Chereads / Skills Master - The Original Skills / Chapter 4 - Emily Hilang?

Chapter 4 - Emily Hilang?

Saat ini, aku sedang berada di sebuah perpustakaan untuk mulai mencari informasi tentang keanehan-keanehan yang menimpaku waktu itu. Aku memilih beberapa buku yang sepertinya berbau hal-hal magic dan gaib yang terkait dengan keanehan tentang pandangan masa depan dan waktu. Aku juga memilih buku yang berisi tentang pengetahuan-pengetahuan modern. Yaah, lumayan banyak juga buku yang kupilih. Halaman demi halaman kubaca dengan sangat teliti, tapi sejauh ini aku belum menemukan satu pun informasi yang berhubungan dengan keanehan yang kualami. Yang aku temukan hanya beberapa cerita dan foto-foto mengenai kemungkinan adanya seorang life time traveler. Seperti pada sebuah foto yang diambil pada tahun 1905, di dalam foto tersebut terdapat kerumunan orang, dalam kerumunan tersebut terlihat jelas seseorang yang memiliki gaya rambut mohawks layaknya seorang Punk Rocker, sedangkan tidak seorang pun pernah mendengar orang kulit putih dengan gaya rambut mohawks sebelum tahun 1970-an.

Atau pahatan sebuah pilar di Gereja Katedral Salamanca yang dibangun pada tahun 1600-an dan selesai pada tahun 1800-an. Pahatan di pilar tersebut memperlihatkan manusia yang berpakaian layaknya astronout. Sedangkan pakaian astronout pertama kali dipakai di luar angkasa yaitu Soviet SK-1 dikenakan oleh Yuri Gagarin pada tahun 1961, dan rancangan pertama pakaian yang tahan tekanan ekstrem saja baru dibuat pada tahun 1930-an. Cerita lainnya yaitu kisah Jhon Titor seorang prajurit militer AS di tahun 2036 yang mengemban misi khusus lintas waktu ke tahun 1975. Masih banyak cerita lainnya yang menurutku hal tersebut sangatlah tidak masuk akal, benar-benar seperti cerita fiksi ilmiah di buku novel atau film-film.

Ketika sedang serius membaca, tiba-tiba handphone berbunyi dan ternyata ada sebuah panggilan untukku. Nama seseorang terlihat di layar handphone, dan aku cukup terkejut setelah melihat nama orang itu. Tertera jelas sebuah nama yaitu Alice, dia teman sekelasku, tidak biasanya dia meneleponku.

"Iya, Alice. Aku harap hari ini tidak akan terjadi hujan badai karena tidak biasanya kau meneleponku?" Aku bicara seperti itu untuk sedikit menggodanya. Tapi sepertinya dia tidak menanggapi candaanku, karena dia tetap berbicara dengan serius.

"Jangan bercanda di saat seperti ini, coba kau lihat sekarang jam berapa?"

"Haah, jam berapa? Memangnya kau tidak punya jam di rumahmu, sampai repot-repot meneleponku hanya untuk menanyakan sekarang jam berapa? Hahaha ... lucu sekali." Aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku mendengar pertanyaan gadis ini.

"Haduuh, bukan begitu, bodoh sekali kau ini. Sekarang ini sudah hampir malam, kan? sudah jam 6 sore. Sampai kapan kau akan menahan Emily bersamamu? Cepat suruh dia pulang, ibunya meneleponku barusan!"

"Apa maksudmu?? Saat ini Emily tidak sedang bersamaku," jawabku, jujur. Emily memang tidak ada di sini.

"Haah, benarkah? Tapi Emily belum pulang ke rumahnya sampai sekarang, barusan ibunya meneleponku. Ibunya pikir Emily sedang bersamaku, tapi karena aku tidak bersama dengannya, makanya aku pikir dia bersamamu."

"Tapi Emily tidak ada di sini, tadi aku tidak pulang bersamanya, karena dia ada tugas piket jadi aku pulang duluan."

"Terus kenapa dia belum pulang ke rumahnya?" tanya Alice, yang juga membuatku bingung.

Aku berpikir sejenak, "Mungkin dia masih di sekolah," sahutku.

"Mana mungkin jam segini dia masih di sekolah, kau tahu betulkan kalau dia itu penakut? Mana berani dia jam segini berada di sekolah sendirian." Perkataan Alice ini membuatku sangat khawatir pada Emily. Lalu perasaan tidak enak tiba-tiba menyerangku.

"Kalau begitu aku akan pergi mencarinya di sekolah."

"Aku juga akan membantumu mencarinya, kau tunggu aku di sekolah kalau aku belum datang."

"Baiklah, Alice." Aku memutuskan teleponnya dan bergegas berlari menuju sekolah. Aku berlari sekencang-kencangnya, yang aku pikirkan sekarang hanyalah secepat mungkin sampai di sekolah, dan aku berharap menemukan Emily di sana.

Setibanya di sekolah, hampir setiap ruangan kelas aku datangi untuk mencari Emily. Aku terus mencari sambil berteriak memanggilnya, "Emilyyyyyy ... di mana kau? Emilyyyyy ...!"

Tiba-tiba handphoneku berbunyi dan ternyata ada pesan masuk. Itu pesan dari Alice, memberitahuku bahwa dirinya sudah berada di halaman sekolah, aku pun bergegas pergi menemuinya.

