Chereads / The Dangerous Love Zone / Chapter 24 - The Dangerous Love Zone - 21

Chapter 24 - The Dangerous Love Zone - 21

Azami yang baru saja selesai membersihkan badannya sehabis pulang dari kafe, memperhatikan seisi ruang kamarnya. Ruang kamar yang ditempatinya bersama dengan Yuri, sang adik bungsu.

Azami menghela nafas saat melihat ransel dan beberapa perlengkapan tulis tergeletak begitu saja diatas tempat tidurnya.

Diliriknya jam dinding yang menempel pada dinding kamar yang kini sudah menunjukan pukul sepuluh malam, namun dirinya tidak mendapati sosok Yuri berada di dalam kamarnya.

"Mungkin dia masih bersama dengan yang lain, diruang bersantai." Gumam Azami sambil merapihkan ransel dan perlengkapan tulis milik Yuri yang tergeletak diatas kasur.

"Aku harus menyuruhnya untuk segera tidur, agar besok dirinya tidak terlambat pergi kesekolah."

Azami pun kini melangkahkan kaki keluar dari kamar. Menuruni anak tangga satu persatu menuju ruang bersantai.

"Paman Tenma! Apa aku boleh memakan omelet buatanmu untuk sarapan besok?"

Sebelum sampai keruangan bersantai, Azami dapat mendengar suara Yuri yang bertanya kepada Tenma.

"Tentu saja! Apa kau juga ingin aku buatkan bekal makan siang?"

Azami dapat melihat Yuri menganggukan kepalanya begitu bersemangat dengan seulas senyum cerah terulas diwajah adik bungsunya itu.

"Ya, aku mau paman! Teman-teman ku juga bilang, jika bekal makan siang yang paman buat, rasanya lezat."

Hiro yang mendengar perkataan Yuri, mengulaskan seringai kecil di wajahnya. "Haa? Jadi secara tidak langsung kau mengatakan jika masakan ku, paman ichiro dan paman Daichi, kurang lezat begitu?"

Yuri yang menyadari maksud dari perkataan Hiro, segera menggelengkan kepalanya. "Tidak! Bukan begitu. Masakan paman Hiro, paman Ichiro dan paman Daichi juga lezat! Hanya saja teman-teman ku bilang telur gulung buatan paman Tenma, lebih lezat."

Daichi yang baru saja datang dari dapur dan mendengar perkataan Yuri, terkekeh geli. Kini dirinya berdiri tepat disamping Azami dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.

"Hiro-san, kau akui saja jika keahlian mu dalam membuat masakan berbahan telur, tidak seahli Tenma-kun."

Hiro yang mendengar perkataan Daichi, memasang ekspresi tidak senang. "Hei Daichi-kun, kau tahu bukan? Jika mengakui keahlian orang yang usianya lebih muda dari mu itu, rasanya sedikit aneh. Belum lagi orang itu juga bisa memasak karena berlatih dengan mu."

Tenma terbahak merespon perkataan Hiro yang begitu kekanakan. "Kau tidak perlu sampai mengakuinya, Hiro-san. Aku sangat mengetahui, jika harga dirimu itu sangatlah tinggi."

"Ya, ya, ya. Kau benar! Aku akan lebih berusaha lagi melatih kemampuan memasak ku dalam mengolah telur. Aku pastikan nanti rasanya akan lebih enak dari buatan mu, Tenma-kun!"

Yuri memasang ekspresi wajah tidak setuju mendengar perkataan Hiro. "Tidak! Paman Hiro tidak boleh mengolah telur! Kari buatan paman Hiro lebih lezat dari buatan paman Tenma. Jadi kalian memiliki keahlian masing-masing."

Tenma, Hiro dan Daichi saling melemparkan tatapan pada satu sama lain.

Kini Yuri menolehkan kepalanya kearah Daichi. "Paman Daichi juga, Tonkatsu buatan paman Daichi lebih lezat dari buatan paman Tenma dan paman Hiro."

"Ah! Dan paman Ichiro juga ahli dalam membuat sup miso!"

Tenma, Hiro dan Daichi mengulaskan seringai kecil diwajah mereka .

"Hei, hei, hei, Yu-chan. Pastikan kau tidak mengatakan hal itu pada paman Ichiro secara langsung." Ujar Hiro yang membuat Yuri menatapnya dengan tatapan heran.

