Belum sampai di ambang pintu Reni akhirnya pingsan. Tubuh rentanya tergolek lemas. Setelah melihat kejadian mengerikan yang menimpa Roni.
Salah seorang perawat yang tadi sibuk menangani Roni dengan sigap berlari membantu perawat yang memapah Reni tadi. Karena kewalahan membawa Reni seorang diri.
Dua orang perawat akhirnya membawa Reni ke ruang IGD untuk segera ditangani dokter.
Nadia yang sudah turun ke lantai satu. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke IGD yang kebetulan terletak di jalan yang di lalui Nadia.
Ia melihat seseorang yang tidak asing baginya sedang berbaring di atas brankar dan sedang dibawa masuk oleh perawat ke ruang IGD.
Entahlah, ia sendiri belum yakin dengan apa yang ia lihat. Ia harus memastikan sendiri alih-alih hanya menebak. Mengingat tadi Reni baik-baik saja saat mengobrol dengannya juga Adit.
Nadia berjalan cepat menuju IGD mengikuti dua perawat tadi.
Ia hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Mata Nadia membulat sempurna. Ia tidak salah, ternyata wanita itu benar Reni.
"Tunggu suster, Bu Reni sakit apa kok dibawa ke IGD?" Nadia bertanya pada salah seorang perawat yang membawa
Reni tadi. Sedang satunya sudah siap dengan dokter menangani Reni.
"Ibu Reni pingsan setelah melihat Pak Roni tadi jatuh dari tempat tidurnya Bu." jawab perawat tersebut.
Nadia mengerutkan dahinya. Ia terkejut mendengar penjelasan dari perawat. Ia juga penasaran bagaimana kondisi Roni saat ini.
"Jatuh? Kenapa bisa seperti itu sus? Lalu bagaimana kondisi Pak Roni saat ini sus?"
"Saya sendiri kurang tahu Bu, penyebab Pak Roni terjatuh. Yang jelas dokter kini sedang menanganinya." Setelah mengatakan hal itu, perawat tersebut pergi meninggalkan Nadia. Dan Nadia mengikutinya, karena ia ingin tahu kondisi Reni.
Ia memilih mendahulukan Reni terlebih dahulu. Setelah itu baru ke kamar Roni setelah selesai mengurus administrasi rumah sakit.
Kini Nadia sedang duduk di depan meja dokter yang menangani Reni.
"Jadi bagaimana keadaan Bu Reni dokter?"
"Ibu Reni mengalami tekanan darah tinggi Bu. Mungkin shocked akibat Pak Roni jatuh tadi. Mohon maaf ibu siapanya Ibu Reni ya?"
"Saya sekertarisnya Pak Roni dokter," jawab Nadia.
"Ibu Reni saat ini membutuhkan perawatan intensif jadi saya akan memindahkan Bu Reni ke ruang perawatan. Dan ini ada resep yang bisa ditebus di apotek untuk Bu Reni saat sudah sadar nanti."
"Baik dokter." Nadia meraih resep obat dari dokter tersebut.
Reni dirawat tepat bersebelahan dengan kamar Roni. Roni berada di VVIP Flamboyan no 3 sedang Reni kini dirawat di ruang VVIP no 2 tepat di samping kiri kamar Roni.
Cukup lama dokter menangani Roni. Membuat Nadia cemas akan keadaan bosnya itu.
Ceklekk!!
Akhirnya dokter keluar dari ruangan Roni. Nadia berdiri dari kursi tunggu yang berada di depan ruangan Roni.
"Bagaimana dok, keadaan Pak Roni?"
"Saya sudah mengobati luka di tangan Pak Roni Bu, saat ini Pak Roni sedang istirahat karena saya tadi sudah menyuntikkan obat tidur pada infus Pak Roni agar dapat beristirahat malam ini. Karena tadi lukanya cukup parah," jawab dokter tersebut.
"Luka? Luka apa dok?" tanya Nadia bingung. Apa luka di kepalanya?
"Pak Roni tadi jatuh Bu, dan jarum infusnya patah. Pak Roni juga tadi mengeluarkan banyak darah. Tapi sudah berhasil di keluarkan."
