Bisa menjadi murid di sekolah mewah yang biaya SPP-nya mencapai angka jutaan rupiah mungkin merupakan keinginan banyak orang. Apalagi sekolahnya begitu terkenal sampai membuat siapa pun langsung tahu kalau ini merupakan sekolah elite dengan menyebutkan namanya saja.
Apa aku termasuk salah satu orang yang beranggapan demikian? Dibanding merasa senang, aku justru sedang bingung.
Aku belum pernah masuk ke sekolah elite mana pun, sekedar iseng mencari di internet pun tidak pernah. Jadi baru melihat bangunan sekolahnya saja, dahiku berkerut heran.
Memang aku sampai di tempat yang benar karena terpampang jelas tulisan SMA TIRTA BANGSA, tapi kenapa bangunannya terkesan seperti istana presiden dibanding sekolah?
Cat putih bersih beserta pilar-pilar yang menghiasi bangunan tiga lantai ini membuatku ragu sejenak sebelum memasukinya.
Dengan adanya orang lain yang juga sedang berjalan memakai seragam SMA, seharusnya aku semakin yakin jika ini memang sekolah. Tapi, lagi-lagi aku merasa sedang berada di tempat yang salah.
Tas bermerek, jam yang terlihat mahal, serta aksesoris yang dipakai siswa-siswi lain membuatku minder serta merasa seperti sedang berada di mall dibanding sekolahan.
Kenapa pergi ke sekolah saja memakai barang-barang yang terlihat mahal segala coba? Mereka sengaja mau pamer? Atau semua yang kuanggap mewah ini merupakan hal biasa untuk mereka?
Aku menghela napas dengan lelah. Sungguh retoris sekali pertanyaan yang terbesit di pikiranku. Padahal jawaban atas pertanyaan itu merupakan alasan kenapa aku sekarang juga memakai barang-barang serupa.
Karena menjadi siswa di sekolah elite, dari penampilan luar sampai isi tas pun mesti dibeli dengan harga mahal.
Andai aku datang sebagai siswa penerima beasiswa bukan sebagai Leo Alvarez, pasti sekarang aku sudah sangat menarik perhatian dengan penampilan anak SMA biasa.
Perbedaan gaya hidup ini begitu terasa sampai membuatku tidak nyaman dan takut gagal berperan sebagai Leo.
Ayolah, fokus! Jangan sampai terbawa perasaan lalu mengacaukan semuanya. Sekarang aku tuh Leo, lupakan saja semua kehidupan yang sudah kujalani selama ini dan cobalah bersikap layaknya anak dari seorang direktur.
Dengan langkah yang semoga terlihat berwibawa, aku memasuki ruang kelas X - IPS1.
Sudah ada beberapa murid yang datang lebih dulu dibandingkan aku, dan yang terpenting ruang kelasnya tidak terlalu membuatku terperangah sampai harus dipandangi lama-lama.
Meja serta kursinya terlihat modern karena terbuat dari besi, terlihat juga ada sebuah ac, CCTV, dan proyektor. Tidak mengherankan biaya SPP SMA Tirta Bangsa mencapai angka jutaan setelah melihat fasilitas ruang kelasnya begini.
"Oh, Leo akhirnya masuk lagi."
"Selamat datang kembali, Leo!"
"Katanya kemarin nggak masuk karena sakit ya? Sakit apa emangnya?"
Mendengar sapaan serta pertanyaan yang diberikan, aku tertegun. Jujur aku tidak menyangka akan disambut begini, lebih tepatnya aku berharap kehadiranku tidak terlalu menarik perhatian, tapi semua yang sudah berada di kelas sedang memfokuskan perhatian padaku.
Leo ternyata begitu populer ya? Senyum serta wajah ramah yang mereka tunjukkan seolah bukan berasal dari orang yang belum lama saling mengenal.
Padahal masa SMA baru dimulai dua minggu yang lalu, dan Leo yang sudah menghabiskan waktu seminggu lebih dua hari sukses mengakrabkan diri dengan teman-teman sekelas.
Dia lebih mudah bersosialisasi dibandingkan aku. Perbedaan ketika Leo sempat menghabiskan waktu bersama mereka apa terlihat jelas dengan aku yang sekarang menggantikan Leo ya?
