Chereads / L/R / Chapter 4 - 3.R

Chapter 4 - 3.R

"Aku dengar dari Daniel katanya ada yang sok jual mahal pada Dewi tadi pagi."

Gerakan tanganku yang ingin memakan nasi goreng seketika terhenti, dengan jengkel kulirik Andre yang tadi menyindirku, "Iya, aku orang yang dimaksud."

"Jadi kau sengaja sok jaim atau emang nggak terlalu niat? Dari yang kudengar ada kakak kelas yang gencar deketin Dewi sampai ngelabrak cowok lain yang melakukan PDKT dengan Dewi loh."

Di sekolah orang kaya ternyata ada juga yang memiliki sifat seperti berandalan ya? Aku mulai memakan nasi goreng sambil menahan rasa ingin lebih tahu, "Baiklah, aku akan berhati-hati mulai dari sekarang."

"Katanya tuh dia ngelabrak bareng sama gengnya, Leo. Kalau emang kamu nggak serius suka sama Dewi, mending sekalian nggak mendekatinya deh."

Aku bisa mengurus diriku sendiri, dan aku juga tak tahu bagaimana pendapat Leo mengenai Dewi yang menunjukkan rasa tertarik padanya. Terus mengikuti arus atau mengikuti saran Andre. Dua pilihan yang sulit kuambil tanpa membicarakannya dengan Leo.

Tapi berhubung semua keputusan berada di tanganku, sepertinya aku memilih untuk melihat situasi dulu, "Mungkin aku harus berpikir lagi deh jika emang ada kakak kelas semacam itu yang menjadi saingan."

"Lebih baik cepat memutuskan sebelum menyesal."

Kepalaku mengangguk-angguk untuk merespon rasa khawatir Andre. Dia benar, cepat atau lambat aku memang diharuskan mengambil keputusan sendiri.

Tadi pagi aku sempat berpikir bisa sedikit merasa lega jika berada di sekolah dibanding berada di rumah. Tapi sekarang aku langsung meralatnya.

"Lo berani bangat deketin Dewi. Dia tuh milik gue! Jangan pernah dekat-dekat dia lagi deh."

Kenapa sekarang aku berada di situasi seperti ini sih? Pak Rahmat -nama sopir Leo- sudah menunggu di luar pagar sekolah, tapi sekarang aku malah dihalangi dan dilabrak begini.

"Lo tahu siapa gue kan?"

Apa dia sebegitu populernya sampai seluruh murid sekolah mengenalnya? Aku tidak punya informasi tentang orang ini, tapi dia pasti kakak kelas yang tadi Andre bicarakan.

Hmm... sepertinya dua tahun lebih tua ya? Paham deh dia bisa bersikap sok berkuasa dan berani melakukan hal seperti ini di lorong sekolah yang sedang ramai.

Sungguh sangat mencolok jika aku sampai lupa peranku sebagai Leo, tapi mengetahui ada yang berani melabrak Leo membuatku tidak terima.

Siapa coba yang bisa diam saja setelah mengetahui orang yang wajahnya mirip denganmu di bully begini?

Ingin. Pengen bangat aku membuat kakak kelas ini kapok berurusan dengan Leo, tapi aku tak mau mencari masalah di kehidupan orang lain.

"Jika nggak mau cari ribut sama gue, lo harus menjauh dari Dewi."

"Baik," serba salah untuk melakukan tindakan yang tepat, lebih baik aku menuruti kata-katanya saja.

Menjauh dari Dewi dan tidak lagi mendapat masalah dari cowok ini. Dua keuntungan yang mempermudahku menjalani kehidupan Leo.

"Jawab yang bener!"

Bola mataku berkilat tajam ketika kerah seragamku ditarik dengan keras. Apa-apaan dia? Belum ada seorang pun yang seberani ini padaku dalam beberapa tahun terakhir.

Tahan, jangan melawan, sabar, ingat saja tentang orang tua Leo yang dipanggil pihak sekolah jika aku sampai memberi perlawanan, "Aku tidak akan mendekatinya."

Sebuah seringai puas tergambar di wajah itu, tangannya pun langsung melepas kerah seragamku. Tapi yang berikutnya dia lakukan justru mengacak-acak puncak kepalaku dengan kasar seperti sengaja ingin menjambak rambutku, "Bagus, lo jangan sok berani lagi mendekati Dewi."

Dia duluan yang mendekatiku! Jika tidak mau Dewi sampai jadian dengan cowok lain, ajak saja pacaran! Kenapa sok keras padahal ada cara yang lebih mudah dilakukan sih?

"Kenapa lo natap gue begitu? Mau nantangin?"

Wajahku berpaling menatap ke arah lain. Batas kesabaranku habis sampai tidak sengaja memberikan death glare padanya.

Tenanglah... jangan sampai tersulut emosi. Aku Leo, jangan mencari masalah saat sedang menjadi orang lain.

