Chereads / My Favorite Problem / Chapter 18 - 17. Balas Dendam ala Nayla

Chapter 18 - 17. Balas Dendam ala Nayla

Kicauan burung sudah terdengar riuh rendah di atas pepohonan. Seorang gadis cantik berambut panjang tengah mematut dirinya di depan cermin, mengoleskan sedikit lip balm di bibir mungilnya, dia sudah memakai seragam putih abu-abu.

"Kak Nayla," panggil seseorang dari luar kamar.

"Masuk, Vi,"

Si gadis berwajah imut itu memasuki kamar kakaknya dengan membawa segelas susu dan juga sepotong roti dengan selai strawberry di atasnya.

"Nih, sarapan dulu, Kak," Vivi menyodorkan apa yang telah ia bawa.

"Makasih, ya, Vi,"

"Iya, Kak, eh tapi Kakak beneran mau pergi ke sekolah? Emang udah baikan?"

"Iya, Vi. Lagian kakak kan, cuma trauma aja, bisa di bilang sih serangan panik gitu. Ya, sekarang udah baik-baik aja," Nayla meyakinkan adiknya yang sudah seperti Ibu kecil untuknya.

Mereka berdua adalah remaja yang harus melewati masa pertumbuhan tanpa sosok ibu. Itu artinya mereka harus saling mengisi kekosongan sosok tersebut. Keadaan menuntut keduanya untuk dewasa dan bisa menjadi sosok ibu bagi satu sama lain. Meskipun, Nayla seringkali kalah dalam hal itu.

"Ka, kasih tau papah aja, biar kakak di obatin ke psikiater, ya gimana pun mental Kakak kena kan, karena kejadian itu. Takutnya berkelanjutan gimana? Masih mending di obatin dari sekarang," Vivi memberikan saran untuk kakaknya.

"Jangan, Vi. Papah udah cukup pusing mikirin semuanya sendiri. Kakak gak mau bikin Papah jadi khawatir terus jadi kepikiran," Nayla menggeleng lemah. Dia yakin, dia akan mampu melewati ini semua.

Vivi mendesah panjang, dia membenarkan apa yang baru saja Nayla katakan. Tapi, tidak bisa di pungkiri bahwa dia pun sangat mengkhawatirkan keadaan kakaknya.

"Udah, gak usah di pikirin. Kakak gak apa-apa. Yuk, berangkat sekolah, takut terlambat," Nayla meneguk susu terakhirnya, lalu bergegas mengambil tas sekolah.

"Ayok, Vi," Nayla menarik tangan adik aatu-satunya itu agar segera bangkit dan berangkat sekolah.

Keduanya di antarkan oleh supir masing-masing menuju ke sekolah, karena memang arahnya yang berlawanan.

Gerbang SMA 1 Pandeglang sudah terbuka lebar semenjak pukul 6 pagi, Pak Agus sang penjaga sekolah pun tengah duduk sambil meneguk segelas kopi di posnya.

"Hay, Reno," Pak Agus melambaikan tangannya pada orang yang dia panggil.

"Pak," Reno menganggukan kepalanya.

"Sini dulu, belom ada siapa-siapa di kelasnya juga. Lagian kamu kerajinan tiap hari selalu datang sepagi ini," ujar Pak Agus.

"Mau piket dulu, Pak," kata Reno sambil tersenyum.

"Oh gitu, eh kemaren ke mana? Ko gak masuk sekolah?" Tanya Pak Agus

"Kemaren aku gak enak badan, Pak," jawab Reno. Beruntung, babak belur di wajahnya sudah membaik jadi tidak terlalu kentara.

Pak Agus manggut-manggut, "Cepet sembuh ya, Reno," dia mengangkat tangan kanannya.

"Iya, Pak. Makasih, aku duluan ya," Reno balas mengangkat tangan sebelum dia pergi ke kelas.

Dia berjalan sendirian melewati koridor sekolah menuju ke kelasnya. Ya, kali ini dia memang benar-benar sendirian. Arwah yang selalu setia menemaninya itu entah pergi ke mana, dia menghilang begitu saja sesaat setelah Reno menolak permintaannya semalam. Tampaknya, dia merajuk pada Reno. Entahlah, setidaknya hari ini Reno benar-benar punya waktu sendiri tanpa arwah itu.

Tak perlu khawatir, Arkan pasti akan mendatangi Reno lagi karena bagaimana pun hanya Reno lah satu-satunya manusia yang dapat membantunya.

Reno mulai membereskan ruang kelasnya sendirian, karena memang belum ada anak lain yang datang. Reno dengan senang hati melakukannya, karena jika ada yang membantunya justru dia akan merasa canggung.

"Permisi, Pocong, bisa pindah gak berdirinya ke sebelah sana, mau aku sapu dulu," kata Reno pada makhluk yang terbungkus kain putih itu.

"Gue susah jalannya, lagian gue udah pw di sini," Abang Pocong tampaknya tidak mau menuruti perintah Reno.

