Ceklek!
Nea menoleh ke belakang. Pintu ruangan yang ia tutup tadi kini ada yang membuka.
Dengan segera gadis itu lari ke belakang pintu dan berdiri diam di sana. Ternyata, si pria maskulin yang masuk ke dalam ruangan itu untuk melakukan pengecekan.
Nea menahan napasnya. Untung saja pintu kamar itu kalau dibuka, arahnya ke dalam. Jadi Nea bisa bersembunyi di balik pintu itu dengan aman. Pintu kamar itu berukuran cukup besar. Dan karena lantai yang Nea pijak adalah gumpalan-gumpalan awan, maka kedua kakinya aman dan tidak nampak.
Nea tentu saja sedikit mengintip. Apa yang dilakukan pria maskulin itu?
Ternyata pria maskulin itu menekan sebuah tombol power pada sebuah benda putih berbentuk tabung yang ukurannya lumauan besar. Benda tabung itu berukuran sekitar seratus centi meter. Setelah pria itu memencet tombol power, keluarkan semburan asap halus yang dingin sekaligus harum.
Ah, ternyata itu hanya sebuah humidifier ruangan. Tapi baru kali ini Nea melihat humidifier seukuran itu.
Kepala gadis itu terlihat sedikit menyembul dari balik pintu. Dengan cepat Nea menarik kepalanya lagi, karena si pria maskulin seperti sedang waspada dan menoleh ke belakang.
Dapat Nea rasakan udara semakin dingin. Lalu, tiba-tiba kamar itu tidak memiliki penerangan. Sepertinya si pria maskulin itu memadamkan semua penerangan.
Hanya ada penerangan dari remang-remang cahaya rembulan.
Perlahan, pria maskulin itu menghampiri satu demi satu ratusan pria tampan yang terbaring di setiap kasur itu. Nea hanya bisa mengamati saja tanpa bergerak sedikitpun.
Tapi sekarang Nea kembali menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Mengapa semua pria tampan yang terbaring itu tidak bergerak sama sekali? Apakah mereka semua bernapas? Robot? Bukan. Mereka semua bukan robot. Pria maskulin sudah menjelaskan hal itu pada Nea.
Lalu mengapa posisi berbaring mereka sama semua? Mereka itu bernapas atau tidak sih? Nea rasanya ingin berteriak saja dan bermaksud memberi tes pada semua pria tampan yang terbaring itu. Apakah mereka hidup atau tidak. Rasanya Nea gemas sendiri berada di sini. Ia tidak bisa melihat waktu, dan ia belum mengetahui seluk beluk dunia ini.
Tap.. tap.. tap..
Suara langkah kaki pria maskulin itu terdengar mendekat ke arah pintu. Nea diam lagi dan berusaha tidak bernapas sedikit keras. Ia menempelkan punggungnya pada dinding yang ada di belakangnya.
Dan pintu kamar itu kemudian terlihat ditarik, lalu tertutup.
Pria maskulin itu sudah keluar dari kamar tengah tersebut. Dan Nea menghembuskan napasnya sangat lega. Gadis itu sambil memegangi bagian dadanya yang tentu saja jantungnya berdegup kencang. Ia takut ketahuan.
"Gila sih, aku kayak berada di dalam film action sekaligus fantasi. Menegangkan!!" Kata Nea dengan suara berbisik.
Gadis itu melangkahkan kedua kakinya mendekat ke tengah-tengah kasur para pria tampan. Apakah mereka semua benar-benar tertidur?
Lalu Nea iseng saja mencoba menghampiri seorang pria tampan yang tertidur lelap di ranjang awan nomor 104. Pria itu sangat amat tampan. Namun jika dibandingan dengan pria maskulin, tentu saja bagi Nea tetap si pria maskulin yang lebih tampan.
Nea mengamati pria tampan itu. Kemudian jari telunjuk kanannya ia dekatkan pada lubang hidung si pria tampan yang tertidur itu.
Ternyata, ada hembusan udara hangat dari kedua lubang hidung pria tampan itu. Nea bernapas lega saja ternyata semua pria di sini memiliki hembusan napas teratur seperti dirinya.
Bukan apa-apa, Nea hanya sempat curiga saja karena semua pria tampan di sini berperilaku sangat penurut dan patuh.
Demi apapun, sampai sekarang Nea masih sangat penasaran dengan segala hal. Mereka semua manusia atau bukan sih? Mereka semua terbuat dari apa? Masa iya terbuat dari awan juga?