"Ya udah, sekarang lo bisa pergi. Tapi awas aja kalau lo masih deketin Dewi, gue nggak bakal kasih ampun lagi!"

Karena sudah disuruh pergi, aku langsung melangkah dengan cepat agar bisa keluar dari sekolah. Terlalu lama di situasi seperti ini bisa-bisa membuatku lepas kendali.

Aku tidak boleh membuat orang tua Leo cemas dengan membuat masalah di sekolah. Tidak boleh ada luka yang disebabkan perkelahian, tidak boleh juga ada panggilan dari pihak sekolah karena sebuah pertengkaran.

Tapi tanganku rasanya gatal sekali ingin melampiaskan rasa kesal ini, "Apa aku boleh mampir ke pasar dulu sebentar?"

Setelah masuk mobil, Pak Rahmat terlihat bingung mendengar permintaanku, "Saya disuruh mengantar Anda langsung pulang ke rumah."

"Kalau begitu tolong antar aku agar bisa cepat sampai di rumah."

"Apa terjadi sesuatu, Den? Ekspresi wajah Anda terlihat berbeda."

Kedua tanganku menutupi ekspresi marah yang saat ini pasti tergambar jelas di wajahku, "Aku cuma mau cepat-cepat berada di rumah aja."

Agar tidak membuat image Leo dianggap buruk, aku mencoba menahan diri agar tidak lepas kendali. Tadi di sekolah bisa dikatakan cukup berhasil, tapi aku masih ingin melampiaskan amarahku.

Jadi setelah sampai rumah, aku langsung menuju dapur dan mengabaikan larangan Bibi Erni yang tidak memperbolehkanku menggantikan pekerjaannya.

Tanganku sudah gatal ingin melakukan sesuatu. Jadi tanpa mendengarkan lagi, aku mengambil sebuah pisau untuk memotong semua bahan makanan yang sudah disiapkan oleh Bi Erni dengan sangat gesit.

"Hati-hati, Den. Nanti tangan Anda terluka."

Bi Erni yang baru pertama kali melihatku menggunakan pisau dapur mencoba menegur dengan nada cemas, "Tidak apa-apa kok, Bi, aku udah biasa melakukannya."

"Sudah biasa?"

Gerakan tanganku terhenti sesaat karena ingat yang biasa melakukan hal ini adalah aku, bukan Leo, "Iya, udah sangat terbiasa. Bahkan yang kupotong bisa lebih berbahaya dari ini."

Kalau saat ini sedang tidak berpura-pura menjadi Leo, aku pasti sudah pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan sampingan. Pekerjaan yang dilakukan tentu saja memotong. Entah memotong daging kambing, sapi, ataupun ayam. Yang jelas rasa kesalku baru hilang setelah selesai melakukan kerja sambilan semacam itu.

Bahkan aku sampai dinilai sebagai psikopat karena ekspresi kesal yang kutunjukkan saat sedang memotong katanya sangatlah menyeramkan. Tapi ini sudah menjadi kebiasaan jika tidak bisa melampiaskan kemarahanku pada orang lain.

"Tapi Den Leo harus hati-hati, Nona Laila bisa marah pada saya kalau Anda sampai terluka."

Mama memang mudah merasa khawatir. Wajar sih sampai berlebihan, Leo kan anak semata wayang, pasti disayang bangat lah.

Leo yang berasal dari keluarga kaya kemungkinan besar tidak pernah menginjakkan kaki di dapur untuk memasak. Sedangkan aku, kantor polisi pun pernah dimasuki hanya karena sebuah kesalahpahaman.

Lingkungan hidupku jauh sekali perbedaannya dengan Leo. Aku hidup dengan segala macam sisi negatif kota Jakarta. Terutama premanisme. Dari yang sekedar memalak, main judi, sampai pesta narkoba juga ada.

Entah kenapa mendadak aku kangen dengan suasana tempat tinggalku. Saat menjadi Leo, hidupku terlalu damai. Kakak kelas yang tadi memakiku bahkan tak sebanding dengan orang-orang yang suka mencari masalah denganku.

"Den, apa saya boleh mengetahui nama asli Anda? Jika tidak ada Tuan dan Nona, saya ingin membuat Anda nyaman dengan memanggil nama asli Anda."

Aku tersenyum sambil menggeleng perlahan, "Nggak perlu, Bi. Aku di sini untuk menjadi Leo, jadi aku nggak mau namaku dipanggil di rumah ini. Bibi tahu aku bukan Leo aja udah membuatku senang, setidaknya sesekali aku bisa menjadi diriku sendiri."

"Tapi–"

Pandanganku beralih menatap wajah Bi Erni yang menunjukkan guratan kecewa, "Aku nggak akan pernah bisa menggantikan posisi Leo, tapi aku ingin Pak Albert dan Bu Laila merasa nyaman dengan kehadiranku di sini."