"Kenapa paman? Bukankah itu bagus jika mengatakannya langsung pada paman Ichiro?

Tenma dan Daichi langusung menggelengkan kepala mereka dan meringis bersamaan.

"Itu akan berakhir mengerikan. Paman Ichiro akan selalu memasakan mu sup miso setiap hari. Sampai-sampai kau akan merasa jika sup miso dapat membunuh mu." Ujar Daichi dengan memasang ekspresi horor.

"Benar. Waktu itu pernah, paman Naoki mengatakan jika Okonomiyaki buatan paman Ichiro sangat lezat. Kau tahu, Yu-chan? Setelah itu, keesokan harinya dan seterusnya paman Ichiro selalu membuatkan Okonomiyaki untuk kita semua! Sarapan dan makan malam dengan Okonomiyaki selama satu minggu. Itu mengerikan." Sahut Tenma dan disetujui oleh Hiro dan Daichi.

"Paman Ichiro baru berhenti saat paman Naoki mengatakan, jika akan membenci Okonomiyaki buatan paman Ichiro jika dia masih membuatkan Okonomiyaki untuk menu sarapan dan makan malam kami semua."

Yuri dan Azami yang mendengar perkataan Tenma, Hiro dan Daichi merasa horor. Mereka tidak dapat membayangkan betapa membosankannya memakan Okonomiyaki sebagai menu sarapan dan makan malam selama satu minggu. Apalagi saat mereka membayangkan akan dibuatkan sup miso sebagai menu sarapan dan makan malam selama satu minggu juga.

Azami dan Yuri langsung menggelengkan kepala mereka, saat bayangan akan memakan sup miso selama satu minggu terlintas didalam kepala mereka.

"Baik, aku tidak akan mengatakannya kepada paman Ichiro." Ucap Yuri yang langsung direspon anggukan kepala setuju oleh Tenman, Daichi, Hiro dan Azami.

"Ah, Yu-chan. Apa kau sudah menyelesaikan tugas sekolah mu?" Tanya Azami sambil berjalan menghampiri Yuri.

"Niichan! Ya, aku sudah selesai mengerjakan tuga sekolah ku." Jawab Yuri dengan semangat, membuat Azami, Tenma, Hiro dan Daichi terkekeh.

"Bagus. Kalau begitu ayo sekarang kita tidur. Kau tidak ingin terlambat bangun bukan, besok pagi?"

Dengan cepat yuri menggelengkan kepalanya."Tidak! Aku tidak mau bangun terlambat besok."

"Nah, kalau begitu ayo kita istirahat sekarang. Paman Tenma, paman Hiro dan paman Daichi juga ingin beristirahat." Ujar Azami sambil mengusap puncak kepala Yuri.

"Eng, ayo niichan. Aku juga sudah mulai mengantuk."

Azami kini merapihkan buku dan perlengkapan tulis milik Yuri yang berada diatas meja. "Jangan lupa ucapkan terima kasih pada para paman yang sudah membantu mu mengerjakan tugas."

Yuri menganggukan kepala dan kini tatapannya beralih pada Tenma, Hiro dan Daichi. "Terima kasih paman, sudah membantu ku mengerjakan tugas sekolah malam ini."

Tenma, Hiro dan Daichi pun menganggukan kepala mereka bersamaan.

"Ya, sekarang Yu-chan tidurlah. Besok pagi akan paman buatkan sarapan omelet dan juga bekal makan siang." Ujar Tenma sambil mengusap puncak kepala Yuri.

"Jika besok ada tugas lagi, kita akan membantumu untuk mengerjakannya." Ucap Hiro dan di setujui oleh Daichi.

"Eung. Kalau begitu aku tidur dulu. Selamat malam paman."

Azami dan Yuri pun melangkahkan pergi meninggalkan ruang bersantai, menuju ruangan mereka.

"Niichan.." Panggil Yuri saat dirinya dan Azami sudah berada di dalam ruangan.

Azami yang sedang memasukan buku dan perlengkapan tulis milik Yuri kedalam tas pun bergumam.

"Menurut niichan, kapan paman Juza, paman Goshi dan paman Yuta akan pulang?"

