Suara dering ponsel membuat Febiana terpaksa tergerak untuk segera terjaga. Namun sebelum itu, ia menggeliatkan badan terlebih dahulu. Sebelum benar-benar membuka matanya, Febiana bergegas mencari ponselnya yang masih berbunyi.
"Mm?" gumam Febiana menyadari ada sesuatu yang aneh. Tangannya justru mendapati udara saja. Tak ada nakas, atau bahkan ponselnya. Ia terdiam dan mulai membuka matanya perlahan-lahan.
Mata Febiana menjadi terbelalak pasca ia melihat pemandangan di atasnya sungguh berbeda. Langit-langit ruangan yang terpasang gambar awan? Lalu, ketika ia mulai menyusuri setiap penjuru ruangan dengan matanya itu, semua tampak berbeda.
"A-aku di mana?" tanya Febiana, dan ia tidak segera mendapat jawaban. Tempat itu bukan miliknya dan entah milik siapa. Sebuah ruang tamu yang mewah, menjadi tempat tidurnya sejak semalam dan ia terbangun pagi ini.
Teringat tentang apa yang ia lakukan tadi malam, Febiana semakin berdecak gugup. Ia segera bangkit dan ingin memastikan keadaan dirinya sendiri.
"Aaaaa!" pekik Febiana ketika mendapati tubuhnya hanya terbalut kimono mandi, selain selimut tebal. Meski pakaian dalamnya masih lengkap, tetap saja pakaian luarnya sudah tidak ada. "Aku di mana? Aku di mana? Astaga! Apa yang kulakukan! Ini gila, ini gila. Tidak, tidak, tidaaaak!" Ia mencengkeram dan menggelengkan kepalanya sampai berkali-kali.
Mendengar teriakan Febiana, Edward yang masih berada di dalam kamar mandi menjadi mendengkus kesal. Ia pun berdecap dan sering menghela napas. Karena suara Febiana yang terus saja melengking serta berisik, Edward terpaksa menyudahi aktivitasnya. Ia membalut tubuhnya dengan sehelai handuk saja. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk segera keluar dari tempat itu.
Langkah Edward terhenti tepat di ambang pintu yang menjadi pembatas antara kamar mandinya dan ruang tamu. Ia menghela napas lagi, ekspresi di wajahnya saat ini tampak gusar dengan gurat kekesalan. Sementara, netra birunya menatap Febiana yang meski sudah diam, wanita itu masih cemas sembari menatap pigura berisi foto Kimmy.
"Ini rumah seorang wanita, 'kan? O-oke, aku harus tenang. Hanya seorang wanita yang membawaku," ucap Febiana sembari mengusap dadanya. Ia hela dan embuskan napasnya demi mendapatkan sebuah ketenangan. Lagi pula, pigura besar bergambar seorang wanita itu bisa menjadi bukti bahwa tadi malam ia menginap di tempat yang benar.
Edward berdecap. "Apa kamu sudah kelaparan, Nona?" Ia berjalan menghampiri Febiana, tanpa memedulikan tampilan dirinya yang masih dibalut satu kain saja. "Pagi-pagi sudah berteriak seperti seekor kera. Kamu tahu? Suaramu sangat berisik!"
Tengkuk Febiana terasa kaku detik itu juga. Harapan dari pemikiran positif mengenai pemilik tempat itu adalah seorang wanita menjadi hancur lebur. Pasalnya, suara pria itu tak asing di pendengaran. Ia ingat betul bahwa pemilik suara tersebut adalah ... Edward Sinclair!
Perlahan-lahan, Febiana menoleh ke arah Edward. Ia menggigit bibir, menelan saliva, dan gemetaran. Matanya membulat penuh pasca mendapati sosok Edward hanya terbalut sehelai handuk saja. Febiana menggeragap seketika itu juga.
"Aaaaaaa!" pekik wanita itu lagi.
"Haisss! Berisik!" Dengan cepat, Edward membungkam mulut Febiana lantaran jengah mendengar pekikan dari wanita itu. "Apa kamu gila?! Meski tempat ini kedap suara, rasanya tetap tak etis, Febiana!" omelnya.
"Ka-kamu? A-aku? Ke-kenapa ada di sini?" tanya Febiana terbata-bata sesaat setelah Edward melepaskan cengkeraman di tangannya. Ia pun bergegas mengalihkan arah pandang.
Edward menghela napas. "Jadi, kamu lupa apa yang terjadi tadi malam?" Ia mengumpat pelan. "Sangat-sangat menyebalkan! Seharusnya kamu ingat dan terus mengingatnya seumur hidup!"
Edward memutuskan untuk berbalik badan dan segera kembali ke dalam kamarnya. Ia harus mencari pakaian yang lebih nyaman dan tentu saja pantas. Ia tidak peduli bahwa perkataan terakhirnya menimbulkan tanda tanya besar di hati sekaligus pikiran Febiana. Bahkan, ia sendiri tidak berpikir sampai sejauh itu.
Sepeninggalan Edward, Febiana diliputi perasaan tidak karuan. Matanya bergerak tak menentu, sementara pikirannya terus dipacu untuk mengingat apa yang terjadi tadi malam. Namun, selain klub, pria asing, dan alkohol, tak ada lagi yang muncul sebagai memori yang sudah terjadi.
Febiana memukul-mukul kepalanya dan menyentuh seluruh tubuhnya dengan perasaan gundah gulana. "Dia ... dia ...." Ia menelan saliva, dan sukar untuk berkata-kata. "Dia, dia tidak mungkin, tidak mungkin berbuat macam-macam padaku, 'kan?"
