Suara high heels yang membentur lantai itu terdengar sangat jelas, membuat Mr. Hector sudah mengetahui siapa yang akan mendatangi kamar hotelnya. Bukan wanita hiburan semacam kupu-kupu malam, melainkan partner kerja sama yang tak lain adalah Miss Febiana.
Kali ini tempat pertemuan mereka adalah di dalam kamar hotel yang disewa oleh Mr. Hector. Pintu dari kamar itupun sudah terbuka, sehingga tapak kaki Febiana sampai ke telinga sang tuan dari Jerman. Mendengar itu, Mr. Hector segera bangkit dan berencana memberikan sambutan. Di ambang pintu ia akan berdiri dengan senyuman.
Sesaat setelah melakukan rencana tersebut, Mr. Hector mendapati Febiana sudah sampai di hadapannya bersama Sekretaris Feline dan Sekretaris Rio. Wanita itu tersenyum, kemudian merundukkan badannya di hadapan sang tuan Jerman.
"Hello, Mr. Hector," sapa Febiana.
Mr. Hector tersenyum, kemudian menggerakkan tangannya untuk mempersilakan tamu-tamunya itu untuk masuk. "Silakan, Miss Febiana," ucapnya.
Tanpa menunggu lama dan sebagai bentuk rasa hormatnya, Febiana segera memasuki kamar hotel itu. Kamar yang bernuansa keemasan dengan fasilitas-fasilitas elit tersebut sangat familiar di mata Febiana. Pasalnya, ia memang akan menjadi pemiliknya setelah Edwin Aditya sudah tak memiliki kekuasaan atas Big Golden Real Estate.
Febiana duduk di sebuah ruang tamu yang diisi sofa empuk dan beberapa ornamen mewah. Sama seperti sebelum-sebelumnya, sekaligus sudah menjadi karateristik dirinya, Febiana bersikap elegan dan sangat pantas untuk dianggap sebagai wanita berkelas tinggi dengan segala arogansi. Tentu saja, tak ada yang tahu jika jauh di lubuk hatinya ia menyimpan ribuan luka akibat dari sikap keras Tuan Edwin Aditya dan Madam Trisia—kedua orang tuanya.
Sekretaris pribadi Mr. Hector tiba-tiba saja muncul dan membawa nampan berisi dua cangkir sekaligus kopi hitam di dalamnya. Ia bergerak menghampiri keberadaan Febiana yang saat ini sudah saling berhadapan dengan Mr. Hector di ruang tamu itu.
"Terima kasih," ucap Febiana pada sang sekretaris dari tuan Jerman tersebut.
Mr. Hector menatap wajah nona muda di hadapannya itu dengan pancaran mata penuh arti. Pasalnya, ia sendiri juga memiliki anak perempuan seusia Febiana. Namun, lantaran sang anak tidak tertarik pada bisnis, akhirnya sampai saat ini dirinya belum turun dari tahta kerajaan bisnisnya sendiri. Beruntung, ia masih sehat dan kuat, buah dari hidup sehatnya selama ini.
"Soal proyek itu, bagaimana kalau membangun tempat perbelanjaan saja, Mr. Hector? Ada beberapa hal yang menurut saya cukup bagus untuk dijadikan pertimbangan. Salah satunya, kawasan itu sudah ramai dan strategis," usul Febiana pada rencana pembangunan yang masih sempat menjadi bahan pertimbangan.
Mr. Hector menurunkan arah pandangnya, kemudian menghela napas. "Mm ... sepertinya masalah itu, ... ada seseorang yang perlu tahu, Nona," jawabnya.
"Mm ... seseorang? Si-siapa?" tanya Febiana dengan perasaan yang berangsur getir. Pasalnya, belum lama ini Davin Sinclair mendatanginya dan memberikan informasi seputar Edward Sinclair yang akan mengajukan dana pribadi untuk investasi. "Ja-jangan bilang?"
"Salah satu sahabat Anda, Miss Febiana."
Mata Febiana terbelalak. Ia menelan saliva, bahkan sampai beberapa kali. Suasana yang mungkin dianggap biasa saja oleh Mr. Hector, tentunya sangat membuat Febiana justru dirundung kegelisahan. Jantungnya pun turut berdebar-debar, sayangnya bukan dari sebuah kebahagiaan, melainkan kebencian.
Tiba-tiba suara tapak kaki terdengar. Febiana mencengkeram kuat androk span berwarna putih yang sedang ia kenakan. Ia nyaris kaku, dan kesulitan dalam bergerak. Bagaimana tidak, belum lama ini ia bahagia karena Edward Sinclair terancam menghilang dari Sinclair Real Estate, tetapi kali ini kemungkinan besar perusahaan kontemporer yang pria itu beri investasi pribadi adalah ....
"Selamat siang. Maaf atas keterlambatan saya." Suara itu sangat-sangat tidak asing. Sebuah suara berat dan terdengar agak serak, merupakan milik Edward Sinclair.
Ya, benar. Tepat ketika Febiana berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengetahui tentang siapa sosok tersebut, wajah Edward Sinclair-lah yang ia temukan. Febiana terkejut, dirinya dirundung rasa kaku dan tegang nyaris di sekujur tubuhnya. Matanya terpaku menatap Edward yang justru tersenyum seolah tengah memberikan ejekan.
Febiana menelan saliva, kemudian menghela napas sedalam-dalamnya. Ia berupaya untuk tenang dan bersikap biasa saja. Ia tak boleh kalah dari Edward yang sudah ia yakini akan kalah. Namun ... bagaimana ia bisa mengalahkannya jika pria itu masuk ke dalam salah satu bagian partner kerja samanya?
