,"Ada, Buk. Nina hari ini tidak ikut jamaah karena uzur, sementara Ani pun tidak ikut karena demam."
"Oh, begitu."
"Nggih, Buk."
"Ya sudah. Bagi yang sudah hadir segera bersiap-siap di kelas ya. Sebentar lagi guru kalaian datang."
"Nggih,Buk."
Setelah Bu Nyai nendiko, semua santri bergegas masuk kelas dan duduk rapi di bangku masing-masing. Tepat sebelum sang guru datang.
Abah Kyai dan Bu Nyai memang begitu kritis dalam mendidik mereka. Tetangga sekitar pun banyak yang mengakui. Maka tak heran bila putra mereka sendiri menjadi orang yang berhasil.
Ya, putra yang di sebut-sebut adalah putra sulung mereka. Meski saat ini masih mondok di sarang, Rembang.
Mereka memanggilnya Gus Furqan. Saat itu, dia memang baru 17 tahun, namun namanya sudah terkenal dengan berbgai macam prestasi. Mulai jadi sifat arifnya, tingkah sopanya, rupa tampanya, belum lagi pencapaiannya di pesantren. Setiap kali pulang kampung, sosok Gus Furqan ini langsung menjadi pusat perhatian, terutama bagi kalangan santri putri.
Tak terkecuali Asmi, yang pada saat masi kecil, tepatnya saat ia berusia dua belas tahun. Mungkin itu bukan perasaan jatuh cinta seperti yang dirasakan senior-seniornya. Akan tetepi, Asmi juga tak mengerti,apakah itu hanya perasaaan kagum saja. Jika hanya sebatas itu, mengapa dia banyak merasakan firasat tentang sosoknya.
Mulai kondisinya kurang baik,lalu ketika ia hampir kecelakaan, atau seandainya besok akan pulang lagi.
"Baik. Selesai mencatat materi, kalian semua harus berdiri satu per satu mulai dari urutan yang terbelakng. Bacakan maknanya. Dibagi satu santri du baris," titah Bu Hanik.
"Baik, Bu," sahut satu kelas.
Seharusnya saat itu Asmi berdiri, sebab dialah yang duduk di paling belakang. Namun, saat itu dia justru terpaku di tempat, takmampu bergerak sedikit pun, dengan nafas sesak. Ia dapat merasakan hawa dinggin mulai merambat dari lantai menuju kakainya. Tanda sosok itu datang. Dengan langkah-langkah yang identik, cepat, tegas, bunyi kelebat sarung kaku, namun tidak menimbulkan kegaduhan dari pintu di belakang kelas.
"Assalamualaikum.."
Asmi tersenyum diam-diam "Kamu benar-benar datang hari ini, Gus." Gumanya pelan tepat sebelum seluruh santri kelas berdiri. Serempak, mereka pun menjawab salam itu dengan antusias.
"Waalaikumsalam..."
.
.
.
Catatan:
1. Kulah: Kolam wudhu
2. Makmum masbuq: Makmum yang ketinggalan rakaat
3. Santri kalong: Santri yang tidak menetap. Hanya mengaji di TPQ lalu pulang
4. Dzibak: Syair Arab untuk memuji Nabi Muhammad