"Pelan-pelan," bisik seorang wanita setengah mengerang.
Suara itu terdengar begitu jelas ketika Liana sedang berjalan menuju kamarnya. Suara itu ada di dalam kamar mamanya. Dan mamanya sedang bersama dengan seorang—lelaki.
Liana tidak terkejut dengan tingkah mamanya yang seperti ini. Dia sudah tahu sejak ayahnya sering pergi ke luar negeri atau ke luar kota untuk urusan pekerjaan.
Mamanya yang menginginkan sesuatu yang mampu menghangatkannya di atas ranjang pun. Memanggil lelaki untuk memuaskan hasratnya.
Tidak pernah tahu seperti apa wajah mereka. Namun Liana dapat mendengar suara lelaki-lelaki itu. Kebanyakan dari mereka adalah lelaki muda yang membutuhkan uang dari mamanya.
Dengan langkah yang malas, Liana masuk ke kamarnya. Ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh mamanya saat ini.
"Mau sampai kapan mama begini?" gumam Liana. Dia merogoh ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu untuk senior di kampusnya.
"Apa dia sibuk?" gumam Liana lagi.
Karena tak mau memikirkan hal lain akhirnya Liana memejamkan matanya. Menunggu kegiatan mamanya itu berakhir kemudian barulah dia akan pergi makan malam di meja makan.
**
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan mamanya. Inka, mama Liana terlihat lebih segar malam ini. Ketika dia turun dari tangga dan berjalan menuju meja makan ia tersenyum pada Liana seolah tidak ada yang terjadi.
"Udah pulang?" tanya Liana.
Mamanya duduk dan menatap Liana dengan pandangan penasaran.
"Siapa?"
"Lelaki muda kesayangan mama," jawab Liana acuh tak acuh. Dia mengambil nasinya lalu lauk. Tak peduli jika ibunya kini masih menatapnya dengan muka yang malu.
"Oh—kamu pasti denger ya tadi?"
"Bisa gak sih pelan pelan aja," sahut Liana. Masih tak mau menatap wajah mamanya.
Menghela napasnya dengan berat. Liana lalu meminum air putih yang ada di sampingnya. Setelahnya dia menelan makanannya meskipun terasa ada yang mengganjal.
"Maaf ya, lain kali mama lebih hati-hati," kata mamanya seolah tidak merasa bersalah.
"Mau sampai kapan?"
Mamanya sudah seperti itu selama satu tahun lebih. Liana pikir mamanya akan berhenti dengan sendirinya setelah dia mendapatkan apa yang ia mau.
Namun ternyata tidak. Mamanya itu malah mengundang dua lelaki kadang-kadang dan membawanya ke dalam kamar.
Hal gila yang mamanya lakukan adalah ketika dia tidak segan menceramahi Liana mengenai teman lelaki Liana di kampus.
"Kalau mau cari pacar, jangan sama teman kamu," kata Liana waktu itu.
"Kenapa? Takut kalau itu ternyata lelaki muda mama?"
Liana diam. Bukan itu. Ia hanya tak mau jika kekasihnya ternyata berprofesi sebagai pemuas tante-tante seperti lelaki yang pernah diundangnya.
"Papa gimana?" tanya Liana yang saat ini menatap mamanya dengan penasaran. Ia sedang tersenyum ketika membalas pesan di ponselnya.
"Papa? Papa kamu sibuk, jadi gak mungkin peduli. Kamu tenang aja ya, Li."
"Gak tau ah," sahut Liana. Mau menghentikan mamanya juga sepertinya percuma. "Kenapa sih harus sama lelaki muda? Memangnya gak bisa yang lebih tua dikit?"
Liana sendiri juga penasaran, mengapa mamanya harus berurusan dengan lelaki muda. Sementara lelaki seumurannya saja banyak. Ah bukan itu, maksudnya bukankah seharusnya dia tahu diri sedikit? Mamanya sudah tua, dan dia masih saja ingin bermain dengan lelaki-lelaki muda itu.