"Selamat siang, Mr. Sinclair. Tak masalah terlambat sedikit, toh, Anda merupakan CEO dari real estate terbesar di negara ini, pastinya akan sibuk sekali. Ayo, silakan duduk," sapa Mr. Hector ramah dan tentunya berbanding terbalik dengan sikap Febiana ketika wanita itu menyambut Edward di pertemuan pertama mereka.
Edward tersenyum dan mengangguk. Kemudian, ia beranjak menuju salah satu sofa yang kosong. Sementara matanya masih saja diarahkan pada Febiana yang juga memandangnya dengan nanar.
"Miss Febiana. Mr. Sinclair akan berinvestasi di bawah nama perusahaan saya," ucap Mr. Hector.
Febiana sedikit tercengang dan langsung menatap sang tuan Jerman. "Ba-bagaimana bisa?" tanya Febiana. "Itu tidak bisa, Mr. Hector!"
Mr. Hector mengernyitkan dahi. "Memangnya ada apa? Dan kenapa pula sikap Anda seperti menentang, setahu saya kalian bersahabat."
Febiana mendecih. "Mana ad—"
"Benar, Mr. Hector. Miss Febiana hanya sedang terkejut dan tentunya tidak menyangka," potong Edward.
Mata Febiana terbelalak. Ia tidak menyangka jika pria itu akan menggunakan kebohongan seperti itu dalam pengajuan investasi pribadinya. Ia juga sudah tidak bisa mengusir Edward, lantaran Mr. Hector justru bersedia menaungi nama pria itu.
Febiana berdiri dari duduknya. Ia terdiam sejenak. Detik berikutnya, ia menghampiri Edward, kemudian mencengkeram lengan pria blasteran Perancis itu dan membawanya keluar dari ruangan. Feline dan Rio yang terkejut hendak membantu, tetapi Febiana meminta keduanya diam saja, sembari menemani Mr. Hector.
Ketika sudah sampai di luar pintu dari kamar hotel Mr. Hector, Febiana lantas mendorong tubuh Edward sampai membentur dinding kokoh bangunan milik Big Golden itu. Ia menekan tubuh pria itu dengan memberikan sebuah isyarat ancaman.
"Apa kamu gila, Edward Sinclair?!" tanya Febiana berapi-api.
Edward tersenyum picik. "Memangnya hanya kamu saja yang boleh gila, wahai, Febiana?" balasnya.
"Ya!" sahut Febiana cepat. "Maka dari itu, kamu tidak berhak untuk menjadi gila. Hanya aku saja!"
"Tak ada undang-undang yang mengaturnya, Nona. Ini legal dan tentu saja aku tidak datang dengan tangan kosong."
"Aku tidak peduli, bahkan jika kamu membawa dana ratusan juta dollar, tetap saja aku tidak bisa menerima kedatanganmu!"
Edward mengubah ekspresi wajahnya yang tadi masih sempat tersenyum, kini menjadi dingin dan nyaris seperti wajah para psikopat. Tak lama kemudian, ia membalikkan keadaan dengan menarik tubuh Febiana dan mengubah posisinya. Edward menekan tubuh wanita itu sama seperti yang ia terima.
Kedua tangan Edward mencengkeram kedua pundak Febiana, sampai membuat wanita itu gemetar. Mata Febiana terbuka lebar dan seolah nyaris keluar dari rongganya. Niat hati ingin mengancam Edward, nyatanya kekuatan pria itu jauh lebih di atas dirinya. Febiana mati kutu! Ia berusaha memejamkan mata untuk menerima serangan tangan Edward yang mungkin akan bertindak kasar.
Namun ... bukan rasa sakit yang Febiana terima, melainkan kehangatan yang terasa di bibirnya. Sebuah kecupan! Edward jauh lebih gila. Ketika Febiana mencoba membuka mata, pria itu menjadi lebih garang dalam menjatuhkan ciuman panas di bibirnya dan nyaris menuju leher jenjangnya. Tubuh Febiana terasa panas dan kaku, tegang sekaligus sulit digerakkan. Ia berharap Edward segera berhenti, tetapi tampaknya pria itu justru menikmati.
"Febi, bangkit!" batin Febiana mengumpulkan segenap tenaganya yang seolah terkunci di dalam sanubari.
Tepat ketika Edward hendak menyentuh dadanya, Febiana mendorong pria itu. Sementara dirinya terjatuh tak berdaya. Febiana terkulai lemas dan hampir pingsan, tetapi ia tidak mau tumbang, terlebih setelah mendapatkan pelecehan.
"Hmm ... kupikir kamu sangat menikmatinya, tapi kenapa justru lemah? Apa ini merupakan first kiss bagimu, Nona?" tanya Edward yang sudah bangkit dan berdiri gagah di hadapan wanita itu.
Febiana menggertakkan gigi, kemudian berangsur menatap tajam pria itu. "Aku akan menuntutmu!"
"Coba saja! Ada CCTV tuh." Edward menunjuk sebuah kamera kecil. "Tapi, rekaman itu hanya akan memperlihatkan dirimu yang pertama kali menyudutkanku. Kurasa akan menjadi pertimbangan pihak polisi, dan pada akhirnya kita akan dinilai bahwa memang sama-sama saling menyukai. Satu hal lain, Nona, rumor yang kamu sebarkan tentang diriku akan hilang karena insiden ini."
Edward tertawa. "Waaah! Terima kasih, Miss Febiana!"
Edward berlalu begitu saja dari hadapan Febiana, menyisakan sejumlah rasa kesal bagi wanita itu. Kemudian, saking jijiknya, Febiana segera bangkit. Ia mencari toilet terdekat untuk membasuh wajah, terutama bibirnya yang ternoda oleh kecupan panas dari pria yang sangat ia benci itu. Bahkan, ia sampai sengaja memuntahkan isi perut lantaran takut jika saliva Edward sempat tertelan.
***