"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan Emily?" tanya Alice panik, begitu aku berdiri di hadapannya.

Aku menggeleng lemah, "Tidak! Aku belum menemukannya padahal sudah mencari ke setiap kelas."

"Emily, di mana dia sekarang?" Dari raut wajahnya, terlihat jelas Alice sangat mengkhawatirkan Emily. Sebenarnya aku pun demikian.

"Ayo, kita berpencar mencarinya. Jika salah satu dari kita berhasil menemukannya, kita harus memberitahu satu sama lain," saranku, hanya ini satu-satunya cara yang bisa kupikirkan sekarang.

"Baiklah, Elliot. Aku akan meneleponmu jika aku menemukan Emily."Aku mengangguk pada Alice, tanda aku menyetujuinya. Kami pun berpisah dan mulai mencari Emily.

***

30 menit berlalu dan kami masih belum berhasil menemukan Emily. Sekarang aku dan Alice sedang berada di kelas kami.

"Mungkinkah Emily tidak berada di sekolah?" Alice mengutarakan pendapatnya.

"Tidak, aku merasa Emily berada di sini, aku yakin ..."

Entah kenapa aku merasa sangat yakin Emily berada di sekolah. Aku terus berpikir, memutar otak untuk mencari tempat yang memungkinkan menjadi tempat keberadaan Emily saat ini. Tiba-tiba sebuah pemikiran mengerikan terlintas di benakku, ketika aku sedang berusaha memikirkan keberadaan Emily.

"Kau sudah memeriksa ruang Laboratorium Biologi, Alice?" tanyaku.

"Haah, tidak. Aku belum ke sana. Ruangan itu kan terkunci." Aku pun segera berlari menuju ruang Laboratorium Biologi dan Alice mengejarku dari belakang.

Setibanya di sana, langsung kuperiksa pintunya. Ternyata memang benar, pintunya terkunci. Tapi, aku yakin ini bukan halusinasi, aku mendengar suara tangisan berasal dari dalam ruangan di balik pintu ini.

"Hei Elliot, apa kau mendengarnya?"Rupanya bukan hanya aku yang mendengar suara tangisan ini, melainkan Alice juga.

Aku sangat yakin suara ini suara Emily, tanpa berpikir lagi aku mendobrak pintu. Pintu pun berhasil terbuka dan di dalam sangat gelap gulita. Suara tangisan itu semakin terdengar jelas, Alice berjalan masuk ke dalam ruangan dan mendekati sumber suara. Ketika aku hendak mengikuti Alice, dia tiba-tiba berteriak, "Jangan kemari, Elliot. Tetaplah di situ!!!"

Aku mengerti kenapa Alice melarangku masuk, walaupun ruangan itu sangat gelap, tapi mataku sepertinya mulai terbiasa dengan kegelapan ini dan aku bisa melihatnya. Seorang gadis sedang duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding sambil memeluk kedua lututnya. Tanpa keraguan lagi, gadis itu adalah Emily. Tapi yang membuatku sangat sakit dan marah adalah penampilannya sekarang. Dia hanya mengenakan bra dan celana dalamnya saja. Hanya dengan melihat situasinya itu, aku tahu kejadian apa yang telah menimpanya. Aku yakin ini pasti perbuatan mereka. Amarahku benar-benar memuncak seakan-akan ingin meledak dan aku berjanji di dalam hati, besok aku pasti akan memberi pelajaran kepada mereka, karena telah melakukan hal kejam seperti ini pada Emily.

Aku memberikan jas seragam sekolahku pada Alice dan Alice memakaikannya pada Emily. Aku benar-benar tidak tega melihatnya, itu pasti sangat menyakitkan, diperlakukan seperti ini. Dia telah ditelanjangi, entah ke mana mereka membuang pakaian seragam Emily. Lalu dengan kejamnya mereka mengurung Emily di ruangan ini. Di ruangan yang sangat gelap dan dingin ini. Sendirian di dalam ruangan yang sangat gelap dan dingin dengan kondisi nyaris telanjang. Emily pasti sangat menderita dan ketakutan. Sepertinya mereka tahu Emily sangat takut pada hal-hal yang berbau gaib, terutama hantu. Itulah sebabnya mereka mengurungnya di sini, di ruang Laboratorium Biologi yang dipenuhi oleh benda-benda yang mengerikan.

Bagaimana tidak mengerikan? Di ruangan ini begitu banyak patung-patung yang memperlihatkan organ-organ tubuh manusia, bahkan ada juga patung tengkorak manusia. Orang yang memiliki ketakutan yang amat sangat pada hal-hal yang berbau gaib dan mistis seperti Emily, tentu saja akan sangat menderita. Dari ekspresi wajahnya, aku tahu dia sangat menderita dan tersiksa. Matanya yang selalu dipenuhi dengan kasih sayang, wajahnya yang selalu ceria dan dihiasi senyuman, sekarang sudah tidak ada lagi. Yang kulihat di sana sekarang adalah mata yang dipenuhi ketakutan dan wajah yang dipenuhi kecemasan serta penderitaan yang amat sangat. Tanpa kusadari air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku dan Alice pun mengantarkan Emily pulang ke rumahnya.