Tak pernah kubayangkan sebelumnya hal seperti ini bisa terjadi dalam kehidupanku. Sebuah mobil Alphard berwarna putih yang dikendarai oleh sopir pribadi sedang terparkir untuk menjemputku dari sekolah.
Heran, ini sebenarnya sekolah atau bukan sih? Dari datang sampai mau pulang ada saja yang membuatku berpikir sedang berada di tempat yang salah.
Pertama menyangka sudah tersasar di istana presiden, terus berpikir sedang berada di mall mewah, sekarang aku malah merasa seperti sedang berada di tempat pameran mobil mewah.
Dengan keberadaan mobil ferrari, lamborghini, serta mobil mahal lainnya, lebih wajar menganggap tempat parkir sekolah sebagai showroom mobil mewah kan?
Daripada terus heran dengan segala kemewahan yang tersaji di SMA Tirta Bangsa, lebih baik aku masuk saja ke mobil yang menjemputku.
Diam sambil mencoba menenangkan diri adalah hal yang kulakukan sepanjang perjalanan. Setelah ini aku akan menghadapi kehidupan Leo saat di rumah, jadi aku harus lebih bisa tenang lagi.
Tapi setelah sampai di sebuah rumah dua lantai, aku tidak dapat menahan decak kagum. Sungguh khas rumah orang kaya sekali. Terlihat mewah dan juga besar.
Ini mungkin bukan pertama kali aku mendatangi rumah Leo, tapi pilar-pilar putih dan juga jendela besar yang ada masih membuatku merasa takjub melihatnya. Apalagi saat sudah memasuki rumah, mataku rasanya tidak bisa berhenti mengagumi barang-barang yang terlihat elegan dan tertata dengan begitu rapi.
Apa aku benar-benar boleh tinggal di sini?
"Ah, Leo sudah pulang ya?"
Pandanganku yang semula sibuk memperhatikan interior ruang tamu beralih menatap seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan mendekat. Beliau adalah orang tua Leo.
"Mama," saat mencoba memanggil, suaraku justru tercekat, tidak terbiasa melakukan panggilan ini.
"Hari ini Mama sengaja pulang lebih cepat agar bisa makan siang bersamamu."
Saat tangan lembutnya mengelus kepalaku, aku justru memalingkan pandangan ke arah lain. Ada rasa bersalah karena aku yang bukan anaknya justru mendapat perhatian seperti ini.
"Ya sudah, ayo kita ke ruang makan, kamu harus ceritakan bagaimana sekolahmu hari ini."
Aku mengangguk pelan lalu mengikuti langkah Mama yang berjalan menuju ruang makan.
Setelah duduk dengan posisi saling berhadapan, aku tidak bisa menahan rasa gugup. Ini suasana yang terlalu tidak biasa, setidaknya begitu menurutku, "Tadi teman-teman sekelas menyambutku dan juga senang karena aku udah masuk sekolah lagi."
"Benarkah? Apa ada hal lain lagi yang terjadi?"
Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat hal spesial yang bisa diceritakan lagi, "Ah, tadi aku mendapat nilai paling bagus saat diadakan ulangan dadakan."
Bukan ekspresi senang seperti dugaanku yang menjadi respon Mama, Mama justru terlihat tercengang. Kepalaku langsung tertunduk, merasa bersalah, "Maaf."
"Kenapa justru minta maaf? Yang kamu lakukan bukan hal yang salah kok, Mama tidak marah."
Dengan takut-takut aku menatap wajah Mama yang kali ini terlihat seperti sedang menahan tawa.
Memang yang kulakukan bukanlah hal yang salah, tapi aku tahu ini nantinya bisa menjadi beban untuk Leo.
Entah seperti apa nilai-nilai pelajaran yang normalnya biasa Leo peroleh, yang jelas aku harus sedikit menahan diri. Jangan lupa jika aku sedang hidup sebagai Leo Alvarez. Remaja dari latar belakang keluarga kaya yang tidak dituntut mendapat nilai sempurna untuk mempertahankan beasiswa agar tetap bisa melanjutkan sekolah.