Azami menghentikan kegiatannya sesaat, ketika mendengar pertanyaan Yuri.

"Untuk itu, niichan,tidak tahu."

Terdengar helaan nafas panjang Yuri hembuskan. "Aku rindu paman Juza, paman Goshi dan paman Yuta. Meski para paman selalu menemaniku, tetap saja masih terasa kurang karena mereka tidak ada."

Azami mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Yuri. "Jika pekerjaan mereka sudah selesai. Mereka pasti akan segera kembali."

Yuri menganggukan kepalanya pelan. "Aku harap pekerjaan mereka cepat selesai, niichan."

Azami bergumam pelan merespon perkataan Yuri dan kini dirinya mulai menyelimuti tubuh Yuri sambil bersenandung menyanyikan lagu penghantar tidur yang biasa di nyanyikan oleh mendiang ibu mereka.

Setelah memastikan Yuri sudah tertidur lelap. Azami membalikan tubuhnya dan menatap langit-langit ruangan mereka dengan cahaya lampu yang temaram.

"Ya, kuharap pekerjaan mereka juga cepat selesai." Gumam Azami dengan kedua mata terpejam, saat merasakan kantuk mulai menguasainya.

***

Azami yang sedang berlari kecil menyusuri trotoar, sehabis mencari bangunan rumah milik kenalan mendiang sang ayah yang mirip seperti di foto, menghela nafas kecewa, karena dirinya belum juga menemukan bangunan rumah yang mirip seperti didalam foto.

"Kemungkinan besar, bangunan rumah tersebut saat ini sudah di renovasi. Jika belum di renovasi, aku pasti sudah menemukan rumah tersebut sejak kemarin." Gumam Azami yang kini sudah berhenti berlari dan memilih untuk berjalan santai.

"Aku juga sudah bertanya dengan beberapa orang disekitar sini, mereka sama sekali tidak mengenal nama yang aku sebutkan. Apa perkataan paman Renji benar, jika mungkin saja orang itu sudah lama tidak tinggal di kota ini."

Azami mengacak-ngacak rambutnya frustasi. "Jika orang itu benar-benar sudah tidak tinggal di kota ini, aku harus mencarinya kemana? Ayah bilang, jika terjadi situasi mendesak aku harus bertemu orang tersebut dan meminta bantuan padanya."

"Hah, aku benar-benar tidak bisa memikirkan cara lain untuk menemukan lokasi kenalan ayah!"

Azami yang sedang berjalan kembali menuju rumah Juza, menghentikan langkah kakinya saat dirinya melintasi taman yang berada tidak jauh dari rumah kediaman Juza.

Samar-samar dibawah cahaya lampu sekitar taman yang terlihat sedikit temaram. Azami dapat melihat siluet seseorang sedang terduduk di bangku taman dengan asap yang mengepul di sekitar siluet orang tersebut.

Azami mencoba menyipitkan matanya, untuk memperjelas penglihatannya.

Kedua bola mata Azami membulat terkejut saat dirinya dapat melihat dengan jelas siapa sosok sebenarnya dari siluet yang dirinya lihat saat ini. Belum lagi, Azami dapat melihat jika tatapan matanya dibalas dengan orang tersebut.

"Juza-san." Gumam Azami.

Azami merasa ragu, apakah dirinya harus menghampiri dan menyapa Juza, atau dirinya lebih baik memilih berlalu dan berpura-pura tidak menyadari keberadaan pria itu.

Lagi pula, dengan cahaya lampu taman yang temaram disekitar mereka saat ini, Azami yakin, Juza tidak akan menyadari jika tadi tatapan mereka berdua saling bertemu.

Azami menghela nafas panjang sambil memejamkan kedua matanya, sebelum dirinya melangkahkan kaki mengikuti keputusan yang sudah dirinya ambil.

"Juza-san." Panggil Azami saat kini dirinya sudah berdiri dihadapan Juza yang sedang terduduk di kursi taman sambil menghisap batang rokoknya.

"Ah, Azami-kun. Kukira kau tadi akan pegi begitu saja melewati taman."

Azami yang mendengar perkataan Juza, merasa seperti ada sebuah benda tajam yang menusuk dirinya.

'Yah, tadinya aku ingin memilih pura-pura tidak melihat mu.' Gumam Azami dalam hati.