"Hei, setidaknya biarkan Leo duduk dulu, kasihan tuh dia kebingungan."
Mataku mengerjap, bingung. Apa ekspresi wajahku terbaca dengan jelas? Terasa cukup canggung memang mendapat sambutan yang tidak diinginkan, tapi aku sudah mencoba bersikap setenang mungkin.
Sepertinya aku harus lebih rileks lagi ya? Sambil mencoba agar tidak berpikir terlalu banyak, aku berjalan mendekati kursi yang merupakan tempat duduk Leo di kelas. Tepatnya aku duduk di deret ke dua di pojok kiri kelas, ada satu bangku yang memisahkan untuk tidak langsung menghadap white board.
Setelah duduk, aku mulai bicara senatural mungkin, "Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari Senin, tapi nggak ada luka yang serius kok. Karena masih agak syok, orang tuaku minta izin pada sekolah selama lima hari."
"Apa kecelakaannya separah itu sampai syok segala?"
"Kecelakaan mobil atau motor emangnya?"
Wajahku tidak dapat menyembunyikan senyum. Ini pertama kali bagiku dikhawatirkan oleh seorang teman. Memang mereka semua teman Leo, bukan benar-benar temanku, tapi ada senang yang tetap kurasakan, "Ada mobil lain yang sopirnya mengantuk dan menabrak taksi yang kutumpangi, jadi terjadi tabrakan yang cukup menyakitkan."
"Wah... berarti beruntung ya karena nggak dapat luka lecet sedikit pun?"
Dengan refleks aku menggerakkan tubuh ke belakang saat salah satu dari mereka mencoba menatap dari dekat, "Iya, aku emang beruntung. Tapi Andre, jauhkan wajahmu."
Yang kupanggil Andre tertawa dan kembali membuat jarak lagi, "Habis Leo sampai nggak masuk selama seminggu, kupikir kau sedang sakit parah."
Sebenarnya aku tidak sakit apa-apa, ini sekedar alasan yang sengaja dibuat untuk mendukungku, "Kalau dibilang sakit sih, kepalaku terbentur cukup keras saat kecelakaan. Kuharap ingatanku baik-baik aja."
"Jangan kayak sinetron yang pakai Amnesia segala deh."
"Karena kamu masih bisa datang ke sekolah dan ngobrol dengan kami, berarti keadaanmu baik-baik aja dong."
Mudah-mudahan saja. Aku sendiri tidak yakin sampai memilih cara aman dengan dianggap mengalami gangguan ingatan agar tidak dicurigai.
Mau fisikku dan Leo bagaikan pinang dibelah dua sekalipun, sifat kami sudah pasti sangat berbeda kan? Baru masuk kelas saja aku sudah menemukan perbedaan cara bersosialisasi, jadi bisa dipastikan masih ada banyak perbedaan lainnya.
Dan untunglah bel masuk berbunyi, dengan begini aku dapat terlepas sejenak dari teman-teman sekelas yang terlihat masih ingin mengajak bicara.
Setelah menunggu kurang dari lima menit, guru perempuan yang terlihat berusia tiga puluhan memasuki ruang kelas, "Hari ini kita akan melakukan ulangan."
Pengumuman yang kuanggap terlalu mendadak ternyata dianggap mendadak juga oleh semua penghuni kelas yang secara kompak melayangkan protes. Tapi seperti guru pada umumnya, protes diabaikan dan ulangan tetap dilakukan.
Netraku memperhatikan lima soal esai matematika dengan seksama. Kebetulan aku sudah mempelajari semua soal yang diberikan, tidak sulit mengerjakan ini dalam waktu tiga puluh menit.
Tanganku yang sudah memegang pulpen terhenti di kolam nama. Dibanding soal ulangannya, ini mungkin menjadi satu-satunya yang bisa saja salah kuisi.
Leo Alvarez.
Leo.
Alvarez.
Kueja nama yang sedang kupinjam per-huruf agar tidak salah ditulis.
Nama Leo memiliki kemiripan dengan nama asliku. Dari nama depan yang sama-sama memiliki tiga huruf, sampai nama belakang yang juga terdengar mirip saat diucapkan.