"Oh ya, bagaimana kalau lain kali kita makan di luar? Kita bisa mendatangi restoran yang kamu suka, mau?"
"Eh? Makan berdua dengan Mama? Apa boleh?"
"Kenapa tidak? Mama kan ingin menghabiskan waktu bersama dengan anak Mama. Lain kali kita harus jalan-jalan bersama saat Mama sedang tidak sibuk ya?"
Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan rasa bersalah. Meski bisa memanggil dengan sebutan 'Mama', Beliau bukanlah orang tuaku. Aku tidak pantas mendapat kasih sayang darinya dan membuang waktu kerjanya hanya demi untuk bersamaku.
Ternyata beban paling berat ketika berpura-pura menjadi Leo bukanlah saat sedang berada di sekolah, melainkan saat sudah berada di rumah. Aku pasti menyakiti perasaan orang-orang yang menyayangi Leo dengan kebohongan ini. Tapi aku tidak dapat kabur dari situasi ini, aku harus bisa menutupi ketiadaan Leo di sini, "Iya, lain kali aku mau jalan-jalan dengan Mama."
Melihat senyum bahagia terukir di wajah wanita yang duduk di hadapanku, aku pun berkomitmen untuk tidak mengeluh dan terus melanjutkan ini sampai peranku sebagai pengganti Leo selesai.
♔
Datang ke sekolah menjadi hal yang kunantikan. Berada di rumah membuatku seperti sedang diawasi sampai ingin bernapas lega saja tidak bisa.
Terlalu berlebihan memang padahal Leo memiliki kamar sendiri yang membuatku bisa menghabiskan waktu seharian melakukan apa saja di sana.
Walau lebih sering berada di kamar, namun aku mesti juga melakukan interaksi dengan orang tua Leo.
Ingin tidak canggung dan bersikap selayaknya seorang anak menjadi hal yang sulit dilakukan. Bagaimanapun orang tua pasti sangat mengenal anaknya kan? Perbedaan sifat antara aku dan Leo mungkin sudah terlihat jelas oleh mereka. Memikirkan mereka memilih menerima dan sama sekali tidak membahasnya membuatku risi di rumah.
"Leo!"
"Eh, iya, apa?" karena terlalu larut dengan apa yang sedang dipikirkan, aku terkejut saat tiba-tiba ada yang memanggil.
Dewi yang sedang berdiri di sampingku sedang menunjukkan senyum yang membuatnya terlihat lebih cantik, "Kok nggak bales chat yang kukirim sih?"
"Hpku disita Mama."
Bibir Dewi mengerucut, tanda dia tidak menerima alasan dadakan yang kubuat, "Kan bisa langsung dibalas setelah disita."
"Sampai sekarang hpnya masih disita."
"Masa sih? Kok bisa disita? Kalau ada urusan penting gimana?"
Dengan canggung aku mengusap tengkukku. Dibanding disita, sebenarnya hp Android keluaran terbaru milik Leo sengaja kutinggalkan di rumah. Takut kehilangan karena tidak sanggup menggantinya menjadi alasan kenapa aku memilih tidak membawa hp berwarna hitam itu ke sekolah.
Tapi mungkin besok aku mulai membawanya. Dewi benar, sangat merepotkan jika aku tidak dapat langsung dihubungi di situasi penting, "Besok hpku udah nggak disita lagi kok."
"Kalau gitu jangan lupa bales ya saat aku chat nanti!"
Tergantung isi chat yang dikirim. Jika Dewi mengirim sesuatu yang bersifat basa-basi atau sebuah pertanyaan, aku bisa membalasnya. Tapi jika yang dikirim sebuah ajakan pergi bersama, aku lebih memilih mengabaikan.
Yang Dewi suka kan Leo. Jika ingin pergi kencan atau semacamnya dilakukan bersama dengan Leo dong, bukan malah bersamaku.
"Oh ya, pulang sekolah mau nggak kita mampir ke cafe dulu? Aku pengen ngobrol banyak dengan Leo."
