Edward menghela napas, kemudian beranjak. "Aku rasa penjelasanku sangat cukup dan tak perlu dibahas lagi, Ayah. Aku juga menolak adanya perjodohan itu, aku tidak mau. Kuharap Ayah mengerti dan lantas mempercayaiku lagi," ucapnya.
Javier menatap manik mata sang putra tanpa ekspresi yang meyakinkan. Tak lama kemudian, ia pun beranjak dari duduknya. "Baiklah, terserah padamu," jawabnya acuh tak acuh.
"Aku harap, Ayah segera kembali. Aku ada urusan penting malam ini."
"Urusan penting?" Dahi Javier mengernyit. "Di malam-malam begini? Lebih baik kamu pulang bersama Ayah, Nak. Ibumu meminta Ayah agar pulang bersamamu."
"Aku tidak bisa, Ayah. Terlalu malas rasanya bertemu anak-anak kesayangan kalian. Sampaikan saja salamku pada Ibu. Aku benar-benar harus pergi. Kuharap Ayah mengerti dan segera pulang ke rumah."
Javier berdecap. "Ayah selalu berharap kamu bisa lebih hangat layaknya dulu, Edward. Tak perlu terbelenggu masa lalu, apalagi ...." Ia menatap pigura berisi foto Kimmy. "Apalagi sampai mengharapkan wanita yang sudah diperistri orang lain. Kamu hampir empat puluh tahun, Edward, harusnya sudah bisa memberi cucu bagi kami."
"Ayah! Kumohon segera pulang saja."
"Ya, ya, tapi setidaknya pertimbangkan saran Ayah untuk menikah dengan Febiana. Kamu bisa menghapus status perjaka tua sekaligus mendapatkan kekuasaannya."
"Sudahlah, Ayah. Hal itu tak akan pernah ada di dalam kamus hidupku, terutama wanita itu!"
Edward segera mengarahkan ayahnya untuk menuju pintu utama. Lantaran, sudah pasti ada sang sopir, Edward tidak menawarkan tumpangan di mobilnya. Sesaat setelah itu, Javier benar-benar pergi membawa sejumlah rasa tak nyaman.
Selepas ayahnya pulang, Edward menghela napas lega. Namun detik berikutnya, ia justru teringat saran yang diberikan oleh Javier padanya. Menikahi Febiana memang cara yang tepat dan bagus. Namun, sampai kapan pun cara itu tidak akan pernah ia lakukan.
Dan demi menghilangkan rasa gelisah, rindu pada Kimmy, cemas, dan pening, Edward berencana untuk mendatangi sebuah klub malam. Setidaknya, tempat itu memiliki kebisingan yang tak akan membuatnya kesepian.
***
Alunan nada yang begitu menggema, mengisi setiap sudut tempat itu. Lampu menyala dan mati secara bergiliran dengan tenggat waktu yang cepat. Mereka hanyut dalam tarian, saling berbaur dan bersuka cita. Namun bukan hanya mereka yang tengah bahagia, tempat itu juga diisi oleh pemilik nestapa.
Febiana. Wanita itu malam ini singgah di sebuah klub untuk menghempas dahaga hati. Ia yang belakangan ini diserang berbagai masalah merasa tak nyaman jika harus berteman rasa sepi. Ia ingin menggila dan menghabiskan kegelapan bersama irama musik yang berisik. Ia hendak menyesap alkohol sebanyak mungkin, bahkan jika itu bisa membuatnya kehilangan ingatan.
Febiana tanpa seorang teman, Feline pun tak ada di sisinya. Ia berpenampilan nyentrik agar tidak ada yang mengenali. Ia tidak mau dicegah oleh siapa pun untuk malam ini saja. Kepalanya terlalu pening dalam memikirkan bisnis, persaingan, pelecehan yang ia dapatkan dari Edward Sinclair, sekaligus masalah yang datang karena rumor cintanya dengan pria itu.
Febiana mengumpat sembari menghentakkan gelas yang masih terisi minuman beralkohol. "Edward! Uh, jijik! Uh, hoek! Cuih!"
"Hai, Nona." Seorang pria menyapa Febiana dan tampak memiliki niat tak baik pada wanita itu. Ia berangsur duduk di samping Febiana.
"Siapa ... kamu?!" Febiana mengernyitkan dahi dalam keadaan setengah mabuk. "Aaah ... kamu bukan Edward. Siapa ... kamu?!" ceracaunya tak jelas.
Pria itu tertawa kecil. "Siapa Edward? Kekasihmu?"
"Aaaa! No, no, no. Tentu saja ... bukan! Hahaha, mana ada! Si tengik itu kekasihku?! Hahaha, yang benar saja!" Febiana menepuk pundak pria itu dengan keras. "Lebih baik ... aku bersama ka-mu sa-ja daripada Ed-ward!"
Pria asing itu tersenyum. Kemudian, ia menambahkan segelas minuman beralkohol itu di dalam gelas Febiana. Karena sudah dipengaruhi alkohol, wanita itu tidak memberikan rasa curiga. Ia terus menyesap tanpa mau berpikir sejenak. Febiana sudah nyaris gila, apa pun beban pikirannya keluar melalui mulutnya. Ia tak lagi elegan, tetapi justru tampak seperti kupu-kupu malam.
