Sejak tadi wajah Bryan terlihat sangat dingin Kalea jadi menerka-nerka melihat wajah kekasihnya yang tak seperti biasanya.
Semenjak pertemuan dengan Nicko tadi Bryan sedikit berubah dan hal itu membuat Kalea terganggu sekali.
"Bryan, kamu marah sama aku?" tanya Kalea setelah pekerjaan selesai.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, beberapa jam lamanya Bryan senang sekali menutup mulutnya rapat-rapat.
Kalea menunggu Bryan menjawab pertanyaan tetapi laki-laki itu hanya menatapnya saja tanpa membuka suara.
"Bry?" Kalea langsung bangun dari duduknya kemudian segera menghampiri meja Bryan.
Sambil menghela napasnya Bryan menarik tubuh Kalea hingga terjatuh dan duduk dipangkuannya.
"Aku marah? Yes, itu bener," ucap Bryan.
Kalea terdiam dan menatap kedua bola mata Bryan membiarkan laki-laki itu mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Aku kesal, aku juga marah karena kamu lebih memilih Nicko," ungkapnya.
Otak Kalea mencoba mencernanya dengan pelan agar tidak ada kesalah pahaman, setelah Kalea ingat-ingat Bryan ternyata marah dengan kejadian tadi siang.
Kalea memang meminta Nicko untuk berdiskusi lebih dulu dengan Tya dan nanti Nicko menghubunginya.
Sementara keinginan Bryan melihat Nicko kesusahan karena Bryan sudah tau jika laki-laki itu memang membantu Cyntia untuk meninjau lokasi proyek secara langsung padahal hal seperti itu tidak diperlukan sama sekali.
Wajar jika Bryan berang dan kesal, tetapi lelaki itu tak berani meluapkan semua emosinya dan memilih untuk diam.
"Bry, aku bukan memihak siapapun tapi Nicko memang banyak pekerjaan. Jadi, kamu jangan salah paham," kata Kalea mencoba menjelaskan.
"I know, tapi kamu harusnya ada dipihak aku Kalea. Biarkan aku yang mengurus semuanya," sahut Bryan.
Kalea terdiam dan menatap Bryan dengan tatapan yang cukup serius. "Bry, aku tau kamu akan menyelesaikannya tapi cara kamu itu ngebuat Nicko ketakutan."
Bryan menghela napasnya sebentar kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain, otak Bryan sedang mencoba untuk tetap dingin meskipun di dalam hatinya Bryan sedang kesal sekali.
Rasa cemburu tiba-tiba saja menyeruak di dalam hatinya, kesal dan amarah bercampur menjadi satu.
"Dia laki-laki Kalea, kamu nggak harus ngebelanya."
Adu argument itu terjadi begitu saja, Kalea paham situasi ini. Biasanya Bryan memang tak akan marah jika ia menengahi sebuah masalah dalam pekerjaan.
Namun, kali ini cukup berbeda. Ada sebuah hubungan yang terjalin dan Bryan merasa sangat cemburu.
Sejak Bryan mengatakan bahwa ia menyukai Kalea, lelaki itu memang berubah seratus delapan puluh derajat.
Bryan lebih sering manja, Bryan juga lebih sering ingin diperhatikan dan yang paling parahnya Bryan lebih cemburuan.
Soal waktu dan urusan pekerjaan, Bryan memang tak pernah mencampur adukannya tetapi berbeda ketika kondisinya seperti tadi.
Kalea memang memihak Nicko karena ia tau seperti apa lelaki itu bekerja, Nicko sama seperti Gustav yang memiliki atasan yang kurang bertanggung jawab.
"Bry, aku minta maaf. Tapi, aku bukan memihak siapapun. Ini pure karena masalah pekerjaan," tukas Kalea.
Bryan yang menatap Kalea pun memejamkan kedua matanya, ia memilih untuk menjatuhkan kepalanya di pundak Kalea.
"Kamu pasti akan lelah Kalea, mempunyai hubungan denganku akan membuatmu kesulitan," cicit Bryan tiba-tiba.
Kalea mengerutkan keningnya. "Maksud kamu?" tanyanya tak mengerti.
Bryan hanya terdiam, lelaki itu memilih untuk tak menjawab pertanyaan Kalea. Saat ini di dalam pikiran Bryan sangat rumit sekali.