Tidak ada gunanya Nea berada di ruangan seperti ini sangat lama. Ia ingin keluar saja dan mencoba berkeliling lagi. Siapa tahu ia menemukan banyak ruangan unik yang bisa ia ketahui apa isinya.
Gadis itu tersenyum saja dan melambaikan tangannya pada semua pria tampan yang tampak tertidur sangat rapi dan tenang. Kemudian Nea terkekeh pelan. "Dasar dunia aneh." Kekehnya.
Dengan santai ia kembali mendekati pintu kamar tadi. Ia akan keluar.
Klek!!
Itu hanya sekedar suara saja. Pintu kamar itu tidak bisa terbuka. Klek!! Klek!! Klek!! Klek!!
DEG!!
Nea membulatkan kedua matanya. "Loh, kok?? Kok kekunci sih? Eh!! Yang bener aja?" Tanyanya panik.
Klek!! Klek!! Klekk!!
Tidak bisa terbuka. Demi apapun, wajah Nea saat ini sangat panik sekali seperti tawanan yang tidak boleh keluar oleh sang penculik.
"Waduh. Aku kekunci di sini? Waduuhh.. jangan dong. Besok kalau ada yang tahu gimana? Masa iya aku bakal di eliminasi lagi? Eh, yang bener aja!! Plis lah.. kebuka dong. Aku tahu aku sok iseng dan nakal keliling-keliling, tapi plis aku gak mau mati di sini!!!"
CEKLEK!!
Nea mundur. Karena pintu kamar itu tiba-tiba terbuka lebar. Siapa yang membuka?
Ternyata si pria maskulin itu. Pria itu tetap tampak berdiri tegap dan sorot matanya sangat tajam. Bahkan di situasi agak gelap seperti ini, Nea cukup merinding ketika melihat tatapan tajam dari kedua mata si pria maskulin itu.
Nea menelan ludahnya pelan. Badannya agak gemetar karena kaget sekaligus merasa ketahuan sudah berkeliling tanpa ijin.
"Sudah kuduga kau akan mengikutiku." Kata pria maskulin itu.
"A-aku---"
"Ikut denganku kembali ke kamarmu. Atau kau akan menginap di dalam kamar ini sampai besok."
"I-iya. Aku ikut denganmu." Kata Nea mengalah.
Gadis itu langsung keluar dan membiarkan pria maskulin itu yang menutup pintu kamar tersebut. Lorong itu terlihat tenang dan senyap.
Tidak ada pilihan lain selain menurut dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Nea hanya bisa mengikuti langkah kaki pria maskulin itu.
Setelah mereka berdua sampai di depan kamar Nea yang berpintu silver itu, pria maskulin menatapnya tajam. "Jangan terlalu ingin tahu. Kau hanya sekedar tamu di sini. Apa alasanmu mengikutiku?" Tanyanya tegas.
"Maaf. Rasa penasaranku tidak bisa berhenti. Dan aku ingin tahu tentang segala hal yang ada di sini." Kata Nea dengan menundukkan kepalanya.
"Buang rasa penasaranmu. Sudah kubilang, semua yang ada di sini karena pembentukan dari banyaknya imajinasi manusia. Apapun yang ada di sini. Semuanya terbentuk dan ada karena begitu banyak manusia yang berharap dan menginginkan adanya tempat seperti ini. Aku sudah memperingatkanmu. Sebaiknya kau menurut saja sampai keinginanmu di sini terpenuhi." Tegas pria maskulin itu dengan suara yang tidak bisa membuat Nea ingin melawan.
Nea hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Gadis itu sudah mirip seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya.
Raut wajah pria maskulin itu terlihat marah. Meskipun tidak semarah itu, namun Nea bisa merasakan bahwa pria itu berusaha menegaskan Nea.
"Apa perlu kamarmu kukunci lagi?"
Nea menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu segeralah masuk dan tidur. Di sini aku yang memegang kuasa penuh atas semua hal yang berjalan. Aku juga berhak menghentikanmu. Namun aku masih memberimu kesempatan kedua dan sekarang posisimu adalah tamuku. Aku harus menjagamu. Jangan berlaku atau bertindak sendirian tanpa pemberitahuan dariku. Apa kamu paham?"
Nea mengangguk saja seperti seorang mahasiswa yang sedang mengalami masa ospek. "Iya. Maaf."
Terdengar hembusan napas pelan dari hidung pria maskulin itu. "Masuklah. Besok jangan keluar sebelum aku menghampirimu."
Nea mengangguk saja. Kemudian ia menurut dan masuk ke dalam kamar khususnya.
*****