"Maaf, aku nggak bisa," baru berpikir ingin menolak saat diajak pergi, Dewi sekarang malah benar-benar mengajak pergi. Tanpa pikir panjang penolakan kulakukan dengan sangat cepat.
Dan mungkin karena dilakukan terlalu cepat, Dewi sekarang menunjukkan raut wajah kecewa, "Yah.... Kenapa nggak bisa? Padahal Leo udah lama nggak masuk sekolah, masa kamu nggak mau luangin waktu sebentar buat jalan bareng?"
"Maaf ya?"
Seolah sudah pasrah, Dewi menghela napas, "Kalau Leo ada urusan yang jauh lebih penting, ya udah deh. Lain kali aja ya kita jalan barengnya?"
Ya, silahkan saja jalan dengan Leo kapan pun kau mau, aku yang bukan Leo cuma bisa memberikan penundaan. Dibanding mendapat protes atau dimarahi karena jalan bersama cewek tanpa minta izin dulu, lebih baik aku menunda kan?
Memang dari Instagram terlihat jelas Leo sudah seperti playboy yang sering ganti-ganti pacar. Siapa coba yang tak berpikir begitu melihat belasan postingan yang berisi foto bersama perempuan yang berbeda-beda?
Aku yang sekarang menjadi Leo bisa saja menerima ajakan Dewi, malah mungkin aneh jika aku menolak seperti tadi. Tapi penolakan menjadi keputusan yang lebih kupilih.
Dibanding Leo dari Instagram saja sudah diketahui sangat berpengalaman menghadapi lawan jenis, aku sendiri justru tipe orang yang sebisa mungkin tidak ingin terlalu berurusan dengan lawan jenis.
Cewek tuh merepotkan. Jalan pikiran mereka yang terlalu pelik sering membuat tidak mengerti dan kadang kala mengesalkan juga. Sudah cukup aku mengurusi satu perempuan yang menunjukkan rasa tertarik secara berlebihan, jadi lebih baik jangan ditambahkan lagi.
Lalu ini juga hidup Leo kan? Biarkan dia sendiri yang memikirkan kisah cintanya, aku yang orang luar lebih baik tidak ikut campur atau mengatur-ngatur.
"Cie yang pagi-pagi udah dideketin Dewi."
Langkahku yang baru memasuki kelas seketika terhenti untuk menengok ke belakang.
Ada Daniel yang sedang menunjukkan senyum jahil. Dia dari tadi berjalan di belakangku? Aku sama sekali tidak sadar.
Fokusku terlalu sibuk pada Dewi yang sudah tidak bersamaku. Entah keberadaan kelasnya di mana, yang jelas setelah naik tangga aku sudah masuk ruang kelas terlebih dahulu, "Nggak usah ngeledek deh."
"Gimana nggak diledek jika temanku didekati oleh cewek yang sejak MOS aja udah jadi most wanted sekolah? Kalau udah jadian jangan lupa PJ loh."
Bola mataku berputar dengan enggan, "Iya, iya."
Daniel tertawa puas, "Tindakan sok jual mahal yang kau lakukan tadi emang udah bener, jangan sampai Dewi mengiramu sebagai cowok yang gampang diajak pacaran. Tapi jangan terlalu sok cool juga kali. Ada banyak kakak kelas yang juga sedang mengincarnya loh."
Jadi bukan sekedar berjalan di belakang, kamu juga telah menguping semua pembicaraan yang kulakukan? Tapi aku tidak bisa protes sih mendengar penolakanku ternyata dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Justru aku harus berterima kasih pada Daniel yang telah memberikan penilaian langsung padaku.
Bisa dikatakan aku telah berhasil berurusan dengan perempuan saat menjadi Leo Alvarez.
Mungkin lebih banyak hal yang dipikirkan sampai membuatku tidak mau terlalu sering berada di posisi tadi, tapi aku puas dengan usaha yang kulakukan sampai tidak dicurigai.
♚♕ ➡ ♕♚