Mademoiselle Edeva memandang Audrey. Audrey kelabakan.
Astaga. Bagaimana bisa ular berbisa ini ada di depannya, dan kini, ia malah menodongnya?
Mengapa dari sekian banyak waktu, dia bertemu dengan Mademoiselle Edeva?
Audrey menggigit bibirnya. Berikutnya, ia meringis karena bingung juga mau menjawab apa.
"Aku baru saja turun dari ruangan Pangeran Rhysand. Pangeran Rhysand berkata kalau aku harus mengambilkan sesuatu untuknya," dusta Audrey.
Audrey tidak mungkin menjawab jujur, bukan? Bagaimana bisa ia berkata kepada Mademoiselle Edeva kalau ia diusir atau dipecat dari istana? Mademoiselle Edeva terlalu menakutkan untuk menjadi teman curhatnya.
Untuk dekat saja malas, apalagi berteman? Jangan sampai.
Mademoiselle Edeva memandangi Audrey dengan tatapan menyelidik.
"Sesuatu apa?" Mademoiselle Edeva menyentak padanya.
Saat itu juga, Audrey ingin menyumpal bibir Mademoiselle Edeva. Mengapa ular ini ingin memojokkan dia?
"Aku harus mengambil barang di gudang," cetusnya.
Tidak mau berlama-lama, Audrey segera pamit undur diri dari depan Mademoiselle Edeva. Ia tak mau kebohongannya ketahuan.
Dengan menunduk, Audrey berjalan melalui Mademoiselle Edeva.
Mademoiselle Edeva berkata tepat ketika Audrey melewatinya, "Memangnya kau tahu letak gudang?"
Mendengar itu, Audrey sempat berhenti. Ia memejamkan matanya. Sial, dia berbohong seenak perutnya sendiri. Jadi dia, terkena batunya.
Namun, Audrey memilih mengindahkan ucapan Mademoiselle Edeva, kakinya melangkah cepat. Ia pergi secepat kilat.
Setelah jauh dari Mademoiselle Edeva, Audrey menuju ke ruang bawah tanah. Hendak mengemasi barang. Audrey melangkahkan kakinya, setengah kesenangan.
Bahkan, ia berjalan dengan kaki berjingkrak-jingkrak bahagia. Sebagaimana anak kecil yang senang mendapatkan permen.
"Aku dipecat, aku dipecat, aku dipecat, yeay!" Ia bersenandung.
Audrey mulai merangkai membayangkan kehidupan barunya.
Ia akan pergi dari istana, melalang buana ke hutan rimba, menangkap ikan di aliran sungai, mandi di bawah air terjun. Kehidupan yang bebas. Pasti menyenangkan sekali.
Saat pikirannya bebas ke alam fatamorgana, pintu ruangan bawah tanah itu terketuk. Sontak, Audrey membalikkan tubuhnya.
Miss Adaline.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Miss Adaline padanya.
"Bukankah kau seharusnya berada di ruangan Pangeran Rhysand?"
Pertanyaan yang sama dengan kalimat yang terlontar dari Mademoiselle Edeva.
Aduh, mengapa mereka tidak bisa membiarkannya sendiri?
Audrey menelengkan kepalanya. Ia berpikir. Apakah ia harus mengatakan kepada Miss Adaline?
Miss Adaline memiliki perangai yang baik. Tentu saja, dibandingkan dengan Mademoiselle Edeva.
"Miss… Sejujurnya, aku diberhentikan oleh Pangeran Rhysand."
Namun, bukanlah suatu kebahagiaan yang terbit dari wajah Miss Adaline. Melainkan sebaliknya, kengerian yang pasi.
Miss Adaline langsung mengcengkram kuat pundaknya, "Katakan, kau bercanda?"
"Aw…" Audrey merintih karena cengkraman itu.
"Katakan, Nak. Kau tidak bercanda, bukan?"
Audrey memandangi Miss Adaline. Ada sesuatu.
Sesuatu yang tampak gawat menyerubungi wajahnya. Mau tak mau, Audrey ikut khawatir karenanya.
"Ada apa, Miss?" tercetuslah pertanyaan itu.
"Kalau seseorang akan diusir dari istana… maka…"
"Maka apa?" desak Audrey turut larut dalam ketakutan.
"Kau akan dipenjara. Dan, salah satu dari anggota keluargamu akan dipancung."
Audrey mengerjap.
Dipancung.
Dipancung.
Dipancung!!!
Seketika itu juga, Audrey terperenyak. Ia kaget.
Otaknya itu terlempar kepada keluarganya. Ayah, Ibu, Pruistine, dan Nissim…
Seumur hidupnya, dia belum pernah mendengar peraturan ini.
"Dari… mana… bagaimana…"
Audrey menggumam tak jelas. Karena saking terkejutnya, kacaunya, seakan ada petir yang menyambar dalam hidupnya.
Miss Adaline menengok ke kanan dan kiri. Ia memastikan tidak ada orang di sana kecuali mereka berdua.
Dengan sangat lirih, Miss Adaline berujar, "Nak, kau tahu bukan. Pemerintahan Kerajaan Atalaric kaum tirani. Salah sedikit, nyawa kita yang terancam."