Nadia masuk ke kamar Roni setelah dokter itu pergi.
Nadia duduk di kursi samping tempat tidur Roni. Ia sedang berpikir langkah apa yang harus ia ambil sekarang. Roni dan ibunya sakit secara bersamaan. Dia tidak mungkin merawatnya dalam waktu bersamaan. Mengingat ia juga masih harus menggantikan Roni menghandle perusahaan.
Tidak ada pilihan lain. Ia terpaksa menghubungi Mia. Sekertaris Rena yang kini beralih menjadi sekertaris Reni.
Ia akan menelepon Mia di luar kamar. Agar tidak membangunkan Roni.
Nadia duduk di kursi depan kamar Roni. Ia. Ia mengeluarkan ponselnya dari tas miliknya. Lalu menghubungi Mia.
"Halo Mbak Nadia. Ada apa kok tumben telepon malam-malam gini?" tanya Mia dari ujung telepon. Untung saja ia masih mau mengangkat telepon Nadia malam-malam begini.
"Iya maaf ya aku nelpon kamu malam-malam dan harus ganggu istirahat kamu. Cuma gini. Kan Pak Roni kemarin sakit, nah ini sekarang Bu Reni juga ikutan sakit."
"Hah? Sakit. Sakit apa Mbak, kok bisa?" Mia berbalik bertanya.
"Darah tinggi. Ceritanya panjang besok aku ceritain ya. Nah tugas kamu besok handle pekerjaan Bu Reni dulu di kantor ya?!"
"Oke Mbak, besok pulang dari kantor aku akan ke rumah sakit." Setelah itu pembicaraan mereka berakhir dan Nadia menutup teleponnya.
Nadia duduk di kursi dekat ranjang Reni yang saat ini belum sadarkan diri. Ia menatap wajah Reni. Wanita yang Nadia sudah anggap sebagai ibunya sendiri.
Ia juga sudah begitu baik pada Nadia selama ini. Reni sudah memberinya pekerjaan. Ia juga melindungi Nadia agar tidak di pecat oleh Roni.
Nadia masih tidak habis pikir, mengapa Roni bisa terjatuh hingga jarum infusnya patah, yang membuat ibunya mengalami tekanan darah tinggi. Tanpa sadar bulir-bulir air mata membasahi pipi Nadia.
Cukup lama Nadia menangisi Reni. Sampai akhirnya ia lelah lalu tidur di ranjang yang ada di ruangan itu.
Ia memutuskan untuk menginap di ruang tempat Reni dirawat. Ia tidak bisa meninggalkan kedua bosnya itu di rumah sakit. Ia tidak mau sesuatu hal buruk akan terjadi lagi.
***
Sore harinya Nadia kembali ke rumah sakit bersama Mia. Hanya saja Nadia terlebih dahulu mengantar Adit ke rumahnya.
Nadia sempat menengok Reni dan Roni. Mereka berdua sama-sama sudah sadar. Walau Reni belum sepenuhnya. Ia masih tergolek lemas.
Nadia menjelaskan kepada Adit, mengenai apa yang telah dialami Roni semalam. Adit sangat terkejutnya mendengar apa yang dialami Roni juga ibunya.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain hanya menitip salam agar keduanya lekas sembuh. karena ia juga masih dalam kondisi pemulihan.
"Sampaikan salamku pada Bu Reni juga Pak Roni ya Nadia. Aku turut prihatin atas kejadian yang mereka alami. Mudah-mudahan mereka segera sembuh," ucapnya Adit sambil mengelus telapak tangan Nadia.
"Iya, nanti akan ku sampaikan," jawab Nadia tersenyum.
"Kamu juga, tetap kuat dan sabar ya. Jangan lupa jaga kesehatan. Makan yang teratur, jangan sampai sakit," imbuhnya.
Nadia terkekeh. "Tentu saja, aku adalah wanita yang kuat, jangan menghawatirkan aku." Setelah berpamitan kepada Adit. Nadia bergegas pergi ke rumah sakit dengan motor kesayangannya.
Adit menawarkan meminjamkan mobilnya. Tapi Nadia menolaknya. Alasannya ia akan lebih tenang jika menggunakan motor saja. Dan Adit dapat menerimanya.