"Yah tadinya. Tapi saat menyadari jika Juza-san yang sedang berada disini, maka aku memilih untuk menghampiri mu."

Juza bergumam pelan merespon perkataan Azami. Dirinya, masih sibuk menghisap batang miliknya.

"Apa kau tidak merasa terganggu dengan asap rokok ku? Ku dengar, perokok pasif lebih berbahaya dibandingkan dengan perokok aktif." Tanya Juza yang melirikan matanya kearah Azami yang kini sudah terduduk di sebelahnya.

"Tidak juga. Mendiang ayah ku juga merupakan perokok aktif, jadi aku sudah terbiasa." Jawab Azami seadanya. Dirinya kini mulai merasakan suasana canggung yang mengudara disekitar mereka.

Belum lagi, Juza yang memilih kembali diam sambil menghisap batang rokoknya.

"Eng, itu, Juza-san. Apa pekerjaan mu bersama Goshi-san dan Yuta-san sudah selesai?" Tanya Azami sedikit gugup yang membuat Juza kembali melirikan matanya kearah Azami sebelum menjawabnya.

"Ya begitu lah. Kami baru saja sampai sekitar setengah jam yang lalu."

Azami yang mendengar jawaban singkat satu arah dari Juza, menggerutu pelan dalam hati. Sepertinya dirinya mulai menyesali keputusan yang sudah diambilnya untuk memilih menghampiri Juza .

"Bagaimana dengan kabar sekolah Yuri-chan?"

Azami sedikit tersentak mendengar pertanyaan Juza yang sama sekali tidak dirinya duga akan keluar dari mulut ketua gangster itu.

"Kabar sekolah? Ah maksud mu keseharian Yu-chan di sekolah? Ya, dari cerita yang selalu Yu-chan ceritakan pada kami, sepertinya dia menjalani masa-masa sekolah yang menyenangkan dengan teman-teman barunya."

Juza sedikit mengerutkan dahinya mendengar nada gugup dari perkataan Azami.

"Syukurlah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan mu?"

Azami mengerjapkan matanya sesaat mendengar pertanyaan Juza barusan.

"Aku? Ah, keseharian ku di kafe seperti biasa. Bertemu dan melayani pelanggan yang hampir setiap harinya berbeda. Sementara ini aku belum menemukan masalah yang penting dan sangat menikmati bekerja sebagai seorang waiters."

Juza bergumam pelan merespon jawaban Azami. "Jika rumah?"

Azami mengulaskan senyum meringis, mendengar pertanyaan singkat yang Juza layangkan kepadanya.

"Rumah? Ya keadaan rumah seperti biasa. Tidak memiliki masalah yang lain. Setelah kami pulang dari kafe dan membersihkan diri, kami berkumpul diruang bersantai untuk bercengkrama dan membantu Yu-chan untuk mengerjakan tugas sekolah."

Lagi, Juza kembali bergumam. Kali ini pria itu menjatuhkan batang rokoknya keatas tanah dan menginjak ujung rokok tersebut sampai apinya mati.

"Lalu bagaimana dengan mu Juza-san?"

Juza terdiam sesaat mendengar pertanyaan Azami. Dirinya tidak menyangka jika Azami akan melayangkan pertanyaan seperti itu kepadanya.

"Seperti biasa. Selama satu minggu mengurus pekerjaan saja. Bertemu dengan beberapa pengusaha untuk menjalin kerja sama."

Azami menganggukan kepalanya pelan. Juza yang melihat Azami menganggukan kepalanya, mengulaskan sebuah seringai kecil diwajahnya.

"Kau pasti tidak akan tertarik jika aku menceritakan apa yang kulakukan selama satu minggu ini."

Azami menaikan sebelah alisnya, mentapa Juza yang duduk disebelahnya dengan tatapan heran.

"Bagaimana bisa kau menyimpulkan seperti itu? Bahkan kau belum menceritakannya sama sekali."

Juza cukup terkejut mendengar perkataan Azami.

"Ya, cerita pekerjaan seorang ketua gangster pasti akan sangat membosankan bagi kalian."

