7 tahun kemudian
Asmi bukan lagi gadis dua belas tahun yang kebingungan tentang situasi di sekitarnya. Kini ia telah melangkahkan kakinya hingga jauh. Salah satunya, berkat sifat kutu buku yang ia miliki.
"Benarkah kabar –kabar itu?" tanya Rina "Besok kau pamit di TPQ ini untuk kuliah?"
Di depan masjid TPQ, sewaktu pulang Rina dan Asmi justru masih berhadapan. Hanya berdua, tanpa peduli yang lain telah berhamburan. Air mata menggenng di kedua mata mereka, siap untuk jatuh.
"Maafkan aku, Rin. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu." Kata Asmi sedih.
Rina mengusap air matanya yang mulai jatuh. "Tidak apa-apa. As. Kamu pergi saja. Tidak sepatutnya kamu berada di sini terus, hm?" katanya, berusaha tegar. Sebab mereka telah berdua terus selama ini. "Kamu kan pintar, tekun, dan punya kelebihan daripada kami semua."
"Apa-apaan," kata Asmi. Dia tertawa tapi menangis secara bersamaan.
"Iya,"kata Rina. Lalu menepuk bahu Asmi. " minggu kwmarin saja kamu bisa menerbitkan novel sendiri, bahkan tanpa aku tahu kapan belajarmu, haha..." Lanjut Rina diselingi tawa getir. "Yang penting, setelah sampai di Bandung nanti, jangan pernah lupakan aku, ya? Paling tidak sesibuk apapun, kamu harus menelponku dua kali seminggu oke?"
Asmi mengangguk, "insyaallah, Rin."
Setelahnya, Rina memeluk Asmi erat, "Pasti." Meski setelah itu tubuhnya gemetar hebat. Sampai sekarang,Asmi tidak tahu bahwa dia seberuntung ini. Bisa mendapatkan sahabat sebaik Rina, yang setia, selalu ada, dan mengerti keadaannya kapan pun itu.
"As.."kata Rina di sela-sela isakannya.
"Hm?"guman Asmi pelan.
"Tentang Gus Furqan..."kata Rina. "kamu mau bagaimana, As?"
Ya, Rina adalah orang satu-satunya yang tahu. Tentang perasaan Asmi kepada Gusnya sejak tujuh tahun lalu, meski secara tak sengaja.
Waktu itu dia melihat Asmi menangis sendirian. Di belakang pintu mushala, Asmi menahan isakanya sendiri. Waktu itu Gus Furqan tengah bersiap di halaman ndalem, lengkap dengan koper miliknya. Di tenggah-tengah kerumungan santri yang memenuhi. Iya berpenampilan rapi dan siap pergi. Tak lama , Gus Furqan masuk ke mobi jemputan temannya menuju bandara untuk menaiki pesawat yang akan mengantarkannya ke Al-Azhar, Kairo.
Sudah tujuh tahun sejak hari itu. namun, Asmi masih binggung.
"Kau akan melupakannya?"tanya Rina khawatir.
"Aku tak tahu, Rin,"kata Asmi sambil mnggeleng. Dia segera menghapus air mata begitu melpaskan pelukan itu.
"Apa kau akan membiarkannya?"desak Rina. Sampai-sampai membuat Asmi tak tahan lagi. Dia menutup mulut. Berusaha menahan diri , namun terisak. Kulit nya memerah dan beruam karena emosi.
"M-Memangnya aku bisa apa, Rin?"lirih Asmi. "ini tahun terakhir beliau menjalani studi S3-nya di sana. Itu berarti, tak lama lagi beliau pulang danpernikahannya akan segera dilaksanakaan. Jika aku terus menunggu... itu tak akan mengubh apa-apa,kan?"
Kali ini Rina yang diam.
"Aku berpikir, jika aku kuliah di bandung dan terus berjuang, maka akan ada banyak kesibukan sekarang. Aku ingin melupakannya Rin."
Rina tertegun sejenak."baiklah ,tapi apa selama kau disana kau akan sendirian?" tanyanya khawatir.
Asmi menggeleng pelan. "Aku akan di bantu beberapa teman ku kok." katanya,lalu berusaha tersenyum manis. "Mereka itu jaga yang membantuku menerbitkan novel pertamaku, Rin. Jadi kamu tidak perlu khawatir."
Rina mengangguk, " kalau begitu, jaga diri baik-baik, ya?"
Asmi mengangguk saja. Dia tak mampu menjawab lagi. Menyusul Rina ,tubuhnya pun ikut bergetar hebat. Dan prlukan yang lebih erat pun terjadi.
Saat itu, dalam hati Rina berbisik. Melayangkan doa-doanya ke langit. Bagitu saja.
"Ya Allah... kuatkan lah hati sahabatku ini. Jika dia berjodoh dengan Gus Furqan, maka tolong persatukanlah. Dan jika tidak, maka jauhkanlah secepat mungkin. Agar dia bisa membuka hati pada yang lain, di jalan yang engkau restui. Jangan sampai dia terluka lebih jauh...Robbi."