Tapi penolakan dariku, tak lantas membuat dia menjauhiku. Dia bilang tidak masalah menjadi sahabat, asal bukan menjadi musuh,- iya musuh seperti Roni, yang mungkin menganggap aku musuh setelah dia menolak ku.
"Kamu bertambah cantik Nadia, dan jabatan sebagai sekretaris ini pasti karena kamu dulu cumlaude kan?" Sekali lagi dia memujiku, lama-lama aku bisa besar kepala.
"Iya," jawabku singkat sambil tersenyum karena sebenarnya aku malu. Aku harus menjawab apa? Prediksinya ternyata salah. Aku mendapat pekerjaan ini karena campur tangan mama, memalukan sekali rasanya.
Adit mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. "Kita akan jadi partner sekarang," ungkap Adit sambil tersenyum manis dan menampakkan lesung pipi di wajahnya. Tapi itu semua itu tak mampu meluluhkan hatiku untuk menyukainya.
Roni berdehem, langkahnya terhenti di dekat kami. "Kalau mau reunian jangan di kantor," lalu meloyor pergi dengan tangan diselipkan di kedua saku celananya.
"Dit ngobrolnya kita lanjutkan nanti ya, pulang kerja," aku berusaha mencairkan suasana, karena Adit mendadak jadi diam setelah diperingatkan oleh Roni tadi. Apalagi ini hari pertamanya kerja, pasti dia jadi ciut. Aku juga tidak mau nanti dia akan mendapat masalah dengan Roni.
"Iya Nad," jawabnya singkat.
Adit adalah orang yang menyenangkan. Karena kehadirannya mungkin aku bisa jadi kerasan bekerja di sini. Aku tidak akan menjadi kesepian.
"Ow iya Nadia, kamu ke kantor naik apa? apa bisa kita pulang bareng?"
"Tentu aku mau. Aku cuma naik angkot kok berangkat dan pulang kerjanya."
Adit hanya tersenyum, kami bertukar nomor ponsel, setelah itu kembali bekerja.
Sorenya, setelah jam kantor usai, Adit menghampiri ke meja kerjaku. "Ayo pulang sekarang," ajaknya.
Aku mematikan laptop dan memasukkannya ke tas kerjaku. "Ayo," jawabku sambil tersenyum senang.
Karena masih sore, aku dan Adit mampir ke sebuah warteg. Entah suka atau tidak yang jelas aku memang lebih suka makan di tempat seperti ini. Adit tak bilang apa-apa, hanya saja dia melihat ke sekitar seperti tidak pernah makan di tempat seperti ini.
Aku terkekeh, "Kamu nggak pernah makan di tempat seperti ini ya?"
Adit menggaruk kepalanya padahal tidak gatal.
Aku menyakinkan Adit kalau makanan disini juga enak dan bersih. Meski dari keluarga berada Adit bukanlah orang yang sombong.
Dari jaman kuliah aku memang tak pernah melihatnya makan di pinggiran seperti ini. Tapi dia dengan senang hati mau makan di sini.
"Kamu aja ya yang pilihan, aku percaya selera kamu pokoknya," ungkapnya sambil sedikit mendorong pundakku ke etalase makanannya.
Beberapa detik kemudian kami makan, dan Adit menyukai makanannya.
Aku yang sedang asyik makan, tiba-tiba tersedak oleh pertanyaan Adit.
"Nadia, apa kamu sudah punya pacar?"
Adit hampir menyendok sisa nasi di piringnya, tapi gagal, karena menolongku mengambilkan minum.
"Minum-minum…" wajah Adit terlihat mencemaskan aku, sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Maaf ya pertanyaanku membuatmu kaget dan tersedak."
"It's okay, hehe," aku tersenyum canggung.
Kenapa dia bertanya seperti itu padaku. Apa dia masih mengharapkan ku.
"Kenapa kok nanya gitu?"
"Apa masih boleh aku mengharapkan mu Nad?"
"Aku tau, kita sudah saling sepakat untuk bersahabat, tapi kalau boleh jujur, sebelum ada janur kuning melengkung, aku akan tetap mengejar cintamu Nad,"
Jangan tanyakan apa yang aku rasakan saat ini. Perasaanku rasanya bercampur aduk, rasanya aku ingin menerima Adit, tapi itu tidak adil baginya, alih-alih luluh dan mulai mencintainya aku justru iba karena dia terus mengejarku.