Sang pria semakin puas mendapati Febiana sudah mabuk berat. Febiana bahkan nyaris limbung ke belakang dan semakin tidak jelas dalam berkata-kata. Sang pria menyibak rambut Febiana yang terurai.
"Dia cantik, sangat cantik! Sepertinya, dia juga orang penting. Aku seperti pernah melihatnya," gumam pria itu, merasa takjub pada paras wajah Febiana yang luar biasa.
Pria itu terus mengusap wajah Febiana dengan halus. Hasrat lelakinya mulai muncul dan membuat aliran darahnya berdesir. Sepertinya, membawa wanita itu ke tempat lain yang lebih senyap dan tentunya nyaman adalah ide yang bagus. Ia pun segera bangkit dengan memapah tubuh Febiana yang sudah lemah.
Namun, ketika pria itu berbalik, seorang bule menghentikannya. Mata pria itu membelalak dan hatinya merasa heran. "Siapa kamu?!" tanyanya dengan geram, lantaran rencananya harus tertunda karena kedatangan orang asing berwajah Eropa.
"Edward!" jawab sang bule yang notabene adalah Edward Sinclair. Sejak ia sampai di klub itu dan mendapati seorang wanita yang tak asing sekaligus sedang berceracau tentang namanya, Edward mengamati dan mengabaikan tujuannya untuk bersenang-senang.
Pria yang masih mencengkeram tubuh Febiana merasa terkejut. Namun, detik berikutnya ia justru tertawa. "Jadi, Anda orangnya, orangnya yang dimaksud Nona ini? Sayang sekali, Nona ini tidak ingin bersama Anda dan memilih bersama saya, Tuan."
"Aku tahu," balas Edward dingin. "Aku Edward Sinclair, akan mendapatkan wanita itu, meski tidak menginginkanku."
Sang pria terperangah, ia menelan saliva dengan getir. "Ed-edward Sinclair? Pe-pemilik Sinclair Group?"
"Jadi, kamu mengenalku?"
"Te-tentu saja, Mister! Saya anak dari pemegang saham nomor tiga, Bastian Abr—"
"Aku tidak peduli," sahut Edward. "Aku hanya ingin kamu memberikan wanita itu padaku, kalau tidak—"
"Ya, ya, Tuan! Saya akan berikan dia pada Anda. Toh, saya tidak mengenalnya sama sekali."
"Bagus! Dan enyahlah dari dunia ini jika masih memperalat wanita yang tengah tak sadarkan diri!"
Pria bernama Bastian itu menelan saliva dan tertunduk sesaat setelah menyerahkan diri Febiana pada Edward. Ia tidak punya nyali untuk sekadar meminta maaf pada Edward. Di sisi lain, ia harus tetap hormat pada pria itu sebab masih berkaitan dengan bisnis ayahnya. Meski rasa kesal di hatinya begitu besar, tetapi apa boleh buat, Edward jauh lebih berkuasa.
Kemudian, Edward membawa Febiana ke dalam mobilnya. Ia menghela napas setelah itu, matanya menatap wajah Febiana yang tampak tidak baik-baik saja. Sementara wanita itu terus saja berceracau tak karuan.
"Orang seangkuh dirimu, bisa semabuk ini, Febiana? Apa yang terjadi? Karena kehadiranku-kah? Bukannya seharusnya aku yang merasa berat karena terus-terusan kamu serang, Febiana?" gumam Edward.
"Dan aku harus membawamu ke mana, Febiana? Sial! Kenapa aku harus membantunya juga, sih?!" lanjutnya dengan geram sekaligus menyesal.
Namun meski penyesalannya datang, Edward masih tak sampai hati meninggalkan Febiana seorang diri. Apalagi, ketika wanita itu nyaris dibawa oleh pria hidung belang. Mobil yang ia tumpangi sekaligus miliknya yang tersisa, dilaju dengan kecepatan penuh.
Dalam perjalanan Edward masih merasa bingung, sebab ia tidak mengetahui keberadaan tempat tinggal Febiana. Dan jika membawa wanita itu ke hotel, yang ada rumor mengenai jalinan cinta mereka akan menguat. Edward tidak mau!
Pilihan satu-satunya adalah ... apartemen miliknya sendiri. Yang tidak banyak orang tahu, aman, dan tentu saja tidak ada siapa pun di dalamnya. Namun haruskah, Edward membawa musuhnya ke dalam markasnya? Jika, wanita itu sadar dan mencari celah untuk menciptakan masalah lagi, bagaimana?
Edward mengumpat. Tepat setelah ia melontarkan kata kasar, Febiana memuntahkan isi perutnya. Hal itu membuat Edward semakin kesal saja. Mobil berharganya kotor! Belum lagi pakaian Febiana yang juga dalam keadaan basah, tampaknya terkena guyuran alkohol.
"Merepotkan!"
***