Bibi Erni ikut tersenyum sepertiku, "Anda memang baik. Jika Den Leo sudah kembali ke rumah, kalian pasti bisa menjadi teman baik."

Teman baik ya? Aku juga mengharapkan hal yang sama, tapi aku juga sadar ini tidak mungkin bisa terjadi dengan mudah, "Oh ya, jika lain kali Bibi kesulitan memotong daging, jangan ragu minta bantuanku ya? Aku tahu berbagai macam teknik memotong loh."

"Kalau tidak ada Tuan dan Nona, saya pasti akan minta bantuan Anda agar bisa mendengar kisah hidup Anda seperti ini."

Aku tidak dapat menahan tawaku, "Hidupku penuh dengan hal negatif loh. Bibi pasti khawatir karena Leo sekarang digantikan olehku."

"Tapi Anda terlihat seperti anak baik-baik kok. Saya bahkan yakin beberapa sisi baik Anda tidak dimiliki oleh Den Leo."

Apa tidak terlalu tinggi ekspektasi yang diberikan untukku? Hidupku kan dipenuhi oleh banyak unsur negatif, "Tolong jangan terlalu melebih-lebihkanku. Aku bahkan pernah berurusan dengan polisi gara-gara narkoba."

Dengan canggung aku menggaruk pipiku menggunakan tangan kiri saat ingat kejadian setengah tahun lalu, "Salahku juga sih nggak langsung pergi meski tahu ada pesta narkoba, polisi jadi ikut menangkapku deh. Tapi karena aku nggak memakai dan para pecandu itu justru menuduhku melapor pada polisi, aku pun dibebaskan. Bahkan saat itu polisi sampai meminta kerja samaku untuk melapor jika ada pesta narkoba lagi."

"Lingkungan hidup Anda sepertinya sangat berat ya?"

Memang, makanya aku tidak ingin dianggap baik karena beberapa sifat yang kumiliki sudah terpengaruh dengan daerah tempat tinggal yang selama ini membesarkanku.

"Leo, sedang apa kamu di dapur?"

Secara refleks aku langsung melepaskan pisau yang dipegang tangan kananku lalu menatap ke arah Mama yang entah sejak kapan sudah berada di dapur, "A- aku hanya ingin menanyakan apa yang dimasak Bibi Erni untuk makan malam. Kenapa Mama udah pulang? Bukannya Mama bilang baru pulang malam hari?"

"Awalnya Mama berniat pulang ke rumah jam tujuh malam, tapi karena dokter melarang, jadi Mama memilih langsung pulang saja."

Dokter? Dengan cemas aku berjalan mendekat, "Apa Mama sedang sakit?"

Mama menggeleng sambil memberikan senyum lembut, "Tidak, tadi Mama ingin berkunjung saja kok."

Benar juga, Mama pasti ingin bersama dengannya selama yang dibisa. Mana mungkin aku bisa mengobati rasa cemas dan rindunya, "Apa keadaa–"

"Bagaimana kalau Leo sekarang menemani Mama mengobrol saja?"

Karena tanganku langsung ditarik, aku pun mengikuti langkah Mama menuju ruang tamu. Setelah duduk berdampingan, dengan halus Mama mengelus kepalaku, "Kamu sepertinya jauh lebih terbuka dengan Bibi Erni ya? Mama kan juga ingin mendengarmu bercerita."

"Maaf," aku hanya bisa menunduk untuk menunjukkan rasa bersalah.

"Kamu selalu saja menahan diri setelah tinggal di sini. Kamu boleh tetap menjadi Rio kok walau sedang bersama dengan Mama."

Dengan terkejut aku menatap wanita yang sedang duduk di samping kananku. Rio. Nama asliku kan yang tadi disebut? Ini pertama kalinya aku mendengar namaku lagi setelah tinggal di sini.

Seolah mengabaikan ekspresi terkejut yang kutunjukkan, Mama memelukku dengan penuh kasih sayang, "Rio juga harus menganggapku sebagai orang tuamu sendiri ya? Tidak adil jika Rio hanya memikul beban Leo saja. Kamu boleh beristirahat dan menjadi diri sendiri saat merasa lelah. Mama tidak ingin membebanimu dengan terus-menerus menjadi Leo."

Tanpa bisa ditahan, air mata mulai menetes membasahi pipiku. Dasar cengeng, kenapa aku menangis sih? Ini cuma cara seorang ibu menunjukkan rasa sayang kepada anaknya.

Hal sepele yang sering didapati orang lain. Dan orang lain yang dimaksud tidak termasuk aku.

Ini kali pertamaku dipeluk oleh seorang ibu. Terasa begitu hangat dan menenangkan sampai membuatku mengerti bagaimana rasanya memiliki orang tua yang begitu menyayangiku.