Alika mengedarkan pandangannya pada ruangan ini yang hanya berisi kursi ala kantoran sepasang dengan mejanya yang terdapat beberapa map, juga sofa berwarna coklat muda yang di hadapannya meja kaca. Di sudut ruangan terdapat pintu yang ia yakini adalah toilet. Dinding yang dilapisi wallpaper bunga membuat ruangan ini terlihat sangat modern.
"Eh, Alika, kan?" tanya Elina senang sesaat setelah melepaskan pelukannya
Alika mengalihkan tatapannya, "Bunda?"
"Kangen banget Bunda sama kamu,"
Alika cukup terkejut mendengar penuturan Elina, tapi ia juga merindukan ibu mertuanya itu, eh ralat. Maksudnya ibu Alfie.
"Ayo, duduk-duduk." Ajak Elina
"Kamu apa kabar?" tanya Elina saat keduanya sudah duduk manis di sofa empuk itu
"Baik, alhamdulillah. Bunda gimana?"
Alfie membulatkan matanya kaget, mengapa Alika seperti sudah sangat akrab dengan bundanya. Buktinya gadis itu memanggil bundanya dengan sebutan bunda, seperti dirinya. Dan mengapa bunda kesayangannya itu semudah membalikan telapak tangan menyuruh Alika memanggil dengan sebutan bunda. Biasanya wanita itu sulit untuk akrab dengan orang baru.
"Bunda baik, sayang."
See? sekarang bundanya itu memanggil Alika dengan embel-embel sayang. Setahu Alfie, bundanya baru pertama kali bertemu dengan Alika. Kedua kalinya dengan hari ini.
"Kayak udah akrab banget, ya," seru Alfie
Elina menoleh ke arah putranya lalu tak lama ia mengangguk menjawab pertanyaan Alfie.
"Alika juga asik orangnya, jadi Bunda langsung akrab kayak gini."
Sedangkan Alika berusaha menyembunyikan senyumnya, ia tidak menyangka bisa sedekat ini dengan Ibu dari seorang idola tercintanya itu. Bahkan ia juga lebih tidak menyangka bisa menatap Alfie sedekat ini, biasanya ia hanya memandang Alfie melalui layar kaca.
Elina beralih menatap Alika, "Kamu udah makan?"
"Udah kok, Bun."
"Alfie gak ditanya, Bun?" tanya Alfie iri
Mereka berdua terkekeh mendengar pertanyaan Alfie, cowok itu terlihat sangat iri pada Alika.
"Anak Bunda yang paling ganteng ini udah makan atau belum?" tanya Elina lembut, sedangkan sang empu tersenyum senang dengan menampilkan giginya yang berderet rapi.
Alfie mengangguk lucu, "udah, Bun."
"Dia anaknya manja," tunjuk Elina pada Alfie
Alika terkekeh melihatnya, jujur di dalam hatinya ia gemas melihat kelakuan Alfie. Tidak menyangka jika idolanya yang terkenal dengan cool ini bisa berubah seperti anak kecil yang manja jika dengan Ibunya.
Mereka bertiga berbincang hingga lupa waktu, jarum jam terus berputar dan sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Astagfirulloh!"
"Kenapa, Alika?" Keduanya menatap Alika dengan kerutan alisnya
Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam 10 malam, bagaimana bisa ia lupa dengan keberadaan Davi? apa cowok itu menunggunya atau sudah pulang?
Alika menatap Elina dan Alfie bergantian, "Maaf, Bun, Fie, aku harus pulang. Temen aku nunggu dari tadi," pamit Alika dengan beranjak dari duduknya
"Yaudah, kamu hati-hati, Alika."
Alika mengangguk lalu mencium punggung tangan Elina, sorot matanya beralih menatap Alfie dan tersenyum.
"Gue pulang dulu, thanks buat hari ini." Dibalas dengan anggukan Alfie, tak lama setelahnya Alika pergi meninggalkan keduanya yang masih menatap punggung Alika.
Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sembari berlari kecil menuruni tangga, saat ini ia benar-benar merasa bersalah karena melupakan Davi begitu saja. Keadaan cafe masih terbilang ramai, setidaknya masih ada beberapa orang yang datang mengunjungi cafe ini.
Alika mengedarkan pandangannya di area parkir cafe, ia menatap salah satu mobil yang terparkir disana. Ia yakin jika itu adalah mobil milik Davi, tapi perasaannya semakin merasa bersalah ketika melihat mobil Davi yang masih terparkir.