Tiba-tiba saja sebulir air mata terjun bebas membasahi pipi Febiana. Bagaimana tidak, jika dalam keadaan diri yang seperti itu, mungkin saja ada kejadian gila. Ia takut kehormatannya direnggut paksa oleh Edward, atau bahkan atas keinginannya sendiri. Febiana tidak bisa kehilangan mahkota paling berharga, apalagi oleh musuhnya sendiri.
Rintihan isakan pun terdengar memilukan tidak lama kemudian. Febiana menangis sembari memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Ia tidak peduli atas harga dirinya untuk saat ini, bahkan jika benar-benar ada kejadian gila, maka ia memang sudah tidak memiliki harga diri itu.
"Hei!" Edward berseru sembari melaju kakinya dengan cepat menuju keberadaan Febiana di ruang tamu itu. "Tadi teriak, sekarang menangis?! Kenapa sih? Ini masih pagi! Hari liburku menjadi lebih buruk karena dirimu, Febiana!" omelnya.
Febiana menatap Edward, sembari memperkeras suara tangisnya.
"Febiana!" bentak Edward geram dan nyaris memberikan tamparan. Beruntung, ia bisa menahan diri lantaran mengingat bahwa Febiana adalah seorang wanita.
Edward menghela napas. Ia berdecap dan menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Sesaat setelah itu, ia berkata, "Tak ada yang terjadi di antara kita. Jadi, diamlah. Suaramu terlalu berisik."
"Mm?" Setelah diberi tahu, Febiana bersedia meredam suara tangisnya. Ia mengusap air matanya, kemudian bertanya, "Be-benarkah? Ta-tapi, ke-kenapa bajuku hilang? Kamu tidak berbohong, 'kan?"
"Cih! Mana ada aku berbohong, Nona. Bajumu diganti oleh petugas wanita di gedung ini yang bekerja di sif malam. Lalu, aku memintanya untuk membuang baju norak itu, lantaran kotor dan menjijikkan."
Febiana menggaruk-garuk kepalanya. "Ta-tapi kenapa aku ada di sini?" tanyanya lagi dengan mata bulat yang semakin jernih ketika masih memiliki sisa air mata.
Melihat wajah Febiana yang tampak imut dan menggemaskan, Edward menelan saliva. Ia nyaris terkesima dan takjub atas kecantikan wanita itu. Tepat ketika ia menoleh dan mendapati paras Kimmy, Edward baru bisa menghempas rasa takjubnya terhadap Febiana.
"Niat hati ingin bersenang-senang, aku justru bertemu wanita gila yang sudah setengah sadar. Herannya, wanita itu malah memberikan kesempatan pada seorang pria hidung belang," ungkap Edward.
Febiana tertunduk malu. "Be-benarkah?"
"Iya!" tegas Edward kesal. "Febiana, kamu ini di Indonesia, orang Indonesia. Tapi, kenapa segila itu dengan minuman keras! Bahkan, aku saja yang memiliki darah Eropa, tak pernah menenggak alkohol sampai sempoyongan atau sampai benar-benar tidak sadar. Apa kamu tidak takut jika pria asing semalam membawamu ke hotel danโ"
"Stop! Kumohon!" Febiana berdecap kemudian melipat kedua tangannya. "Aih! Menyebalkan sekali sih. Jangan sok ceramah deh! Lalu, aku tak pernah memintamu membantuku, apalagi sampai membawaku ke tempat ini. Apa jangan-jangan kamu mau menjebakku lagi dan menguatkan rumor tentang kita, hah?! Apa kamu tahu, gara-gara skandal palsu itu semua pemegang saham di perusahaanku melontarkan protes! Belum lagi, aku didesak untuk menikah denganmu, Edward! Huh, yang benar saja ...."
Edward tercenung ketika mendengar Febiana mengatakan perihal menikah. Ternyata, cara seperti itu tidak hanya ada di benak ayahnya saja, melainkan di pihak Febiana. Tampaknya, wanita itu terlalu kalut memikirkan berbagai masalah yang muncul pasca foto mereka beredar. Yang namanya terlibat persaingan sudah pasti akan menimbulkan pro dan kontra, meskipun beberapa orang menilai hubungan mereka akan sangat menguntungkan.
Edward menghela napas. Ia berupaya untuk tidak memberikan sedikit pun perasaan iba pada Febiana. Pasalnya, wanita itu-lah yang menyebabkan segala masalah menjadi lebih runyam.
"Daripada menggerutu tak penting, bukan-kah seharusnya kamu mengatakan terima kasih padaku?" celetuk Edward.
Febiana berdecap. "Tidak akan!" tandasnya cepat dan ketus.
"Belum lama ini kamu bersikap layaknya kucing kehilangan induk, dan sekarang kembali membangun keangkuhan? Ya, benar, kamu memang tidak memintaku menolongmu. Aku sangat tahu. Tapi, jika aku meninggalkanmu di sana tanpa membawamu pulang ke tempat ini, kehormatanmu benar-benar akan hilang, Febiana! Setidaknya, hilangkan sedikit gengsi. Sebab, kamu masih seorang manusia yang tidak bisa hidup sendiri."
Febiana terdiam.
"Sebentar lagi, petugas yang merawatmu tadi malam akan mengantarkan beberapa gaun untukmu. Mandi dan pergilah dengan penampilan pantas. Tak perlu pamit, aku tidak akan peduli. Tapi, jika kamu berkenan untuk sedikit berterima kasih, bergabunglah denganku di ruang makan untuk sekadar menghilangkan pengar. Aku akan buatkan sup khusus untukmu."
Nyatanya, Edward tetaplah manusia. Ingin mengabaikan dan tidak mau merasa iba, tetap saja perasaan itu datang. Pasalnya, keadaan Febiana tampak kacau dan sangat berbeda daripada biasanya. Sementara, Febiana tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti saran dari Edward Sinclair.
***