Febiana berdiri tegak di hadapan Edwin Aditya yang sudah berangsur membaik dan bisa duduk. Wanita cantik itu terdiam dalam waktu yang lumayan lama, sampai bermenit-menit. Ada sesuatu hal yang bergulat di dalam hati Febiana, perihal rencana pernikahan itu.
Haruskah Febiana mengungkapkannya di depan Edwin yang notabene telah melukai ibunya? Pria tua itu juga berbohong seumur hidupnya. Namun ... kenyataan jika Edwin begitu menyayangi Febiana juga tidak perlu diragukan lagi. Lantas, ....
Febiana menghela napas. "Ayah, ada yang perlu aku katakan," ucapnya.
"Katakan saja, Putriku. Kamu tidak harus meminta izin, bukan? Kamu akhirnya menjadi seorang ratu, Ayah bangga terlepas dari semua kesalahan Ayah padamu," sahut Edwin.
"Apa yang akan aku katakan bisa membuat Ayah merasa kaget."
"Benarkah?" Edwin menurunkan arah pandangnya. "Kamu sudah menentukan hari kepergian Ayah?"
"Tentu hal itu sudah pasti. Tapi kali ini, tak berkaitan dengan masalah itu, meski masih berkaitan dengan Ayah."