Perlahan kakinya mendekati mobil itu, Alika merapalkan doa supaya Davi tidak marah padanya. Walaupun cowok itu sangat jarang, bahkan tidak pernah memarahinya. Saat berada di samping pintu pengemudi, Alika mendekatkan wajahnya pada kaca untuk memastikan apakah ada Davi disana atau tidak.
Alika membulatkan matanya saat melihat Davi di dalam sana, cowok itu sedang tertidur dengan memanjangkan joknya.
"Lho! Alika, kok belum pulang? temennya mana?"
Merasa namanya disebut lantas Alika menoleh ke sumber suara, disana Elina dan Alfie yang berdiri tidak jauh darinya.
Alika menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "temen aku ketiduran, Bun."
"Rumah kamu daerah mana?"
"Senayan!" bukan Alika yang menjawab, melainkan Alfie
Suara pintu mobil terbuka menampilkan sosok Davi yang terlihat baru saja terbangun dari tidurnya.
"Nah, udah bangun tuh temennya!" seru Elina saat melihat Davi keluar dari mobil.
Alika menatap ke arah Davi yang tersenyum padanya, sedangkan Alika semakin merasa bersalah. Gadis itu menatap Davi dengan tatapan sesalnya, belum sempat Alika mengucapkan sepatah kata pada Davi, Elina berpamitan untuk pulang.
"Bunda sama Alfie duluan ya, Alika." Diangguki oleh Alika.
"Davi, gue bener-bener minta maaf," keluhnya
Cowok itu mengacak pelan rambut Alika, "it's okay,"
"Padahal gak papa kok tadi lo pulang duluan, gue bisa pulang sendiri."
Davi menggelengkan kepalanya, lalu menuntun Alika untuk memasuki mobil. Ia membuka pintu menyuruh Alika untuk segera masuk ke mobilnya, tak lupa juga Davi menempelkan tangannya di bagian atas agar kepala Alika tidak terbentur. Lalu, ia kembali menutup pintunya setelah memastikan gadis itu duduk dengan nyaman. Davi berlari kecil memutari bagian depan mobilnya untuk sampai di kursi pengemudi.
Sebegitu perhatiannya Davi pada Alika sehingga membuat kedua orang yang tadi melihatnya bertanya-tanya tentang hubungan keduanya.
"Itu beneran temennya Alika, Fie?"
***
Mobil Davi sudah sampai di depan gerbang rumah Alika, Davi masih berusaha menenangkan gadis itu agar tidak terus merasa bersalah padanya. Tapi, nyatanya Alika tetap Alika. Orang yang tidak enakan, selalu seperti itu.
"Dav-"
"Stop!"
"Kalo lo masih mau minta maaf, gue gak mau sahabatan sama lo lagi!" ancamnya
"Ish!"
"Alika, dengerin gue. Gue gak papa, lo gak perlu terus-terusan minta maaf sama gue, gue maklumin kalo lo lupa sama gue. Karena gue tau, lo ngobrol sama Alfie, kan itu yang buat lo bahagia,"
"Gue bahagia kalo lo juga bahagia, Lik." Jelasnya pada Alika dengan menepuk bahu gadis itu.
Alika berhambur ke pelukan Davi, ia benar-benar beruntung bisa memiliki sahabat sebaik Davi. Alika berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan membuat Davi sedih. Karena, Davi saja selalu ada untuknya, entah di saat suka maupun duka.
Davi mengusap rambut dan punggung Alika bergantian, menenangkan gadis itu yang sudah menangis.
Beberapa saat kemudian pelukan mereka terlepas, mata Alika terlihat sembab, hidung dan matanya merah, serta bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.
"Jelek banget, lo!" ejek Davi dengan menyentil kening Alika pelan.
"Ngeselin!" pekik Alika dengan mencubit perut keras Davi, sedangkan pemilik perut itu tidak menampilkan ekspresi apapun pada wajahnya. Cubitan Alika terasa seperti mencolek perutnya, tidak ada apa-apanya.
"Modus lo pegang-pegang perut gue!"
Alika mengerucutkan bibirnya kesal, lalu ia keluar dari mobil Davi dengan menutup pintunya keras. Di dalam mobil, Davi terkekeh melihat kelakuan sahabatnya itu.
***