"Kamu masih tanya kenapa? Padahal sudah jelas jawabannya. Stamina mereka bagus, dan yang paling penting adalah—" Mamanya terlihat sedang membayangkan sesuatu.
"Cukup, Ma. Lia udah mau muntah dengernya." Liana berdiri, makanan di piring tidak dihabiskannya. "Aku mau keluar bentar, ketemu temen."
"Lho katanya kamu mau tau?!"
"Gak terima kasih, Ma," desah Liana. Ia menyambar hoodie-nya lalu mengenakannya dan melangkah keluar.
**
Seorang lelaki melambai dengan senyum iklan pasta giginya. Ia duduk dengan laptop yang sudah ia nyalakan sejak tadi.
"Kenapa harus di sini sih?" gerutu Liana. Ia melihat minimarket itu dengan aneh. Padahal maunya mereka bertemu di kafe atau setidaknya di restoran—tapi Bian sepertinya tidak bisa.
"Aku harus pergi abis ini, kamu cuma butuh salinan materinya aja, kan?" tanya Bian. Wajahnya selalu begitu, cerah dengan senyum yang menawan.
Rambutnya hitam lurus, jika kuliah rambutnya ia tata ke atas dengan pomade. Namun ketika santai dan berada di luar kampus, rambut depannya menutupi keningnya. Tapi masih oke lah, batin Liana setiap kali melihat Bian.
"Sibuk banget," komentar Liana.
"Hmm banget, aku kan masih harus ngasih kursus sama anak SMA yang jadi muridku, Li."
"Oh." Padahal Liana pikir, dia bisa meminta seniornya itu untuk mengirimkan materi pelajaran melalui email. Namun dia sengaja ingin bertemu dengan Bian. Karena dia menyukai lelaki itu.
Tapi sayangnya Bian tidak tahu perasaan Liana.
"Udah nih." Bian menyerahkan flashdisk-nya pada Liana. "Aku tadi beli satu kaleng kopi gratis satu, kali aja kamu mau," kekehnya sambil memasukkan laptopnya ke dalam tasnya.
"Udah mau pergi?"
Bian mengangguk polos.
"Cepet banget," gumamnya.
"Kapan-kapan aku main ke rumahmu, oke."
"Janji?!"
Bian mengangguk. Setelah berpamitan pada Liana, dia pun menaiki motor dan menghilang dari pandangan Liana.
Sementara itu Liana menghela napasnya. Sedikit khawatir ketika teringat ucapan mamanya tadi.
"Jangan sampai Bian jadi mangsa mama. Kayaknya mending gak usah ajak dia ke rumah deh."
**
Liana mendapati mobil ayahnya sudah ada di halaman rumahnya yang luas. Mama dan papanya tengah mengobrol di ujung tangga. Liana tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Namun raut wajah mereka terlihat biasa biasa saja.
Ia jadi ingat jika mamanya pernah mengatakan, kalau dia juga tahu jika papanya sebenarnya bermain wanita di luaran sana.
"Jadi Liana, bukankah ini adil untuk mama dan papa?" tanya Inka ketika Liana protes pada mamanya.
"Gak. Tapi ini gak adil buat Liana."
"Kenapa? Apa kamu gak mau lihat mama sama papa bahagia?"
Liana mendecih. "Bahagia? Dengan cara begini? Kenapa kalian gak pisah aja sekalian!"
Inka tidak marah. Salah satu kelebihan mamanya adalah dia seorang penyabar. Atau mungkin karena sadar akan kesalahan yang ia lakukan, makanya dia jadi mama yang tak pernah marah pada anaknya.
"Liana!" seru papanya, ia melambai ke arah Liana.
Liana tersenyum canggung. "Ini keluarga gila namanya," gumam Liana. Ia menaiki tangga dan memeluk papanya.
Dan benar apa kata mamanya, jika papanya pasti bermain dengan perempuan di luaran sana.
Terbukti dengan wangi parfum yang jelas bukan milik mama atau pun papanya. Melainkan milik wanita lain.