Selain itu aku rasanya aku jenuh mengejar cinta Roni. Tapi rasanya aku belum bisa membuka hati untuk orang lain.
Ini memang terkesan gila. Ada seseorang yang mencintai aku sejak dulu, tapi aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku justru mengejar cinta Roni, yang mungkin bertepuk sebelah tangan.
"Kita baru ketemu dit, paling nggak kasih aku waktu ya?" jawabku akhirnya.
"Okay, tapi aku intinya masih punya kesempatan kan?" tanyanya serius. Lalu aku balas senyuman.
***
Hari berganti hari. Aku masih dengan kegigihan ku, mengejar cinta Roni.
Seperti siang ini, walaupun ditolak oleh Pak Roni, aku tetap menawarinya makan siang, bahkan kali ini aku sengaja bangun lebih pagi , dan masak untuk dimakan bersama di kantor dengan Roni.
Aku memasak menu kesukaannya. Nasi goreng seafood. Aku tau itu sejak kami masih SMA.
Dulu aku dan Rena sering sekali masak nasi goreng seafood, lalu dimakan bersama Roni.
Aku mulai membuka bekal makanmu dari dalam tasku. Aku melangkah penuh harap.
Aku tidak berharap dia memujiku karena masalahku enak. Dia mau makan, masakanku saja aku sudah bersyukur.
Aku mengetuk pintu, lalu meraih knop pintu setelah mendapat izin masuk dari Roni.
"Ada apa?" Dia bahkan bertanya tanpa melihat wajahku, sudahlah, aku terbiasa dengan hal seperti ini darinya.
"Saya hari ini masak nasi goreng seafood Pak, bukankah ini kesukaan Pak Roni sejak dulu?"
"Sok tau kamu. Saya nggak doyan," kekehnya.
"Tapi Pak Roni dulu suka sekali dengan nasi goreng seafood buatan saya pak?"
"Ini masih dengan rasa dan resep yang sama kok Pak, bisa dicoba," aku masih berusaha membujuknya.
"Itu dulu, sekarang tidak lagi, semua telah berubah."
"Jadi tolong, bawa pergi makananmu itu dari ruangan saya."
Aku beringsut mundur dengan rasa kecewa. Dia tidak tahu saja, kalau biasanya aku menitipkan masakanku pada OB agar dia mau memakan masakanku.
Dia hanya gengsi saja, sebenarnya dari dulu dia begitu menyukai masakanku. kalau aku titipkan OB dia tidak pernah komplain pada OB, berarti masakanku enak. Lagipula aku masih membuatnya dengan resep yang sama.
Memang kali ini aku sendiri yang menawarinya masakanku. Dan terbukti dia gengsi. Tapi sudahlah, dia memang seperti itu.
Adit menghampiri aku. Dia mengendus bekal yang aku bawa. "Sepertinya ini enak, siapa pemilik makanan ini?"
Aku tersenyum. "Tidak ada, ayo kita makan berdua."
Dengan cepat Adit menyambar bekal makanannya. Adit memang selalu bisa membuat suasana menjadi cair.
Adit menarik tanganku penuh semangat menuju kantin. "Kok diem, ayo Nadia, aku sudah lapar ini," rengeknya mengusap perutnya sendiri.
Adit melahap makanan dariku dengan lahap. Reaksi yang seharusnya aku dapat dari Roni.
Sepertinya Adit dapat mengartikan ekspresi wajahku yang nampak kecewa, karena makanan dariku ditolak oleh Roni tadi.
"kamu kecewa ya, Karena makannya ditolak Pak Roni?"
Aku gelagapan dan tidak bisa menjawabnya. Adit menyukaiku, kalau aku katakan iya, aku akan menyakitinya. Dan aku tidak mau itu terjadi.
Adit tersenyum, "nggak usah dijawab aku juga udah tau Nad," tebaknya yang sebenarnya benar.
Tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Aku malu. Apa yang akan Adit pikirkan? Seorang wanita mengejar-ngejar pria. Apalagi dia bosku. Mungkin aku bisa dianggap wanita matrealistis yang ingin hidup senang karena kekasih bosnya.
"Nggak kok, kan udah jadi kewajiban aku jadi sekretaris memenuhi yang bosnya butuhkan dit," aku menyangkal.
"Aku melihat semua Nadia, itu bukan sikap bawahan ke atasnya, kau menyukainya."
Apa yang harus aku katakan? Mukaku memerah malu.