"Loncat aja, Bang Ocong. Cepetan nih, keburu yang lain pada dateng,"

"Baru aja gue pindah ke sini, gue cape loncat-loncat mulu," bang Ocong masih berdiri di posisinya.

"Lagian siapa suruh pake di iket segala macem itu kaki," Reno berkata dengan setengah berbisik.

"Ngomong apa lu barusan?" Mata pocong yang merah itu melotot membuat Reno sedikit gentar.

"Eh, enggak ngomong apa-apa kok, Bang," Reno nyengir kuda

"Mau aku gendong, Bang, biar bisa pindah,"

"Nggak usah, gue bisa sendiri," bang Ocong mulai meloncat selangkah demi selangkah, sambil sedikit menggoyangkan pantatnya.

"Mau aku kasih lagi gak, Bang? Biar loncatnya sambil goyang," kata Reno sambil terkekeh.

"Gak usah ngeledek lu," Pocong mulai bersungut-sungut.

Perdebatan mereka seketika terhenti ketika para siswa lain mulai berdatangan ke dalam kelas. Kebetulan, Reno juga hampir selesai menyapu lantai.

Sementara itu, Nayla baru saja memasuki gerbang sekolah, di ikuti oleh Nathan dan kedua temannya di belakang.

"Nay, Nayla," panggil Nathan, alih-alih menyahut justru Nayla malah terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun.

"Kenapa lagi, Than? Kalian berantem lagi?" Tanya Jojo.

"Eleuh-eluh pusing ya, punya pacar. Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambek, masih mending saya atuh JOMBLO HEPI," Tarno menepuk dadanya dengan sombong.

"Berisik kalian, gue juga gak tau Nayla kenapa lagi," tukas Nathan.

"Nay, tunggu," Nathan berlari menghampiri Nayla.

"Kamu kenapa lagi, Nay? Perasaan hobi banget cuekin aku?" Pemuda itu menghalangi langkah Nayla.

Nayla berhenti sejenak, memasang wajah cemberut dengan bibir sedikit di majukan.

"Kenapa, Nay? Kalau aku ada salah bilang. Aku bukan peramal yang selalu bisa tau apa yang kamu rasain dan apa yang lagi kamu permasalahan," Kini Nathan memasang wajah memelasnya.

"Lo mau tau kenapa? Karena Lo ... " Nayla sudah mengangkat jari telunjuknya, tapi tiba-tiba dia teringat akan wajah memelas Reno yang hampir menangis kemarin. Lagi pula, Nayla masih punya hutang budi pada cowok itu.

"Kenapa, Nay? Kok gak di lanjutin?" Nathan menatap tajam Nayla seakan-akan ingin menembus isi hatinya.

"Nggak, gak apa-apa," Nayla menurunkan kembali tangannya.

"Ih, gak jelas banget,"

"Bodo amat. Ya gue, gue lagi gak mood aja, karena Lo suka bikin gue kesel terus sih," Nayla berkacak pinggang.

"Iya deh iya, aku yang salah. Emang cewek selalu benar kan?" Nathan berlagak dengan membungkuk penuh hormat.

"Bagus," kata Nayla seraya melanjutkan langkahnya.

"Eh, Nay. Tunggu! Biar kamu gak bad mood lagi, gimana kalau kita jalan-jalan ke tempat yang romantis. Dari pertama jadian, kita kan, belum pernah jalan," kata Nathan sambil berjalan mundur mengimbangi langkah Nayla.

"Gak mau,"

"Kok gak mau sih? Ya kita jalan-jalan ke taman kek, atau ke mall, atau ke mana aja deh terserah kamu," Nathan menahan Nayla dengan merenggut tangan halusnya.

Nayla terlihat jengah, tapi dia berpikir bahwa ini kesempatan yang bagus untuk balas dendam pada Nathan atas nama Reno, hihihi.

"Ok, gue mau. Tapi, sebelum itu lo harus ikutin perintah gue dulu," Nayla tersenyum santai.

"Serius, Nay. Ok, siap laksanakan, Ibu Negara," senyum Nathan merekah seketika, dia memberi hormat kepada Nayla.

"Ikut gue," Nayla membawa Nathan ke ujung lapangan.

"Terus ngapain?"

"Noh, Lo liat, banyak sampah di sekitar lapangan. Nah, gue mau, Lo pungutin sampah-sampah itu sampe bersih. Ya, sekali-kali Lo bantuin mang Diman beres-beres sekolah,"

"Ta-tapi, Nay ... " Nathan garuk-garuk kepala, dia sama sekali tidak yakin dengan ini.

"Mau gak? Kalau enggak, yaudah. Penawaran Cuma Dateng sekali," Nayla berbalik hendak pergi dari situ.

"Eh, iyaiya, mau kok, mau," Nathan segera melepaskan tas ranselnya.

"Nah, gitu dong," Nayla tersenyum puas.