Kok bisa ya? Sudah wajahnya sama, nama pun ikutan mirip lagi. Aku ternyata sangat cocok menjadi saudara kembar Leo ya?
Dengan cepat aku menepis pikiran liar itu. Kemiripan yang ada di antara kami hanyalah sebuah kebetulan semata, fakta tetap membuktikan aku dan Leo bukanlah saudara. Lebih baik abaikan keanehan ini dan fokus dengan apa yang ada di depan mata.
Setelah selesai mengerjakan ulangan kemudian mengumpulkannya, guru langsung membagikan hasilnya setelah melakukan pemeriksaan dengan cukup cepat.
100. Aku tersenyum puas melihat nilai yang kuperoleh. Terima kasih pada deretan buku yang sudah dibeli Leo dan kemampuan belajarku yang cepat, berkat dua hal itu aku berhasil mendapat nilai sempurna.
"Kok nilainya bisa bagus gitu sih?"
Secara refleks tubuhku terlonjak kaget mendengar pertanyaan mendadak yang diajukan oleh Daniel yang duduk di sampingku. Sepertinya aku sukses mengabaikannya sampai tidak menyadari sedang ditatap dengan pandangan iri, "Emang aneh ya?"
"Tentu aja. Kau kan udah nggak masuk sekolah selama seminggu, masa malah dapat nilai sempurna sih?"
Iya juga ya. Kan ada jeda waktu seminggu antara terakhir kali Leo masuk sekolah dan aku yang sekarang menggantikannya, pasti aneh bisa mengikuti rangkaian pelajaran tanpa hambatan yang berarti. Aku menyesal sudah mengerjakan ulangan dengan serius.
Lebih baik aku membuat alasan yang terdengar masuk akal agar tidak dicurigai, "Selama nggak masuk sekolah aku iseng baca-baca buku, dan ternyata yang kupelajari justru jadi materi ulangan."
Bukannya terlihat mengerti, Daniel justru menaikkan salah satu alisnya dengan heran, "Apa setelah mengalami kecelakaan kau mendadak jadi rajin belajar? Aku nggak bisa membayangkan seorang Leo mau repot-repot membaca buku."
Ughh... apa Leo tipe orang yang malas belajar? Walau sudah mencoba melakukan penyelidikan dahulu, aku sangat tidak tahu mengenai sifat yang dimiliki Leo.
Leo merupakan orang asing yang belum kukenal. Seharusnya sejak awal aku mengaku mengalami Amnesia saja, kenapa aku begitu naif dengan menganggap semua bisa berjalan lancar sih?
"Padahal kau bisa santai-santai aja atau main game seharian di rumah. Masa udah enak-enak nggak masuk sekolah malah belajar sih?"
Ah... itu hal normal yang dilakukan anak seumurku saat bolos sekolah ya? Aku menghela napas dengan lega. Ternyata aku tidak melakukan kesalahan besar, ini hal sepele yang luput dari pikiranku.
Kan Leo merupakan anak SMA biasa, kenapa aku malah menyamankannya denganku sih? Padahal jelas-jelas kami berbeda.
♔
Jam istirahat menjadi momen yang sangat menakutkan untukku. Bagaimana tidak membuat berkeringat dingin harus bersikap sok akrab sambil mengobrolkan sesuatu bersama orang yang belum dikenal?
"Jadi gimana, Leo? Kamu setuju kan kita merayakan kesembuhanmu? Kita bisa bikin acara kumpul-kumpul di cafe."
Terima kasih sudah memulai topik obrolan yang tidak bersifat pribadi, tapi tetap saja ini membuat gugup, "Aku belum diizinkan pergi-pergi keluar. Pulang pergi ke sekolah aja masih dijemput agar tetap dalam pengawasan."
"Bukannya kamu selalu diantar jemput sejak masuk sekolah ya?"
Benar juga. Dalam informasi yang sudah kutahu, Leo belum bisa mengendarai mobil sendiri, jika mau pergi ke mana pun masih diantar jemput oleh sopir pribadi, "Tapi kali ini sopirku disuruh memberi laporan setiap kali aku mau pergi."
"Gimana kalau kumpulnya di rumahmu aja?"