Benar… Audrey melupakan fakta itu.
Kerajaan Atalaric dipimpin oleh Raja Dominic Grissham. Raja kuat nan tangguh. Jenderal Perang yang tak terkalahkan.
Puluhan tahun lalu, Dominic Grissham berhasil merebut tahta dari Logan Grissham, kakaknya. Raja Dominic menikam dada Logan dengan tangannya sendiri.
Duduklah, Raja Dominic di tahta. Raja yang bengis dan tak akan segan menggorok leher siapa pun yang menghalanginya.
Mengingat itu, Audrey merasa sesak napas.
"Siapa yang akan mereka pancung?" lirih Audrey. Tenggorokannya itu tercekat.
"Mereka akan memancung anggota termuda di rumah mereka."
Nissim…
Ia akan melihat kepala Nissim digantung. Nissim mati. Dipancung.
Tanpa berpikir lagi, Audrey berlari. Ia berlari dari ruang bawah tanah. Menaiki tangga.
Beberapa kali kakinya tersaruk tangga, jatuh, tetapi ia bangkit lagi.
Gaun maidnya itu kembang kempis. Beberapa kali menghalangi langkahnya.
"Sial, sial, sial."
Audrey menggerutu, ia menyincing gaunnya. Ia harus menemui Pangeran Rhysand, berlutut, memuja, atau menangis darah sekali pun!
Tidak mungkin ia membiarkan Nissim yang belia dipancung. Ia tak akan tega.
Bayang-bayang wajah Nissim itu bercokol kuat di kepalanya.
Tidak, tidak, tidak!
Audrey tak akan membiarkan itu terjadi.
BRAK!!!
Audrey membuka pintu ruangan Pangeran Rhysand. Pangeran Rhysand yang tengah membaca buku itu terkejut. Tetapi, melihat wajah Audrey dengan napas tersengal, lelaki gila itu tersenyum.
Ia menelengkan kepalanya, "Lihat, siapa yang datang."
"Aku… Aku…"
Audrey mencoba untuk berbicara di tengah napasnya.
"Tuanku Pangeran…"
Pangeran Rhysand, "Aku meminta kepada Pangeran Rhysand…"
"Aku meminta… untuk membatalkan pengusiranku dari istana."
Pangeran Rhysand menutup bukunya. Ia berjalan ke depan Audrey, "Kenapa aku harus melakukannya?"
Audrey memutar otaknya. Otaknya berusaha keras untuk berpikir. Ia membutuhkan suatu ilham yang cemerlang. Suatu alasan kuat, yang bisa membuat Pangeran Rhysand mengabulkan permohonannya.
"Mengapa aku harus me nu ru ti mu?" tanya Pangeran Rhysand patah-patah.
Terukir senyuman jahanam di sudut bibirnya. Audrey menggigit bibirnya sendiri. Ia berada di posisi yang terjepit.
Sial, otaknya tak mau kerja sama. Otaknya itu justru bebal di saat seperti ini.
"Kau tak tahu bukan?"
Pangeran Rhysand membalikkan tubuhnya. Tampaknya, ia tak tertarik pada Audrey.
Saat itulah, Audrey mencengkram gaunnya sendiri. Ia berseru, "Aku akan menjadi perisai!"
Suara Audrey menggema. Melantang keras.
Alis Pangeran Rhysand menaik skeptis,"Maksudmu?"
Audrey mengembuskan napas dalam-dalam. Seakan memang butuh banyak keberanian untuk mengatakannya.
Bibir Audrey itu berkata. Dengan lantang, meski pun gemetaran. "Kalau Pangeran Rhysand ditusuk, aku akan berdiri paling depan."
"Aku menghalangi tusukan pedang itu mengenai tubuh Pangeran… dengan tubuhku sendiri,"
Pangeran Rhysand tertawa. "Hahahaha. Hahahaha."
Audrey mengepalkan tangannya. Air mata mulai meremang. Lelaki itu benar-benar sudah merendahkan dirinya.
Sekuat tenaga, Audrey berusaha untuk tidak meledakkan amarah dalam diri.
"Kau bukan pengawal, kau tidak bisa bertarung."
"Pengawal adalah garda terdepan dalam perang. Aku akan melakukan apa pun. Aku akan berjuang sampai di titik darah penghabisanku, untuk melindungimu," geram Audrey.
"Sayangnya, tidak ada perang di sini." Pangeran Rhysand memamerkan senyuman cantik, yang naasnya menjadikan Audrey kian marah.
Audrey hanya bisa berujar pelan penuh emosi, "Pangeran, kau tidak tahu musuh dalam selimut yang mungkin mengawasimu dalam diam."
Saat itulah, senyum yang merekah di bibir Pangeran Rhysand sirna. Tatapannya itu berubah. Ada kebencian yang menancap teguh dalam wajahnya.
"Pergi dari ruanganku. Temui aku besok pagi di kandang kuda."
Audrey mendengus puas. Ia sudah tahu, ia memenangkan pertempuran itu.
*