Azami melayangkan tatapan tidak setujunya kepada Juza. "Setiap orang memiliki ketertarikan yang berbeda. Jadi, sebelum kau menyimpulkan pendapat orang lain seenaknya. Mengapa kau tidak menceritakannya terlbih dulu?"

Juza menolehkan kepalanya kearah Azami yang ternyata kini juga sedang menolehkan kepala kearahnya.

"Baiklah, tapi untuk saat ini aku tidak akan menceritakannya kepadamu. Aku ingin menanyakan sebuah pendapat kepadamu." Ucap Juza yang semakin membuat Azami menatapnya dengan tatapan heran.

"Jika kau bertemu dengan seseorang yang memiliki keterkaitan dibalik meninggalnya kedua orang tuamu. Apa yang akan kau lakukan?"

Azami terdiam ditempatnya. "Mungkin aku akan melaporkannya pada pihak berwajib. Lalu bertanya kepadanya, mengapa bisa dia terlibat di balik meninggalnya kedua orang tua ku."

"Lalu, bagaimana jika seandainya kau sudah lebih dulu mengetahui motif keterkaitannya dibalik meninggalnya kedua orang tua mu?"

"Itu tergantung dengan motifnya."

Azami dapat mendengar Juza menghela nafas dalam.

"Bagaimana jika motif orang tersebut adalah karena kedua orangtua mu mengetahui tindak kejahatannya. Lalu agar tindak kejahatannya tidak diketahui oleh orang lain lagi, orang tersebut membunuh kedua orangtua mu."

Azami mengepalkan kedua telapak tangannya. "Jika itu motifnya, maka aku akan langsung melaporkannya pada pihak berwajib dan memberitahukan tindak kejahatan si pelaku pada pihak berwajib. Agar dirinya mendapatkan hukuman yang setimpal."

"Meski orang tersebut masih memiliki ikatan darah dengan mu?"

Kedua mata Azami mengerjap beberapa kali. "Tunggu, maksudmu pelaku pembunuh kedua orangtua mu ini masih merupakan anggota keluarga mu sendiri??"

Juza mengulaskan seringai kecil diwajahnya. "Ya begitulah."

"Yang benar saja! Memang apa tindakan kejahatan yang dilakukan orang itu, sampai-sampai harus membunuh kedua orangtua mu yang merupakan anggota keluarganya sendiri?!"

"Penggelapan dana, pelecehan seksual dan pembunuhan berantai."

Kedua bola mata Azami membulat terkut bukan main, mendengar perkataan Azami. "M-mustahil.."

Juza terkekeh miris. "Tapi itu adalah kenyataannya."

"Kenapa kau tidak melaporkannya pada pihak berwajib?? Kau tahu, orang itu akan mendapatkan hukuman berat jika kau melaporkannya!" Tanya Azami tidak terima. Entah kenapa saat ini dirinya benar-benar merasa marah.

"Seandainya semudah itu." Jawab Juza kembali terkekeh miris dan kali ini menolehkan kepalanya kearah Azami.

Azami yang baru saja ingin melayangkan pertanyaan kepada Juza terurungkan, saat melihat Juza sudah beranjak dari duduknya.

"Terimakasih sudah memberikan ku sebuah saran, Azami-kun. Setidaknya aku tahu, jika kau memiliki pemikiran yang sama sepertiku. Hanya saja tidak mudah untuk melakukan hal itu."

Azami terperangah ditempatnya, saat melihat Juza mengulaskan sebuah senyuman yang sama sekali belum pernah dirinya lihat sejakpertama kali bertemu dengan pria itu.

Sebuah senyum yang terlihat begitu tulus dan hangat.

"Ayo kita kembali kerumah. Kau harus bersiap untuk membangunkan Yuri-chan."

Kedua kelopak mata Azami mengerjap beberapa kali, untuk mengambalikan dirinya dari rasa terperangah melihat senyuman milik Juza.

"Ekhm. Ya, kau benar Juza-san."

Kini Azami beranjak dari duduknya dan berjalan bersisian dengan Juza menuju rumah pria itu.

"Tolong rahasiakan pembicaraan kita tadi. Jangan sampai ada yang mengetahui, terutama adik ku sendiri."

Azami menolehkan kepalanya, menatap kearah Juza yang kini juga tengah menolehkan kepala kearahnya.

"Baiklah, aku akan merahasiakannya."