Saran dari Fahri sangat masuk akal, tapi datang ke rumah justru bisa memunculkan masalah lain, "Maaf, untuk sementara waktu aku nggak boleh ajak teman main ke rumah."
Melihat raut kecewa yang tergambar jelas di wajah Fahri dan Andre membuatku harus mengoreksi jawaban agar tidak terdengar seperti sebuah penolakan mutlak, "Lain kali kita bisa merayakannya kok, aku juga bakal mentraktir kalian deh."
"Kalau gitu kami tunggu ajakannya."
"Jangan cuma janji-janji doang loh, Leo."
Aku tersenyum sambil mengangguk. Suatu saat Leo yang akan bersenang-senang bersama dengan kalian, aku yang orang asing ini cuma bisa menjaga agar hubungan pertemanan yang sudah dibuat bisa terus berjalan dengan baik.
Aku tidak berhak merusak apa yang sudah Leo bangun. Yang bisa kulakukan adalah menjaganya, membuat semua berjalan lancar sampai saat di mana Leo menggantikan posisiku.
"Oh ya, gimana perkembangan hubunganmu dengan Dewi?"
Topik obrolan yang terlalu mendadak diubah nyaris membuatku tersedak jus jeruk yang sedang kuminum. Kenapa membicarakan cewek sih? Dengan panik otakku cepat memikirkan jawaban atas pertanyaan yang Andre berikan.
Dewi yang dimaksud sama dengan nama kontak bernama Dewi di hp Leo kan ya? Seingatku ada chat yang belum dijawab mengenai rasa khawatirnya pada Leo yang tidak masuk sekolah.
Jika Andre mengatakan 'perkembangan hubungan', berarti belum sampai tahap pacaran ya?
"Kenapa mendadak bahas Dewi sih?" belum yakin dengan kesimpulan yang diambil, dengan sengaja aku menganggap pertanyaan itu sebagai ledekan semata.
Jari telunjuk Andre mengarah ke sisi kanannya, "Dia lagi ngeliatin tuh, nggak mau disamperin?"
Pandanganku mengarah ke situasi kantin yang tidak terlalu ramai, mudah menemukan perempuan yang Andre maksud. Terlebih lagi dia berambut pirang.
Sama seperti di foto profilnya. Cantik. Walau sadar dengan makeup yang dipakainya, tetap saja kata cantik cocok untuk menggambarkan Dewi.
"Dia kan udah deketin duluan, sayang cewek cantik gitu nggak dijadiin pacar."
Arah pandangku kembali mengarah ke Andre. Tadi dia bilang Dewi yang mendekati duluan? Aku tidak salah dengar kan? Apa coba yang sudah Leo lakukan sampai bisa menarik perhatian cewek secantik ini? Aku tidak mengerti, "Kayaknya untuk sekarang nggak dulu deh."
"Lah, kenapa? Padahal Andre benar loh, terlalu rugi nggak jadiin Dewi pacar. Apalagi dia yang suka duluan. Kurang enak apa lagi coba bisa punya pacar cantik tanpa usaha?"
Walau Leo juga suka Dewi sampai ingin menjadikannya pacar, aku tetap tidak mau mengambil risiko dengan mengambil tindakan sendiri.
Meski sedang menjadi Leo Alvarez, ini tetaplah kehidupan orang lain yang sedang kupinjam untuk sementara waktu. Aku tidak mau keputusan yang kupilih merugikan hidup orang lain.
"Terserah deh kalian mau ngomong apa, pokoknya untuk sementara waktu aku nggak bakal ajak dia pacaran dulu," kataku yang ingin secepatnya mengakhiri topik obrolan mengenai Dewi.
"Sok jual mahal bangat sih mentang-mentang ganteng."
"Masih aja deh buat kita iri. Dasar menyebalkan."
"Apa sih kalian?" protesku yang mendapat tawa dari dua orang yang sedang duduk di hadapanku.
Aku yang ikut tertawa bersama mereka menahan rasa iriku. Ternyata begini ya rasanya memiliki teman? Bisa berbagi canda tawa dalam topik pembicaraan apa saja. Kehidupanmu sukses membuatku iri, Leo.
♚♕ ➡ ♕♚