Lambat laun Kalea akan seperti seseorang dari masa lalunya meninggalkan Bryan karena laki-laki itu terlalu over protektif dan pencemburu sehingga akhirnya Bryan kesepian dan kembali mengalami trauma.
"Bry?" panggil Kalea lembut.
Cukup lama Bryan terdiam dan Kalea sangat penasaran sekali dengan ucapan yang keluar dari mulut Bryan tadi.
Sementara itu Bryan hanya mengeratkan pelukannya. "Aku butuh tidur Kalea," ucapnya.
Kalea memejamkan kedua matanya, Kalea merasa kesal dan penasaran tetapi ia juga tak bisa memaksa Bryan karena lelaki itu tak mau berbicara kepadanya.
Maka saat ini Kalea dan Bryan hanya ada dalam posisi seperti ini, Kalea duduk di pangkuan Bryan sementara laki-laki memejamkan kedua mata di ceruk leher Kalea.
Ruangan yang biasanya menjadi tempat Kalea dan Bryan bekerja pun mendadak menjadi hening, tak ada suara keyboard yang sering terdengar tak ada suara gumanan seseorang yang sedang berpikir.
Keheningan itu cukup membuat Kalea lelah, Bryan yang merasa sudah cukup menenangkan dirinya pun mengangkat kepalanya dan mengusap pundak Kalea dengan lembut.
"Pasti pegel, kan?"
Kalea menggelengkan kepalanya, meskipun memang pundaknya terasa sakit sekali tapi Kalea malah sengaja berbohong.
Bryan hanya tersenyum tipis melihat Kalea yang tak jujur kepadanya. "Kita pulang," ajaknya.
Kalea menganggukan kepalanya, dari pertama keluar dari ruangan hingga keduanya berada di lobi baik Bryan dan Kalea pun tak ada yang membuka obrolan.
Kalea hanya menatap lurus ke depan pun dengan Bryan sendiri. "Aku pulang ke Apartemen." Bryan langsung melirik ke arah Kalea.
Setelah beberapa saat kemudian Bryan baru membuka suaranya. "Okay," sahutnya.
Jujur saja Kalea sebetulnya cukup kesal dengan jawaban yang Bryan katakan itu, tetapi Kalea juga tak bisa berbuat apa-apa.
Maka Kalea langsung pergi ke arah yang lain dan memilih pulang menggunakan taksi di banding harus pulang bersama Kalea.
Sementara Bryan hanya menatap punggung Kalea yang semakin menjauh, sebetulnya Bryan ingin sekali melangkahkan kakinya mengejar Kalea.
Namun Bryan sadar bahwa ia terlalu membuat Kalea kecewa dengan sikapnya, setelah Kalea menaiki taksi dan tak terlihat lagi baru lah Bryan melangkahkan kakinya menuju basment untuk pulang ke rumahnya seorang diri.
Kepulangan Bryan membuat Maria mengerutkan keningnya, heran dengan wajah Bryan yang terlihat sangat letih.
"Tolong siapkan obat," pintanya.
Maria langsung menganggukan kepalanya dan menuju ke sebuah laci tempat kotak obat tersebut.
Setelah mengambil beberapa kapsul obat, Maria langsung mengambil segelas air dan meletakanya di atas nampan.
"Obat sama airnya, Bryan," kata Maria.
Bryan yang duduk di sofa ruangan pun langsung segera mengambil dan meminum obat yang sudah Maria sediakan.
Setelah beberapa saat kemudian Bryan langsung memijit kepalanya, mendadak kepalanya terasa sangat pusing.
Maria ingin sekali bertanya dimana Kalea, tapi Maria takut jika Bryan malah berbalik marah kepadanya.
Melihat situasi saat ini Bryan sepertinya sedang memiliki masalah tetapi entah dengan Kalea atau bukan.
Maria hanya bisa menerka-nerka, ketidak hadiran Kalea sepertinya menjadi salah satu pemicunya.
Bryan kemudian bangun lelaki itu langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Mungkin malam ini Bryan akan langsung tidur karena kepalanya terasa akan pecah karena pusing yang melandanya.
Maria merapihkan gelas dan nampan, wanita paruh baya itu jadi ingin menghubungi Kalea dan menanyakan soal Bryan yang pulang dengan wajah pucat.
Tetapi setelah Maria pikir-pikir lagi ia lantas mengurungkan niatnya, Maria takut jika Kalea malah tau rahasia Bryan.